• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Aroma Mistik di Sekitar Presiden Gus Dur

Aroma Mistik di Sekitar Presiden Gus Dur
Sesaat setela dilantik menjadi presiden, Gus Dur saat sowan ke Kiai Abdullah Salam untuk ziarah ke makam Kiai Mutamakkin Kajen Pati.
Sesaat setela dilantik menjadi presiden, Gus Dur saat sowan ke Kiai Abdullah Salam untuk ziarah ke makam Kiai Mutamakkin Kajen Pati.

Oleh: Bahaudin
Budaya Jawa mengenal profesi dukun, paranormal atau wong pinter. Mereka dipercaya memiliki kekuatan magis yang bisa berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Setiap paranormal tentu memiliki metode sendiri dalam menjawab dan memenuhi kebutuhan kliennya. Kelihaian mereka dalam menjalin komunikasi dengan dunia gaib diyakini banyak orang bisa memecah solusi atas kebuntuan ataupun persoalan hidup, termasuk di dalamnya soal kekuasaan.

 

Sebelum kedatangan Islam di Nusantara kepustakaan tradisional juga mengenal istilah para petapa dan pendeta. Mereka umumnya dikenal dengan sebutan resi, ajar atau begawan. Kelompok tersebut jumlahnya amat kecil dan hidup di lereng-lereng gunung sunyi yang jauh dari jangkauan masyarakat luas. Bersama dengan para muridnya, resi menarik diri dari hingar binger kehidupan dan kemewahan dunia. Mereka fokus mengembangkan kemampuan melihat kejadian masa depan, mempelajari rahasia alam semesta, dan menyiapkan diri menyongsong kematian.

 

Literatur Jawa klasik menyebutkan kedudukan resi begitu istimewa bagi calon penguasa. Restu seorang resi dianggap amat penting dalam suksesi pengganti raja atau pendiri dinasti baru. Resi juga dianggap sebagai orang suci yang bisa meneropong sekaligus mengetahui masa depan atau dalam istilah Jawa disebut Jangkaning Zaman Kang Waskito Sakdurunge Winarah artinya bisa mengetahui kejadian masa depan. Restu seorang resi tidak akan diberikan kepada sembarangan orang, kecuali jika orang tersebut sudah memenuhi syarat dan kriteria serta ketentuan langit. Resi jugalah orang yang diyakini mampu melihat pindahnya wahyu kedaton, dan mengetahui tujuan akhir dari mandat langit yang berisikan kekuasaan kepada seseorang

 

Gelanggang politik adalah ajang terbuka bagi siapa saja yang akan meraih kekuasaan. Dalam ilmu politik modern kerja-kerja politik umumnya bertumpu pada kekuatan rasionalitas, kalkulasi di atas kertas, pemaparan hasil survey terukur, penggalangan massa dan back-up media massa yang kuat. Namun demikian, di luar penalaran logis tersebut masih terselip sisi lain yang juga bagian dari kehidupan politik. Politik tidak selamanya menggunakan media massa, dan modal kapital saja.

 

Panggung politik adalah ajang kontestasi dan rivalitas yang demikian ketat. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk tampil sebagai pemenang. Salah satunya adalah penggunaan ilmu supranatural dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.

 

Fenomena mistik dan politik semakin muncul ke permukaan dan terdengar gaungnya setiap kali momentum pemilihan kepala daerah, calon legislatif dan pemilu presiden dihelat. Dalam masa-masa tersebut dijumpai banyak sekali caleg, capres atau calon kepala daerah yang mendatangi makam-makam keramat atau menggunakan jasa praktisi supranatural. Dalam pandangan Jawa klasik makam keramat adalah salah satu pusat energi spiritual masa silam yang diyakini bisa memberikan legitimasi kuat dalam dunia kepemimpinan.

 

Aroma mistik bagi penguasa sudah terjadi sejak zaman Bung Karno hingga Joko Widodo. Bung Karno misalnya sebelum memproklamirkan kemerdekaan Indonesia terlebih dahulu menyambangi makam raja-raja Jawa misalnya di kawasan Mamenang (Kediri) yang merupakan petilasan Prabu Jayabaya. Kemudian Presiden Soeharto juga mendatangi tempat-tempat yang dianggap keramat untuk menyerap energi dari masa lampau.

