Fahruddin Faiz Sebut Seorang Individu Perlu Versi autentik dari Diri Sendiri
Ahad, 20 Juli 2025 | 16:00 WIB
Surabaya, NU Online Jatim
Di tengah dunia modern yang memudahkan manusia dalam mengakses informasi, banyak orang tetap memiliki semangat untuk belajar. Hal ini patut disyukuri karena Allah masih membukakan hati, pikiran, dan keinginan setiap individu untuk terus mencari ilmu.
Keinginan untuk belajar dan menambah pengetahuan juga merupakan bagian dari autentisitas diri. Di era serba instan, belajar menjadi pilihan sadar untuk terus tumbuh sebagai pribadi yang utuh.
“Meskipun sebenarnya, mungkin hari ini teman-teman akan bilang: Ngapain sih, Pak, capek-capek belajar. Wong sudah ada ChatGPT saja kok. Apa yang nggak bisa dijawab oleh beliau al-mukarram ChatGPT itu? Ilmu apa saja dia bisa jawab,” seloroh pakar Filsafat dan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Fahruddin Faiz.
Namun di tengah kemudahan tersebut, setiap individu seharusnya tidak bergantung sepenuhnya pada teknologi semacam ChatGPT. Seorang individu tetap perlu menemukan versi autentik dari dirinya sendiri.
Faiz menceritakan pengalamannya melihat banyak mahasiswa yang menulis makalah tugas kuliah dengan tema yang berbeda-beda, tetapi memiliki format yang sama. Ia menduga hal ini terjadi karena penggunaan prompt yang seragam.
“Itu contoh betapa hari ini kita tidak autentik,” ungkapnya dalam tayangan video di akun Youtube NU Online, dikutip pada Ahad (20/7/2025).
Dari sudut pandang filsafat, menurut Faiz, autentisitas adalah hal yang penting bagi setiap orang. Beberapa filsuf yang secara intensif membahas soal autentisitas manusia antara lain Martin Heidegger, Paul H. Nitze, Carl Gustav Jung (filsuf sekaligus psikolog), Erich Fromm, Imam Al-Ghazali, dan Ibnu Arabi.
Faiz menjelaskan bahwa Heidegger membedakan dua jenis eksistensi manusia, yakni Dasein dan Das Man. Ia menjelaskan bahwa Das Man menggambarkan manusia yang larut dalam kerumunan, sedangkan Dasein merujuk pada individu yang mampu berdiri sebagai dirinya sendiri.
“Ya, ini bedanya. Jadi, autentik atau tidak autentik, kalau menurut Heidegger, dilihat dari apakah aku bisa menampilkan dan menunjukkan diriku sebagaimana aku. Itu dasein. Kalau iya berani bilang ‘ya’, tidak berani bilang ‘tidak’,” terang Faiz.
Faiz menggambarkan tipe Dasein melalui contoh sederhana yaitu seseorang yang tetap menyukai musik koplo meskipun teman-temannya lebih memilih jazz atau blues; atau seseorang yang menyukai makanan dari warung dan tidak malu untuk mengatakannya.
“Saya sukanya campursari, idola saya Didi Kempot ya. Kalau begitu, dan dengan tidak ragu-ragu kita bilang, kita nyatakan apa keinginan kita, kemauan kita, selera kita. Itulah autentik, jadi dirimu sendiri,” ujar Faiz.
Sementara itu, tipe Das Man adalah orang yang hanya mengikuti arus tanpa mempertimbangkan dirinya sendiri, ke mana pun mayoritas pergi, ia pun ikut ke sana.
“Makanya istilahnya Heidegger ini, orang yang tenggelam dalam kerumunan sebagai kerumunan,” imbuhnya.
Orang yang autentik, bertipe Dasein, menurut Faiz, akan mudah dikenali.
“Seperti malam hari ini, kan kalian di sana kerumunan. Saya nggak akan bisa membedakan kalian satu-satu nanti. Kalau ditanya, ‘Gimana pesertanya?’ Saya jawab, ‘Banyak. Yang putri juga banyak.’ Tapi saya nggak akan bisa menyebut satu-satu, kali ya. Tapi misalnya nanti malam ini ada satu yang tiba-tiba berdiri, terus disuruh tanya, malah joget-joget, malah nyanyi, nah, itu saya akan ingat,” kata Faiz.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menata Hati dengan 7 Perbuatan
2
Sang Penjaga Nurani Umat, Telah Pulang: Kesaksianku atas KH Imam Aziz
3
Pesantren Bebas Kekerasan: Nawaning Nusantara Siapkan Satgas dan Edukasi Seksual
4
PBNU Perkuat Posisi Syuriah di Era Digital dengan PPWK
5
IPNU-IPPNU Pasuruan Gelar MPLS dan Makesta Serentak di 45 Titik
6
Tokyo, ‘Kota Terbersih’ di Dunia
Terkini
Lihat Semua