• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Semakin Besar Nafsu, Semakin Kecil dan Dangkal Akal (Catatan Polemik Gus Muwafiq)

Semakin Besar Nafsu, Semakin Kecil dan Dangkal Akal (Catatan Polemik Gus Muwafiq)
KH Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq. (Foto: Suara Nahdliyin)
KH Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq. (Foto: Suara Nahdliyin)

Oleh Zastrouw Al-Ngatawi

 

Dalam kitab Uqud al Lujain karya Imam Nawawi halaman 94 disebutkan: “Idza Qama Dzakar al Rajul, Dzahaba Tsulutsa ‘Aqlihi” (Jika penis laki-laki sudah berdiri, maka hilanglah dua pertiga akalnya). Ungkapan ini mencerninkan, senakin seseorang bernafsu, dikuasai birahi maka akalnya semakin kecil dan dangkal. Mau profesor, doktor, pemimpin dan tokoh agama jika sudah dikuasai birahi, maka kelakuannya akan sama dengan orang yang tidak berpendidikan. Menabrak aturan, etika dan moral seperti orang tidak beradab, karena akalnya tidak berfungsi maksimal.


Pernyataan tersebut tidak hanya berlaku dalam konteks nafsu birahi yang terkait dengan persoalan seksualitas, tetapi juga berlaku dalam konteks sosial secara umum. Misalnya, jika nafsu kekuasaan dan ambisi untuk menyerang lawan sudah sampai ke ubun-ubun, seperti layaknya nafsu birahi yg memuncak, maka akal akan menjadi dangkal dan sempit.

 

Apapun perkataan dan tindakan lawan akan dijadikan bahan untuk menyerang. Akan dieksploitir untuk menghasut dan membakar emosi massa, untuk menyerang dan bikin gaduh. Sekalipun pernyataan tersebut benar secara rasional bahkan secara moral.

 

Apa yang terjadi dalam kasus ceramah Gus Muwafiq saat ini merupakan bukti kebenaran pernyataan tersebut. Sekelompok orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan nafsu kebencian yang memuncak telah melakukan tindakan agitatif yang merendahkan akal sehat. Kemudian orang-orang yang berpikir dangkal dan pendek dan mereka yang memiliki birahi politik tinggi dengan mudah menerima provokasi berlabel agama ini.

 

Jika kita berpikir jernih, tanpa melibatkan nafsu, apa yang dinyatakan Gus Muwafiq itu sangat benar. Dia berusaha menjelaskan proses perjalanan hidup Nabi Muhammad dengan bahasa sederhana, logika natural (alamiah), tidak bombastis dan mistis. Dia juga menjelaskan skenario Allah menjaga Nabi dengan menjadikan mereka sebagai bocah yang menjalani proses hidup nornal dan alamiah. Suatu penjelasan yang sesuai dengan akal dan imaginasi anak millenial sehingga mereka mudah menerima.

 

Pemilihan diksi "rembes", adalah diskripsi atas kondisi natural anak kecil yang terjadi di mana-mana. Artinya itu suatu hal yang normal terjadi pada anak kecil. Meski Nabi Muhammad adalah sosok manusia pilihan, namun tetap mengalami proses kehidupan normal seperti itu, Dan memang tidak ada sejarah yang menyebut Nabi Muhammad lahir dalam keadaan wajah yang bersinar, hanya dinyatakan Nabi lahir dalam keadaan langit cerah benderang, alam dan pepohonan menunduk diam, bergembira menyambut kedatangan Nabi, sebagaimana digambarkan dalam beberapa kitab. Deskripsi itu bisa faktual dan bisa simbolik. Jika ada yang memaknai simbolik, kemudian membuat interpretasi yang logis dan natural, bukan berarti itu melecehkan Nabi.

 

Jika dibandingkan dengan pernyataan seorang ustadz yang mengatakan waktu kecil Nabi adalah sesat sampai dia mendapatkan pentunjuk dari Allah, atau pernyataan ustadz bahwa Nabi gagal newujudkan rahmatan lil'alamin, maka secara verbal dan tekstual perntataan ini sebenarnya jauh lebih menista dan melecehkan dibanding pernyataan Gus Muwafiq. Tetapi ternyata mereka diam dan tidak bereaksi. Mereka diam karena yang mengeluarkan pernyataan tersebut adalah para ustadz junjungan mereka, sesuai dengan garis politik mereka, para ustadz yang bisa dijadikan alat memuaskan nafsu politik mereka.

 

Di sini jelas menunjukkan bahwa sikap mereka lebih merupakan ekspresi kebencian yang ditunggangi oleh sahwat politik yang berlebihan dari pada membela Islam, sebagaimana yang mereka teriakkan. Jika mereka berpikir jernih, tidak dikotori oleh nafsu dan syahwat politik, maka mereka akan neniru sikap kelompok yang kontra dengan para ustadz tersebut. Saya yakin banyak umat Islam yang merasa pernyataan para ustadz itu melecehkan Nabi, tapi mereka tidak gaduh justru mencoba menahami konteks pernyataan tersebut. Mereka tidak marah, tidak membuat agitasi apalagi melaporkan ke polisi. Inilah sikap orang beradab. Tidak seperti orang yang dikendalikan oleh birahi politik dan nafsu kebencian sehingga merespons pernyataan Gus Muwafiq dengan kemarahan yang menghilangkan akal sehat karena terbakar syahwat.

 

Kejadian ini bisa menjadi indikator untuk melihat mana kelompok yang masih bisa berpikir jernih yang lebih mengutamakan dialog dan tabayun dan mana kelompok yang terbakar birahi dan emosi sehingga lebih mengutamakan kemarahan yang menghilangkan akal sehat. Kelompok pertama akan menjadikan pernyataan Gus Muwafiq sebagai bahan diskusi dan pencerahan yang mencerdaskan umat. Kelompok kedua akan menjadikannya sebagai bahan provokasi membakar emosi umat untuk tujuan politik. Berada di sisi manakah dirimu?

 

Penulis adalah budayawan pesantren

 

 


Editor:

Opini Terbaru