• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Rehat

Dahlan Iskan dan Kemampuan Bahasa Mandarin Santri Nurul Jadid

Dahlan Iskan dan Kemampuan Bahasa Mandarin Santri Nurul Jadid
Dahlan Iskan (kiri) saat menerima Novi Basuki di kediamannya. (Foto: NOJ/JPNN)
Dahlan Iskan (kiri) saat menerima Novi Basuki di kediamannya. (Foto: NOJ/JPNN)

Saat new normal, Dahlan Iskan memiliki tradisi unik dalam menerima tamu, yakni dilakukan bawah pohon mangga di kediamannya. Meskipun selama ngobrol tidak disediakan minuman dan suguhan. Agenda tamu yang akan datang adalah dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo dan dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Lalu rombongan dari pesantren di Pasuruan dan dari Pondok Pesantren Dalwa Bangil dan Mambaus Sholihin Gresik.

 

Tibalah ‘giliran’ Novi Basuki yakni alumni Pesantren Nurul Jadid yang sudah 10 tahun di Xiamen. Ia kuliah di Xiamen University sampai strata dua. Bahkan kini sedang kuliah program doktor di Guangzhou, tepatnya di Sun Yat-sen University. Disertasi doktornya nanti akan ditulis dalam bahasa Mandarin.

 

Sang tamu masih muda, usianya 27 tahun. Novi lahir di lereng Gunung Argopuro, Situbondo sebagai anak tunggal dari petani tidak tamat SD di Desa Sumber Malang, kawasan setempat.

 

Sejak tamat SD, Novi sudah ingin masuk pondok pesantren Nurul Jadid. Pondok ini memang sangat terkenal. Tapi Novi dianggap masih terlalu kecil untuk pisah dari orang tua. Letak desa itu jauh di pedalaman. Perlu waktu naik motor 1,5 jam untuk sampai di Nurul Jadid —tidak jauh dari ‘kota PLTU’ Paiton.

 

Pondok ini memiliki lembaga pendidikan formal dari tingkat usia dini, ibtidaiyah, SMP, Tsanawiyah, SMA, Aliyah, pun perguruan tinggi. SMA-nya pun ada dua: yang unggulan dan yang biasa. Yang SMA unggulan itu muridnya harus bisa tiga bahasa sekaligus: Arab, Inggris dan Mandarin.

 

Begitu tamat SMP, Novi masuk SMA unggulan itu. Kalau siang sekolah bahasa. Kalau malam ngaji kitab-kitab agama dalam bahasa Arab. Novi angkatan keempat di SMA unggulan itu. Guru bahasa Mandarinnya asli dari Tiongkok. Atas bantuan pemerintah sana lewat Konsulat Tiongkok di Surabaya.

 

Waktu kelas 2 SMA Novi ikut lomba pidato bahasa Mandarin di Surabaya. Peserta non-Tionghoanya hanya tiga: Novi, satu rekannya dari Nurul Jadid, dan satu lagi dari pondok pesantren di Lirboyo Kediri. Selebihnya anak-anak Tionghoa. Ternyata Novi berhasil menjadi juara pertama.

 

Ia dikirim ke Jakarta. Untuk lomba tingkat nasional. Yang tiga besarnya akan dikirim ke Xiamen, kota terbesar di Provinsi Fujian. Di Jakarta, Novi juara favorit. Ia pun mendapat beasiswa kuliah di Xiamen. Jurusan bahasa Mandarin pula. “Juara pertamanya anak Tionghoa dari Pontianak. Sekarang jadi bikkhu Buddha,” ujar Novi.
 

Ia belum tahu kapan bisa kembali ke Guangzhou. Tapi profesor pembimbingnya di sana membuat target bahwa tahun depan Novi sudah harus maju disertasi. Kelihatannya ia akan menulis desertasi tentang Tionghoa Islam di Asia Tenggara.

 

Selama libur Covid-19 ini Novi pulang ke Situbondo. Ia memanfaatkan waktu untuk menanam sengon di tanah milik ayahnya. Ia juga mulai menanam porang seluas 3 hektare di lereng gunung itu. “Kalau bisa saya ingin jadi pengusaha,” katanya.

 

“Dapat pacar di Xiamen? Atau di Guangzhou?” tanya Dahlan Iskan.

 

“Pacar saya di dekat Situbondo. Alumni Nurul Jadid dan Pondok Modern Gontor,” jawab Novi.

 

Kemarin Novi ke Surabaya. Itu karena diminta Bu Risma, Wali Kota Surabaya untuk menjadi penerjemah tamu dari Tiongkok. Tapi tamu itu ternyata batal datang.

 

Saat kuliah, Novi memang pernah menjadi penerjemah Risma waktu berkunjung ke Xiamen. Waktu itu Pemkot Surabaya minta agar Pemda Xiamen menyediakan penerjemah. Ternyata Pemda Xiamen menunjuk Novi. Sejak itu setiap ada rombongan dari Surabaya Novi lah yang diminta menjadi penerjemah.
 

Di antara pondok pesantren yang punya minat jurusan Mandarin, Nurul Jadid jawaranya. Sekarang ini sudah lebih 200 alumni Nurul Jadid yang lulus universitas di berbagai kota di Tiongkok.

 

Kebetulan guru Mandarin pertama yang diperbantukan ke Nurul Jadid berasal dari suku Hui. Dari kota Chongqing. Berarti ia Islam —semua suku Hui adalah Islam.

 

Maka guru Mandarin itu tiap hari berkopiah dan bersarung. Setelah masa tugasnya habis ia diganti guru dari suku Han yang tentu saja komunis. “Tapi ia sering kami ajak bercanda untuk juga memakai sarung. Mau juga,” ujar Novi.

 

Kini SMA unggulan tiga bahasa di Nurul Jadid itu sampai menolak-nolak murid baru saking favoritnya. “Saya pun ingin bermalam lagi di pondok itu,” tutup Dahlan Iskan.


Editor:

Rehat Terbaru