• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Bekal Ramadlan: Orang Sakit Masih Wajib Puasa?

Bekal Ramadlan: Orang Sakit Masih Wajib Puasa?
Ulama telah memerinci mana sakit yang dibolehkan tidak puasa Ramadlan. (Foto: NOJ/HBs)
Ulama telah memerinci mana sakit yang dibolehkan tidak puasa Ramadlan. (Foto: NOJ/HBs)

Bila menilik ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh dapat diambil satu pengertian bahwa Islam adalah agama yang manusiawi. Ajaran-ajarannya—yang juga terdiri dari tuntutan-tuntutan—selalu selaras dengan kondisi manusia sebagai objek dari ajaran Islam itu sendiri. Hukum-hukumnya tegas tapi luwes. Tidak memberatkan, bahkan justru menghendaki kemudahan.

 

 

Yang demikian itu tercermin di dalam Al-Qur’an di mana dengan jelas dan tegas Allah menyatakannya dalam beberapa ayat di antaranya:

 

 لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

 

Artinya: Allah Tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. (QS. Al-Baqarah: 286)

 

 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

 

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. (QS. Al-Baqarah: 185)

 

Sebagai contoh meski ‘berdiri’ di dalam shalat merupakan rukun yang wajib dilaksanakan, namun shalat dengan duduk atau tidur diperbolehkan bagi orang yang—karena kondisi tertentu—tak mampu melaksanakannya dengan berdiri. Beberapa makanan yang secara tegas dihukumi haram dalam kondisi darurat diperbolehkan untuk dimakan demi menyelamatkan nyawa manusia.

 

Demikian pula dengan ibadah puasa yang merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Meski ibadah tahunan ini pada dasarnya diwajibkan atas setiap individu muslim, tapi Allah tetap saja memberi keringanan bagi orang-orang tertentu karena sebab khusus. Orang yang sakit adalah salah satunya. Ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa bila karena sakitnya justru puasa akan memberinya mudarat. Bahkan, bila orang yang sakit tersebut nekat berpuasa—mungkin karena begitu bersemangat beribadah—hingga terjadi kematian, justru agama menghukuminya sebagai orang yang bermaksiat, bukan beribadah.

 

Dalam hal ini Syaikh Nawawi Banten memerinci beberapa hukum orang yang sakit berkaitan dengan boleh tidaknya ia tidak berpuasa. Dalam kitab Kaasyifatus Sajaa dijelaskan:

 

 اعلم أن للمريض ثلاثة أحوال فإن توهم ضررا يبيح له التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر، فإن تحقق الضرر المذكور ولو بغلبة ظن وانتهى به العذر إلى الهلاك وذهاب منفعة عضو حرم عليه الصوم ووجب عليه الفطر، فإذا استمر صائما حتى مات مات عاصيا، فإن كان المرض خفيفا كصداع ووجع أذن وسن لم يجز الفطر، إلا أن يخاف الزيادة بالصوم

 

Artinya: Bagi orang sakit, berlaku tiga kondisi: Pertama, bila diduga adanya mudarat yang membolehkan bertayamum maka dimakruhkan berpuasa bagi orang yang sakit dan diperbolehkan baginya berbuka.

Kedua, bila mudarat yang diduga tersebut terwujud dengan dugaan yang kuat dapat menimbulkan kerusakan dan hilangnya manfaat suatu anggota badan maka haram berpuasa bagi orang tersebut dan wajib berbuka (alias haram berpuasa)--bila ia tetap terus berpuasa sehingga meninggal dunia maka ia meninggal dalam keadaan bermaksiat.

Ketiga, bila sakit yang diderita adalah sakit yang ringan seperti pusing, sakit telinga dan gigi maka tidak diperbolehkan berbuka (alias wajib berpuasa) kecuali bila dikhawatirkan akan bertambah sakitnya dengan berpuasa. (lihat: Muhammad Nanawi Al-Bantani, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2008], halaman 199).

 

Ustadz Yazid Muttaqin adalah santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan Kementerian Agama Kota Tegal.​​


Editor:

Keislaman Terbaru