• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Rehat

Almaghfurlah Kiai Muntaha Bangkalan dan Cara Berhenti Merokok

Almaghfurlah Kiai Muntaha Bangkalan dan Cara Berhenti Merokok
Ingin berhenti merokok? Syaratnya ada tiga. (Foto: NOJ/BM)
Ingin berhenti merokok? Syaratnya ada tiga. (Foto: NOJ/BM)

Dalam lintasan sejarah pesantren, khususnya di pulau Madura, mengenal sosok KH Muntaha Jengkebuen Bangkalan. Kiai yang juga dikenal dengan panggilan Ndoro Thaha adalah sosok sangat penting sebab darinya akan dipertemukan dengan cerita  kiai-kiai lain. Yakni dari para penggerak Aswaja al-Nahdliyah (NU) dalam ruang gerak tradisi pesantren di sekitar Madura dan Nusantara pada umumnya.

Tapi, sayang sekali sosok Ndoro Thaha sangat sulit ditemukan jejaknya secara utuh. Yang ada hanyalah serpihan cerita yang ditulis oleh beberapa teman sejaringan ulama Nusantara. Padahal, ketokohan Ndoro Thaha sulit disangsikan sebab selalu hadir dalam setiap momen pertemuan akbar NU di awal perintisan dan perjuangan di kantor Hoofdbestuur NU Surabaya bersama KH M Hasyim Asyari, KH Abd Wahab Chasbullah dan lain-lain.

Ndoro Thaha adalah mewakili poros Karesidenan Madura dalam setiap rapat NU dalam menyikapi problem kebangsaan dan keagamaan; tepatnya kontestasi ideologis dengan Wahabi. Dan tulisan ini, hanya  coretan singkat tentang bukti kealiman dalam lingkaran jejak ulama Nusantara dan bagaimana berdakwah dalam lingkup tradisi lokal.
 

Kiai NU dan Rokok
Satu hal menarik dari Kiai NU adalah ketegasannya, sekaligus kelenturannya dalam menyikapi tradisi lokal. Begitu juga sosok Kiai Muntaha yang selalu sangat hati-hati dalam memberikan hukum dan dipandang allamah dalam menyikapi hukum tentang kebiasaan masyarakat lokal. Salah satunya pandangan tentang kebiasaan merokok.

Menariknya, ngopi dan merokok adalah beberapa kebiasaan--selain pecel, sambel terong--para Kiai NU seperti KH Abd Wahab Chasbullah, KH Mahrus Ali Lirboyo, KH Ihsan Dahlan Jampes, KH Ahmad Djazuli, Syekh Yasin Padang, KH Sahal Mahfudz, Habib Lutfi, dan lain-lain.

Sebagaimana diceritakan menukil penjelasan KH Barizi Lanbulan Sampang dalam bukunya Fath al-Ilah al-Mannan. Bahwa suatu ketika Kiai Muntaha pulang ke Sumenep dan kembali ke Bangkalan dengan naik kereta api dan sempat bertemu dengan seorang yang duduk persis di sampingnya.

Ketika itu, terjadilah dialog Kiai Muntaha dengan laki-laki itu, yang konon adalah santri Pamekasan, sebagaimana berikut:

Kiai Muntaha: Monggo rokok kang Mas? 
Santri: Terima kasih pak rokoknya. Saya tidak terbiasa merokok.
Kiai Muntaha: Kenapa anda tidak merokok? Apakah karena dokter atau karena hukum syar'i? 
Santri: Saya ini orang awam. Tapi jika ingin tahu tentang hukum merokok, saya akan bertanya kepada Kiai Muntaha dari Jengkebuen Bangkalan, sebab beliau dikenal sebagai ulama allamah yang paham betul hukum merokok (dia tidak tahu kalau lawan bicaranya adalah Kiai Muntaha)
Kiai Muntaha: Saya adalah Muntaha sebagaimana anda kenal.

Tanpa berpikir panjang (sambil menutupi rasa malu), santri Pamekasan yang duduk berdampingan tersebut akhirnya bersalaman penuh hormat sebagaimana menjadi tradisi santri pesantren dan terdiam membisu.

Lantas Kiai Muntaha berkata: Jika orang terbiasa merokok, maka ia tidak akan berhenti dari merokoknya kecuali jika ada salah satu dari tiga hal, yakni mendapat taufiq atau pertolongan dari Allah Swt, disebabkan sakit, dan bersumpah untuk tidak merokok lagi. 

Jadi, dari dialog dengan santri Pamekasan tersebut menunjukkan bahwa Kiai Muntaha adalah perokok, sekaligus tetap sadar untuk memberikan tips-tips agar terhindar dari rokok, dengan kesadaran tanpa paksa. Baginya membagi ilmu adalah keniscayaan. Sementara hukum merokok tidak tunggal.

Dialog di atas juga menunjukkan bahwa masyarakat Madura sangat menghormati kiai. Bahkan posisi kiai selàlu dijadikan bimbingan dan rujukan dalam berkehidupan, khususnya dalam urusan agama. Sebab mereka sangat dekat dengan kultur religius. Jika kemudian ada pergeseran sikap sebagian masyarakat Madura terhadap kiai, maka sangat mungkin adanya faktor eksternal yang mengubah mental. Bisa jadi karena fanatisme pilihan politik atau karena efek berada di era post truth dengan warna-warni fasilitas media sosial.

Akhirnya, perokok adalah manusia sebagaimana yang lain. Dan dari Kiai Muntaha kita diajari untuk peduli kepada sesamà, termasuk tetap santai dan penuh tawadhu'. Dengan begitu kita  merasa tidak ada jarak, sekalipun status sosial berbeda sehingga komunikasi dakwah dengan orang lain bisa cair dan penuh berkah. Semoga dan amin.

 

Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya


Editor:

Rehat Terbaru