 

Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur bukan hanya dikawal dengan doa dan wirid dari ulama terkemuka di seluruh penjuru nusantara. Gus Dur juga mendatangi makam-makam keramat atau menggelar ritual khusus untuk menopang kekuasaanya. Begitu terpilih sebagai Presiden pada tahun 1999, Gus Dur langsung menyambangi makam Kiai Mutamakkin di Pati, Jawa Tengah. Ia percaya pada pesan gaib yang mengharuskan dirinya bertandang ke makam ulama terkemuka pada abad 18 di tanah Jawa itu.


Kemudian pada tahun 2001 saat posisi politis Gus Dur terancam, sebuah ritual khusus dengan pementasan lakon pewayangan digelar. Tema yang dipilih adalah “Semar Mbangun Khayangan”. Pementasan tersebut dilakukan di desa kecil di Magelang, Jawa Tengah. Rencananya Gus Dur akan menangkap wangsit atau sasmita gaib saat tokoh Semar berlaga pada seperlima akhir cerita.

 

Sosok Semar sendiri dalam mitologi Jawa adalah dewa tertinggi di alam semesta yang ditugaskan Batara Guru sebagai pelindung dan penganyom raja-raja Jawa yang menjalankan roda pemerintahan. Meski bertubuh mirip badut dan pangkatnya rendah, namun Semar memiliki peranan penting dalam meredam kerusuhan atau goro-goro. Dengan analogi inilah Gus Dur berusaha meredam gejolak politik yang dihadapinya.

 

Untuk mengukuhkan kekuasaanya, Gus Dur dikabarkan pernah diruwat oleh Romo Tunggul Panuntun di lepas pantai Parangtritis. Bukan hanya itu sebuah pusaka dari masa silam milik Sunan Giri, Keris Kolomunyeng juga dimiliki Gus Dur untuk menopang kekuasaanya.

 

Pusaka lain yang juga mengawal Gus Dur adalah sepasang keris ampuh dari dinasti Majapahit-Demak, Nogososro dan Sabuk Inten. Kedua pusaka itulah yang dibuat Empu Supa di masa akhir kekuasaan Majapahit atas pesanan Kanjeng Sunan Kalijaga untuk diberikan kepada Raden Fatah, pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Demak.

 

Dalam mistisisme Jawa keris Nogososro dan Sabuk Inten adalah kedua pusaka yang dianggap bisa memberikan pamor atau wibawa besar bagi orang yang menggenggamnya. Pusaka lain yang digunakan Gus Dur adalah tongkat berkepala ular yang diberikan Romo Tunggul Panuntun. Dalam tongkat tersebut terdapat sebilah keris kecil yang juga dipercaya bisa meningkatkan kewibawaan bagi pemegangnya.

 

Selain menggunakan legitimasi tradisional Jawa, Gus Dur juga menggunakan legitimasi teologis yang diwujudkan dengan kehadiran kiai-kiai ternama dari berbagai pelosok nusantara. Dalam sebuah pertemuan di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur dihadiri oleh 40 orang kiai khos dengan agenda utama membahas pemerintahan Gus Dur yang sedang dilandai badai politik panjang dan berat. Kalangan Nahdliyin sendiri percaya bahwa isyarat dan kepastian nasib Gus Dur sudah muncul dalam sasmita gaib yang dipercaya turun kepada kiai-kiai khos. KH Abdullah Faqih dari Langitan misalnya mendapat gambaran dan melihat Gus Dur sedang berada di sebuah pohon kelapa yang nampak digoyang-goyang orang dari bawah. Dalam isyarat tersebut, Gus Dur terlihat pontang-panting. Mimpi itulah yang dianggap sebagai tanda bahwa pemerintahan Gus Dur sedang dilanda badai politik.

 

Upaya yang dilakukan Gus Dur dalam mencampuradukkan semua kekuatan baik yang berasal dari kalangan santri, abangan maupun bentuk sinkritisme adalah paduan dari agama dan budaya dalam menyerap setiap kekuatan dari berbagai sumber yang ada. Hal yang dilakukan Gus Dur adalah usaha daur ulang dari semua upaya-upaya yang pernah dilakukan Presiden Soekarno. Wallahua’lam.

 

*Artikel pernah dimuat di Jurnal Ilmiah Universitas Bhayangkara. 

​​​​​

Penulis adalah Magister Universitas Bhayangkara Jakarta.

 


 


Editor:

Opini Terbaru