• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Keislaman

Haid saat Ramadlan, Apa yang Bisa Dilakukan Perempuan?

Haid saat Ramadlan, Apa yang Bisa Dilakukan Perempuan?
Meski haid, perempuan masih bisa melakukan sejumlah ibadah saat Ramadlan. (Foto: NOJ/NU Online)
Meski haid, perempuan masih bisa melakukan sejumlah ibadah saat Ramadlan. (Foto: NOJ/NU Online)

Perempuan merupakan makhluk istimewa. Dalam banyak kasus, keberadaannya mendapat perhatian lebih. Islam juga memberikan perhatian lebih kepada perempuan.

 

Namun saat Ramadlan tiba, tidak sedikit yang bersedih. Mungkin itu yang dirasakan para perempuan taat yang tak bisa menjalani ibadah puasa Ramadlan secara penuh. Kodratnya sebagai perempuan dewasa yang pasti mengalami haid atau menstruasi tiap bulan menghalanginya untuk menjalankan sejumlah ibadah tertentu.

 

Puasa, bahkan, secara otomatis batal ketika darah itu keluar meski si perempuan sudah menahan lapar seharian hingga menjelang Maghrib tiba. Dan atas batalnya ini ia diharuskan mengganti (qadla) di luar Ramadlan.

 

Menjalani puasa dengan berbagai kesulitannya ini saja sesungguhnya termasuk ibadah tersendiri bagi perempuan. Butuh kesabaran dan keikhlasan melewatinya, yang belum tentu bisa dilakukan oleh setiap laki-laki.

 

Dalam kitab Taqrib dijelaskan, ada delapan jenis ibadah yang dilarang bagi perempuan yang sedang haid atau nifas, yakni shalat, puasa, membaca Al-Qur'an, menyentuh dan membawa mushaf, masuk masjid, thawaf, jima', dan bersenang-senang di sekitar organ kemaluan.

 

Ulama berbeda pendapat dengan delapan larangan yang dianut mayoritas ulama Syafi’iyah ini. Misalnya, madzhab Maliki secara mutlak membolehkan membaca Al-Qur’an, dan madzhab Hanbali membolehkan i’tikaf di masjid.

 

Bulan Ramadlan menjadi momen melipatgandakan kebaikan. Perempuan yang sedang haid atau nifas memang mendapat batasan untuk menunaikan ibadah-ibadah tersebut. Namun, ia bisa melakukan ibadah lain yang jumlahnya lebih banyak, dan anjurannya memang jelas dalam dalil yang bersifat umum.

 

Berikut sejumlah ibadah yang dapat dilakukan perempuan dalam kondisi haid:
 

  1. Mencari Ilmu

Mencari ilmu menjadi pilihan bagus ibadah bagi perempuan yang sedang haid atau nifas, baik dilakukan secara otodidak dengan membaca buku atau kitab, ataupun melalui bimbingan guru dengan mendatangi majelis-majelis ilmu. Mencari ilmu dalam Islam bersifat wajib (faridlah). Manfaatnya yang sangat besar bagi diri sendiri dan orang lain membuat kegiatan tersebut masuk kategori ibadah, bahkan setara dengan jihad.

 

تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ فَإِنَّ تَعَلُّمَهُ لِلهِ خَشْيَةٌ، وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ، وَمدَارَسَتَهُ تَسْبِيحٌ، وَالْبَحْثُ عَنْهُ جِهَادٌ

 

Artinya: Belajarlah ilmu, sesungguhnya belajar ilmu karena Allah adalah suatu bentuk ketakwaan. Mencari ilmu adalah ibadah, menelaahnya adalah tasbih, dan mengkajinya adalah jihad. (HR Ad-Dailami)
 

  1. Berdzikir 

Dzikir adalah perbuatan yang dianjurkan untuk siapa saja dan kapan saja. Dzikir adalah indikasi hidupnya hati. Rasulullah dalam hadits riwayat Imam Bukhari bersabda: Perumpamaan antara orang yang dzikir pada Tuhannya dan yang tidak, seperti antara orang yang hidup dan yang mati. Jenis dzikir sangat banyak, bisa berupa ucapa tasbih, tahmid, takbir, hauqalah, dan lain sebagainya. Aktif dalam majelis istighotsah, tahlilan, atau forum dzikir lainnya karena itu termasuk bernilai ibadah.


