• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 23 April 2024

Metropolis

Berikut Ciri Masjid NU dan Dalilnya menurut Ustadz Ma'ruf Khozin

Berikut Ciri Masjid NU dan Dalilnya menurut Ustadz Ma'ruf Khozin
Masjid NU di kawasan Ponorogo. (Foto: NU Online Jatim)
Masjid NU di kawasan Ponorogo. (Foto: NU Online Jatim)

Surabaya, NU Online Jatim

Ketika dalam perjalanan atau di rumah dan hendak melaksanakan shalat fardlu, tentu mencari masjid. Tapi sebagian harus memilah mana masjid yang bisa menimbulkan rasa nyaman kala beribadah. Maka tidak sedikit masjid yang sejak awal sudah menentukan sebagai masjid Nahdlatul Ulama.

 

Apa kelebihan yang melekat dari masjid tersebut? Tentu saja amaliah setiap hari pasti sesuai dengan kelaziman harian. Tidak ragu melakukan amalan karena ada kesesuaian dengan masjid dan langgar kebanyakan.

 

Menurut Ustadz Ma’ruf Khozin, ada sejumlah ciri khas masjid NU yang layak untuk dipertahankan. Meskipun tentu saja, ada saja kalangan yang membid’ahkan masjid dengan aneka ciri dimaksud.

 

Berikut ini sejumlah dalil agar Nahdliyin merasa mantap dalam menjaga ciri khas masjid maupun mushala yang ada.

 

“Masjid NU pasti ada tongkatnya,” kata Ketua Pengurus Wilayah (PW) Aswaja NU Center Jawa Timur tersebut, Ahad (10/01/2020).

 

Dalil yang membenarkan keberadaan tongkat adalah sebagai berikut:

 

 عَنْ شُعَيْبِ بْنِ رُزَيْقٍ الطَّائِفِىِّ قَالَ شَهِدْنَا فِيْهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ

 

Artinya: Diriwayatkan dari Syuaib bin Zuraiq, ia berkata: Kami menyaksikan di Madinah di hari Jumat bersama Rasulullah, kemudian beliau berdiri dengan berpegang pada tongkat atau anak panah. (HR Abu Dawud, no 1098)

 

“Ciri berikutnya yakni memakai mimbar, bukan podium,” ungkap alumnus Pesantren Ploso, Kediri ini. Sebab yang sesuai Sunnah Nabi adalah mimbar dengan tiga anak tangga, lanjutnya.

 

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَى جِذْعٍ إِذْ كَانَ الْمَسْجِدُ عَرِيْشًا . وَكَانَ يَخْطُبُ إِلَى ذَلِكَ الْجِذْعِ فَقَالَ رَجُل مِنْ أَصْحَابِهِ هَلْ لَكَ أَنْ نَجْعَلَ لَكَ شَيْئًا تَقُوْمُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ حَتَّى يَرَاكَ النَّاسُ وَتُسْمِعَهُمْ خُطْبَتَكَ ؟ قَالَ ( نَعَمْ ) فَصُنِعَ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ . فَهِيَ الَّتِي أَعْلَى الْمِنْبَرِ

 

Artinya: Rasulullah salat dan khutbah di dekat pelepah kurma. Ada sahabat usul: Bagaimana jika kami buatkan untuk Anda sebuah tempat yang dapat dilihat oleh orang dan suara khutbah Anda bisa didengar orang? Nabi menjawab: Ya. Maka dibuatlah mimbar dengan tiga tangga. (HR Ibnu Majah No 1414).

 

“Ciri berikutnya yakni adanya dua kali adzan sebelum Jumat,” ungkapnya pada acara yang berlangsung di Masjid Mudrikah, Wisma Gunung Anyar, Surabaya tersebut.

 

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ - رضى الله عنهما - فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ - رضى الله عنه - وَكَثُرَ النَّاسُ

زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ

 

Artinya: Adzan tambahan dalam Jumat memang baru diberlakukan dimasa Sayidina Utsman bin Affan dengan pertimbangan semakin banyaknya umat Islam. (HR al-Bukhari No 412-916, kemudian hal ini menjadi ketetapan). Dari hadis ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Terlihat jelas bahwa orang-orang melakukan intruksi Utsman di semua negara, karena beliau adalah pemimpin yang ditaati. (Fath al-Bari 3/318)

 

Ciri berikutnya yakni adanya bilal Jumat. Hal tersebut sebagaimana hadits di bawah ini.

