• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Berikut Ketentuan Jamak dan Qashar Shalat

Berikut Ketentuan Jamak dan Qashar Shalat
Yang sedang melakukan perjalanan diperkenankan menjamak dan qashar shalat. (Foto: NOJ/KTi)
Yang sedang melakukan perjalanan diperkenankan menjamak dan qashar shalat. (Foto: NOJ/KTi)

Islam sebagai agama yang mengatur tata cara hidup bermasyarakat dan tata cara beribadah kepada Yang Maha Kuasa, tidak pernah membebani umatnya di luar kemampuan. Bahkan ketika berhubungan dengan perkara wajib pun Islam selalu memberikan dispensasi, sekiranya kewajiban itu terlalu membebani umatnya. Dispensasi atau keringanan dalam fiqih disebut dengan rukhshah. Hal ini tercermin dalam masalah qashar dan jamak shalat.

 

Secara bahasa qashar berarti meringkas, yaitu meringkas shalat yang semula harus dikerjakan empat rakaat (misal dluhur, ashar dan isya) menjadi dua rakaat. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat An-Nisa’ ayat 101:

 

 واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلاة

 

Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu.

 

Artikel diambil dariTuntunan Mengqashar Shalat

 

Karenanya, seseorang yang sedang dalam bepergian (musafir) dibolehkan mengqashar shalat. Begitu pula jika dalam keadaan berperang. Karena tuntunan konsentrasi penuh dalam menghadapi serangan pihak musuh, maka diperbolehkan mengqashar shalat.

 

Demikian pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW sebagaimana diterangkan dalam hadits Muslim yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayah:

 

ليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلاة ان خفتم ان يفتنكم الذين كفروا

 

Artinya: Tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir.

  

Begitulah di antara dalil Al-Qur’an dan as-sunah yang menunjukkan diperbolehkannya mengqashar shalat. Sedangkan petunjuk teknis mengqashar shalat tentunya hanya terdapat dalam kitab-kitab fiqih yang merupakan warisan para mujtahid dalam menentukan sebuah hukum.

 

Hal tersebut sebagaimana keterangan dalam Matnul Gyayah wat Taqrib karya Qadhi Abu Suja’:

 

 فصل – ويجوز للمسافر قصر الصلاة الرباعية بخمس شرائط: ان يكون سفره فى غير معصية, وان تكون مسافته ستة عشر فرسخا, وان يكون مؤديا للصلاة والرباعية وان ينوي القصر مع الاحرام وان لايأتم بمقيم

 

Artinya: Bagi seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang berrakaat empat dengan lima syarat. 1) kepergiannya bukan dalam rangka maksyiat. 2) jarak perjalanannya paling sedikit 16 farsakh. 3) shalat yang diringkas adalah yang berrakaat empat. 4) niat mengqashar bersamaan dengan takbiratul Ihram. 5) dan hendaknya tidak bermakmum pada orang yang mukim (tidak musafir).

 

Dari keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa syarat mengqashar shalat pada dasarnya adalah ketika dalam berpergian. Namun syarat ini bisa ditawar dalam kondisi perang. Apabila di rasa empat rakaat terlalu lama dan menghawatirkan keamanan maka diperbolehkan mengqashar shalat. Sebagaimana kerangan hadits di atas.

 

Adapun syarat kedua mengenai jarak tempuh perjalanan, maka mengqashar shalat hanya diperbolehkan ketika jarak tempuh bepergian mencapai 16 farsakh atau kira-kira 90 km. Yaitu jarak yang biasanya para musafir telah mengalami kelelahan dan kepayahan.

 

Dari dua syarat tersebut (musafir dan ukuran jarak tempuh), maka barang siapa dalam perjalanan seseorang tidak sempat shalat.

 

Lalu sesampai di rumah ia hendak mengqadhanya (membayarnya) maka orang tersebut tidak diperbolehkan mengqashar shalat (dengan 2 rakaat) karena ia tidak lagi dalam keadaan musafir. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang mempunyai utang shalat kemudian dia melakukan perjalanan (musafir) lalu ia hendak membayarnya dengan mengqadha maka tidak boleh shalat itu dilakukan dengan cara qasahar (2 rakaat). Karena utang shalat itu terjadi ketika dia belum berstatus sebagai musafir.

 

Adapun penjelasan mengenai syarat ketiga, maka itu bersifat pasti. Hanya shalat yang empat rakaatlah yang boleh diqasahar. Itu artinya shalat dhuhur, ashar dan isya. Dengan kata lain ketika seseorang berpergian dalam jarak tempuh lebih dari 90 km (misalkan dari Surabaya menuju Jakarta) secara otomatis ia akan melewati waktu shalat dhuhur dan ashar, apabila berangkat dari pagi hari melalui jalur darat maupun laut. Maka orang tersebut boleh melakukan shalat dhuhur dan ashar masing-masing dua rakaat.

 

Akan tetapi jikalau orang tersebut melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat sehingga dapat menghemat waktu, maka baginya ada dua pilihan. Boleh mengqashar shalat ataupun tidak mengqashar. Karena pada dasarnya qashar sebagai sebuah dispensasi (rukhshah) tidaklah bersifat wajib, tetapi bersifat anjuran. Artinya, qashar adalah sebuah pilihan yang disediakan oleh Allah bagi umat-Nya yang merasa berat melakukan shalat dengan empat rakaat ketika bepergian.

 

Oleh karena itu seorang muslim selaku hamba Allah boleh memilih qashar atau tidak. Tetapi lebih baik melakukannya ketika syarat lima telah terpenuhi.

 

Mengenai tata cara niat tidak ada yang berubah sebagaimana niat dalam shalat biasa, yaitu niat dibarengkan dengan takbiratul ihram di dalam hati yang bunyinya, sebagai berikut:

 

أصلى فرض الظهر ركعتين مستقبل القبلة قصرا لله تعالى

 

Ushalli fardhad dhuhri rak’ataini mustaqbilal qiblati qasran lillahi ta’la.

 

Artinya: Aku niat shalat dhuhur dua rekaat menghadap qiblat keadaan qashar karena Allah.

 

Dan syarat yang terakhir, hendaklah jika seseorang melakukan shalat qashar jangan makmum kepada imam yang tidak qashar (sedang shalat biasa). Qashar boleh dilakukan secara berjamaah berbarengan dengan sesama musafir.​​​


Editor:

Keislaman Terbaru