Dalam konteks Ramadlan, umat Islam dianugerahi kesempatan Lailatul Qadar yang disebut Al-Qur’an setara dengan serbu bulan. Meski banyak ulama yang meyakini momen itu jatuh pada sepuluh terakhir Ramadlan, sejatinya jadwal pastinya hanya Allah yang tahu.

 

Perempuan haid/nifas, sebagaimana umat Islam pada umumnya, sangat dianjurkan menfaatkan hari demi hari, detik demi detik, sepanjang bulan suci ini untuk beribadah, termasuk berdzikir. Sayyidah Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasul, andaikan aku bertemu Lailatul Qadar, doa apa yang bagus dibaca? Rasul menjawab:


 اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي  

 

Artinya: Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai orang yang minta ampunan. Karenanya ampunilah aku. (HR Ibnu Majah)
 

  1. Berdoa 

Doa juga menjadi pilihan ibadah yang mudah dan sangat dianjurkan bagi perempuan yang sedang haid atau nifas. Dalam sebuah hadits doa disebut sebagai mukhkhul ibâdah (otak dari ibadah).


Doa bisa dilafalkan dengan bahasa apa saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, termasuk oleh perempuan yang sedang haid atau nifas. Lebih dari sekadar meminta, doa yang berakar kata dari da‘â-yad‘û-du‘â  juga berarti berseru atau memanggil. Doa mengandung ikhtiar mendekatkan diri kepada Allah. Berdoa bisa juga disebut bermunajat.
 

  1. Kegiatan Sosial 

Di samping ibadah yang bersifat ritual, umat Islam juga diperintahkan untuk memperbanyak kegiatan positif yang bersifat sosial. Kegiatan sosial tersebut bisa berupa pergaulan secara baik, donor darah, menanam pohon, memberi makan kaum fakir, memudahkan urusan orang lain, mengajar, menyediakan buka puasa bagi anak-anak jalanan, dan lain sebagainya. 


Di bulan suci Ramadlan ibadah bernuansa sosial itu tercermin, misalnya, dalam perintah untuk menyuguhkan buka puasa walaupun hanya sebiji kurma. Artinya, aktivitas perempuan haid yang menghidangkan sajian berbuka untuk keluarga terhitung ibadah. 


Puasa sendiri adalah bentuk latihan seorang hamba untuk merasakan saudara-saudaranya yang sehari-hari didera rasa lapar dan haus karena tak mampu. Dengan demikian, kegiatan sosial sesungguhnya merupakan ibadah yang memang menjadi jati diri makna puasa itu sendiri.


Selain ketiga contoh di atas masih banyak bentuk ibadah lain yang bisa dilakukan perempuan yang tengah menstruasi atau nifas. Aktivitas itu tidak hanya yang berelasi khusus dengan Allah, tapi juga bisa sekaligus dengan sesama manusia. 


Bagaimana dengan membaca Al-Qur’an? Seperti disebutkan di atas, ulama berbeda pendapat soal ini. Dalam madzhab Syafi’i ulama sepakat bahwa perempuan haid/nifas tidak diperkenankan menyentuh atau membawa mushaf. Tapi sebagian lain membolehkan membaca Al-Qur’an (tanpa menyentuhnya) dengan niat dzikir, doa, atau mempelajarinya. 


Mengenai hal ini I'anatuth Thalibin menjelaskan:
 

 وإن قصد الذكر وحده أو الدعاء أو التبرك أو التحفظ أو أطلق فلا تحرم لأنه عند وجود قرينة لا يكون قرأنا إلا بالقصد ولوبما لا يوجد نظمه فى غير القرأن كسورة الإخلاص

 

Artinya: Apabila ada tujuan berdzikir saja atau berdoa, atau mencari berkah atau menjaga hafalan, atau tanpa tujuan apa pun (selama tidak berniat membaca Al-Qur'an) maka (membaca Al-Qu'an bagi perempuan haid) tidak diharamkan. Kerena ketika dijumpai suatu qarinah, maka yang dibacanya itu bukanlah Al-Qur'an kecuali jika memang dia sengaja berniat membaca Al-Qur'an. Walaupun bacaan itu sesungguhnya adalah bagian dari Al-Qur'an semisal surat al-Ikhlas. 

 

Wallâhu a‘lam.

 

Mahbib Khoiron adalah Redaktur Pelaksana Situs Resmi PBNU, NU Online. 


Editor:

Keislaman Terbaru