• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Cara Gus Dur Mempromosikan Kiai

Cara Gus Dur Mempromosikan Kiai
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Ilustrasi: NU Online Jatim/elnuha)
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Ilustrasi: NU Online Jatim/elnuha)

Tahun 1980an, beberapa kiai sempat menjuluki Gus Dur sebagai “kiai ketoprak”. Julukan itu dilontarkan lantaran gaya Gus Dur: slenge’an kayak seniman, akrab juga dengan seniman, menjadi dewan juri Festival Film Indonesia, fasih bercerita wayang, paham seluk beluk ludruk, kesenian asli Jawa Timur tersebut.

 

“Kiai kok begitu,” kira-kira itulah keluhan beberapa kiai. Ya, terasa sinikal julukan tersebut. Tapi pelan-pelan julukan itu luntur, hilang sama sekali. Mengapa?

 

Gus Dur membuktikan bahwa dirinya cinta mati pada kiai. Pembuktian Gus Dur tidak main-main. Dia gencar menulis profil-profil kiai secara populer di pelbagai media. Setelah Kiai Saifuddin Zuhri mulai jarang menulis kiai-kiai (karena makin sepuh dan sepertinya sudah khatam menulis kiai setelah terbitnya buku “Berangkat dari Pesantren” tahun 1984), Gus Durlah yang meneruskan tradisi gurunya (Kiai Saifuddin Zuhri) menulis kiai dengan serius: detil, mengena, sastrawi, dan pada saat yang bersamaan, tidak kehilangan kejenakaannya.

 

Salah satu karya Gus Dur yang saya suka, sangat suka, buku tipis “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” (LKiS: 2001). Sebab, di dalam berbagai kolomnya, Gus Dur menempatkan kiai bukan sebagai maf’ul bih (obyek), melainkan sebagai fa’il (subyek), pelaku yang berperan aktif dengan segala perannya, dengan semua cara pandang, pola pikirnya dan tindakannya.

 

Dalam buku “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah”, Gus Dur mengisahkan Kiai Iskandar, sosok unik yang di masa remaja bersekolah di lembaga Muhammadiyah kemudian melanjutkan pendidikannya di Ponpes Lirboyo, Kediri, dan sepulang dari mondok dia harus mengemong dua kubu di desanya: santri dan abangan yang bertahun tahun berseteru.

 

Ketika ada jenazah muslim KTP, alias nggak pernah beribadah tapi mengaku Islam, Kiai Iskandar memilih tetap mensalatinya dengan berbagai pertimbangan.
Tindakan Kiai Iskandar ini menjadi perbincangan kalangan “santri” maupun saudara-saudara “abangan”. Tapi, sejak saat itu abangan ini mulai luluh. Mereka semakin menghormati Kiai Iskandar dan perlahan lahan banyak juga yang terpengaruh gaya dakwah beliau yang ngemong itu, memanusiakan manusia itu.

 

Selain Kiai Iskandar, banyak ulama-ulama lain yang dikisahkan dalam buku ini. Kiai Adlan Ali, Gus Miek, Kiai Wahab Sulang Rembang, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Abdullah Salam, dan kiai-kiai lainnya dengan segala alam pikiran dan tindakannya sebagai khadimul ummah (pelayan umat). Mereka punya gayanya masing-masing sebagai seorang kiai. Inilah yang dipotret oleh Gus Dur kemudian dikupas dalam berbagai esainya.

 

Bagi saya ini cara unik Gus Dur mempromosikan kiai di era 1980-an hingga satu dasawarsa berikutnya. Ketika banyak pihak menilai kiai sebagai sosok kolot-konservatif, Gus Dur menampilkan pribadi KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, yang tidak pernah kuliah secara formal, namun memiliki pemikiran fiqh brilian, melalui esai yang judulnya amat puitis: “Kiai Pencari Mutiara”.

 

Ketika banyak sindiran, menilai kiai hanya duduk di “menara gading”, ogah menyapa para pendosa, Gus Dur mempromosikan Gus Miek dengan segala kiprahnya menghampiri dan membimbing para pelaku di dunia hitam.

 

Tatkala ada yang berprasangka apabila kiai hanya berkutat pada hitam-putih hukum fikih, Gus Dur memperkenalkan gurunya, KH. Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta, melalui esai berjudul “Baik Belum Tentu Bermanfaat”, di mana dalam tulisan ini Gus Dur mengambil penerapan metodologi ushul fiqh aplikatif ala Kiai Ali. Dan seterusnya, dan seterusnya.

 

Bagi saya, penulisan berbagai esai di atas melalui corong media “sekuler” bernama TEMPO dan Kompas di dasawarsa 1980-an hingga satu era berikutnya, adalah langkah cerdik. Di dua media massa yang mengusung “sekularisme” secara ketat itu, Gus Dur malah “pasang iklan” tentang dunia kepesantrenan dengan segela kebudayaannya. Sebuah tawaran alternatif nan cerdik di tengah asumsi negatif mengenai sosok kiai pesantren (kolot, saklek, anti pendidikan formal, berpikir usang, anti perubahan, jarang pakai celana, dan seterusnya).

 

Dengan cara yang elegan, Gus Dur mengerek profil-profil ulama pesantren di panggung kehormatan agar lebih dikenal publik.

 

Kalau pembaca mengklaim diri sebagai Gusdurian tapi tak membaca buku berisi 26 esai ini, saya kira bagaikan mendaku diri pengagum Pram tapi tak membaca “Arus Balik”. Ironis. Saran saya, buku ini bisa dipakai sebagai bahan baku alami menyebut Gus Dur sebagai “Pecinta Ulama Sepanjang Zaman”.

 

Setuju?

 

Penulis adalah peminat pemikiran Gus Dur, dan Rektor Inaifas, Kencong, Jember.


Editor:

Opini Terbaru