 

( فَرْع ) اتِّخَاذُ الْمَرْقَى الْمَعْرُوفِ بِدْعَة حَسَنَة لِمَا فِيهَا مِنْ الْحَثِّ عَلَى الصَّلَاةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِرَاءَةِ الْآيَةِ الْمُكَرَّمَةِ وَطَلَبِ الْإِنْصَاتِ بِقِرَاءَةِ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ الَّذِي كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهُ فِي خُطَبِهِ وَلَمْ يَرِدْ أَنَّهُ وَلَا الْخُلَفَاءَ بَعْدَهُ اتَّخَذُوا مَرْقِيًّا . وَذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ أَنَّهُ لَهُ أَصْلًا فِي السُّنَّةِ وَهُوَ { قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ خَطَبَ فِي عَرَفَةَ لِشَخْصٍ مِنْ الصَّحَابَةِ اسْتَنْصِتْ النَّاسَ }

 

Artinya: Pengangkatan muraqqi (bilal) yang sudah dikenal adalah bid’ah hasanah, sebab ada dorongan untuk bersalawat kepada Nabi dan menyuruh diam dengan membaca hadits yang sahih yang dibaca oleh Nabi dalam khutbah-khutbahnya. Namun Nabi dan para sahabat tidak ada yang mengangkat muraqqi. Ibnu Hajar mengambil dasar hukum tentang bilal ini yaitu ketika Rasulullah SAW khutbah di Arafah beliau menyuruh sahabat agar menyuruh orang-orang diam. (Hasyiyah Qulyubi 4/79. Mengutip dari Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar al-Haitami, 9/310)

 

“Yang terakhir adalah adanya bedug sebagai penanda waktu shalat,” tegasnya.

 

فِي حُكْمِ ضَرْبِ الطَّبْلِ الْكَبِيْرِ الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ مُسْلِمُوْ اَرْضِ جَاوَاهْ فِي مَسَاجِدِهِمْ لِلاِعْلَامِ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ وَالدَّعْوَةِ اِلَى الْجَمَاعَةِ وَهِيَ خَشَبَةٌ كَبِيْرَةٌ طَوِيْلَةٌ جِدًّا يُنْحَتُ جَوْفُهَا نَحْتًا وَاسِعًا وَيُجْعَلُ عَلَى وَجْهَيْهَا جِلْدُ نَحْوِ جَامُوْسٍ وَيُسَمَّرُ عَلَيْهَا بِمَسَامِرَ كَبِيْرَةٍ مِنْ خَشَبٍ تُضْرَبُ بِخَشَبَةٍ صَغِيْرَةٍ فَيَخْرُجُ مِنْهَا صَوْتٌ دَوِيٌّ .... قُلْتُ ضَرْبُ الطَّبْلِ الْمَذْكُوْرِ لِلْغَرَضِ الْمَذْكُوْرِ مُبَاحٌ نَطَقَتْ بِذَلِكَ النُّقُوْلُ الْمَذْكُوْرَةُ بَلْ هُوَ دَاخِلٌ فِي اْلبِدْعَةِ الْمَحْمُوْدَةِ

 

Artinya: Hukum tentang bedug yang digunakan oleh umat Islam Jawa di masjid-masjid mereka, untuk memberi tahu masuknya waktu shalat dan mengajak berjamaah. Bedug adalah kayu berukuran besar yang sangat panjang, yang didalamnya diberi lubang yang luas yang kedua tepinya ditutupi semisal kulit kerbau, dipaku dengan beberapa paku bersa yang terbuat dari kayu, kemudian ditabuh dengan kayu kecil, sehingga mengeluarkan suara gemuruh… Saya katakan: Menabuh bedug dengan tujuan di atas adalah boleh, bahkan masuk dalam bid’ah yang terpuji. (Risalah al-Jasus fi Bayani Hukmi an-Naqus 13-14, karya Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri NU)

 

Namun demikian, bedug dan mimbar bukan patokan secara paten menandakan masjid NU, sebab harganya mahal.

 

“Secara pribadi saya lebih condong pada sisi amaliah sebagai ciri khas masjid NU dari pada bersifat material, seperti dzikir suara keras dan sebagainya,” pungkasnya.


Editor:

Metropolis Terbaru