• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Opini

Hari Pahlawan dan Jihad Literasi Santri

Hari Pahlawan dan Jihad Literasi Santri
Santri dituntut menguasai literasi dan menyebarkannya di media. (Foto: NOJ/MSi)
Santri dituntut menguasai literasi dan menyebarkannya di media. (Foto: NOJ/MSi)

Santri selalu menjadi aktor utama dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Resolusi jihad yang puncaknya peperangan 10 November di Surabaya adalah salah satu bukti nyata bahwa mereka senantiasa menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kemedekaan Tanah Air.

 

Tidak hanya perjuangan merebut kemerdekaan, santri juga aktif dalam mengisi dan berkontribusi dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia sampai saat ini. Santri adalah benteng moral dan spiritual yang menjaga bangsa ini dari berbagai macam ideologi yang mengancam persatuan republik ini.

 

Hubbul wathan minal iman bukan sekadar slogan, tapi telah menjadi ruh dan darah yang mengalir pada denyut nadi para santri. Mereka akan terus berjuang mempertahankan sekaligus mengisi hasil perjuangan para ulama dalam memerdekakan negeri ini.

 

Tetapi yang menjadi pertanyaan penting adalah pada zaman modern adalah apa bentuk kontribusi santri untuk bangsa?

 

Hari ini kita telah merdeka, tetapi bukan berarti bangsa ini tidak memiliki masalah dan tantangan lagi. Kemajuan teknologi yang sangat cepat tidak hanya memberikan kemajuan, inovasi, dan berbagai kemudahan, tetapi juga melahirkan berbagai persoalan besar yang tidak terpikirkan sebelumnya.

 

Cepatnya perkembangan teknologi informasi melahirkan satu dunia baru yang bergerak dengan sangat cepat. Dunia maya adalah dunia yang terbuka dengan lalu lintas informasi super cepat dan tanpa batas. Dunia virtual ini menghujani otak dengan jutaan informasi setiap hari, dan tidak semua kabar benar dan bermanfaat. Sebagian besar informasi yang diterima justru berisi kabar bohong dan informasi nir manfaat.

 

Tidak hanya itu, keterbukaan informasi digital membuka medan perang baru yaitu perang ideologi. Di dunia maya khususnya media social, akan melihat lalu lalang berbagai ide dan gagasan dari berbagai macam ideologi. Gagasan-gagasan itu saling serang satu sama lain, saling menjatuhkan, bahkan jika perlu saling mematikan. Hal itu bisa berupa ideologi negara, agama, politik dan lain sebagainya.

 

Sayangnya di tengah tumpukan masalah yang lahir akibat kemajuan teknologi informasi, kemampuan literasi santri masih dipertanyakan. Kemampuan untuk menyaring informasi, kemampuan bertahan dari berbagai macam ideologi yang menyerang ideologi negara, atau ideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah masih perlu ditingkatkan.

 

 

Oleh karena itu, menurut penulis bahwa salah satu kontribusi besar yang bisa dilakukan santri pada zaman ini adalah dengan jihad literasi. Literasi yang dimaksud di sini adalah kemampuan membaca dan menulis, mengelola dan memahami informasi, berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, serta penguasaan teknologi. Jadi, jihad literasi adalah usaha sungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan dan potensi santri dalam hal yang telah disebutkan di atas. Semua kemampuan tersebut sangat dibutuhkan pada zaman ini.

 

 

Melestarikan Budaya Ulama

Jika membaca sejarah, budaya literasi telah dilakukan oleh para ulama terdahulu, bahkan  tradisi menulis sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Beberapa sahabat mengumpulkan dan menulis al-Qur’an. Walaupun sempat dilarang, akhirnya hadits Rasulullah juga akhirnya ditulis dan dibukukan. Berkat aktivitas literasi yang dilakukan para sahabat, dapat dengan mudah mempelajari hadits dari Rasulullah.

 

Tradisi literasi itu terus berkembang, puncaknya pada zaman Dinasiti Abasiyah sehingga Islam menjadi pusat kebudayaan intelektual. Walaupun setelah  masa itu ada kemunduran, tetapi aktivitas menulis masih tetap berlangsung sampai sekarang. Para ulama Nusantara juga ikut andil dalam budaya literasi ini. Seperti Imam Nawawi al-Bantani dan Syekh Makhfudz al-Turmusi adalah contoh ulama Nusantara yang karyanya banyak dan diakui oleh ulama baik di dalam atau di luar negeri.

 

Jadi, ketika para santri melakukan jihad literasi, itu berarti mereka meneruskan dan melestarikan budaya literasi yang telah dibangun para ulama dan kiai. Sejarah peradaban Islam pada dasarnya dibangun atas budaya literasi yang sangat kuat. Oleh karena itu harus tetap mempertahankan budaya itu dengan baik.

 

Pada zaman dengan kecepatan informasi seperti sekarang, budaya literasi merupakan kebutuhan primer. Tanpa kemampuan literasi akan hilang dalam jagat raya dunia maya yang begitu keras. Dengan demikian, kemampuan literasi akan menjadi modal utama bagi santri untuk bisa beradaptasi dengan dunia modern.

 

Tanpa kemampuan literasi yang mumpuni khususnya literasi informasi dan media, santri akan mudah terombang-ambing oleh derasnya arus informasi. Akan mudah kehilangan keyakinan, jati diri dan bahkan ideologi yang dibawa dari pesantren.

 

 

Dunia modern juga dibangun di atas perangkat teknologi yang sangat canggih. Santri yang selalu mendapatkan stigma gagap teknologi, bisa jadi akan sangat kesulitan melebur dalam dunia yang canggih. Untuk itu penguasaan literasi digital menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditolak, karena tanpa kemampuan penguasaan teknologi itu, santri hanya akan menjadi objek, bukan subjek yang mampu mengusai teknologi.

 

 

Literasi sebagai Media Dakwah

Kemampuan literasi yang baik juga dapat dijadikan sebagai senjata yang ampuh untuk berdakwah. Bukankah santri adalah agen perubahan dalam dunia dakwah?

 

Hari ini medan dakwah sangat terbuka lebar dengan adanya dunia maya. Manusia modern khususnya para remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di media sosial, dengan demikian itu adalah tempat yang paling tepat untuk melakukan dakwah.

 

Untuk berdakwah di media sosial tentunya membutuhkan kemampuan literasi yang baik, terutama kemampuan menulis, agar dakwah bisa dilakukan dengan efektif. Kelompok Islam radikal banyak menggunkan media sosial untuk menyebarkan paham dan propaganda. Untuk itu para santri harus mengimbangi narasi Islam keras yang disebarkan kelompok radikal dengan narasi dakwah yang lembut sekaligus mencerminkan Islam rahmatan lil’alamin.

 

Narasi dakwah tersebut bisa berbentuk tulisan yang bisa dibaca dan dipahami masyarakat luas. Oleh karena itu santri dengan semua kelebihannya di bidang keilmuan harus mampu menuangkannya ke dalam tulisan yang berkualitas dan memberikan edukasi kepada masyarakat.

 

Jika mampu menguasai media sosial dengan dakwah yang sejuk, dengan narasi Islam yang ramah dan toleran, dengan sendirinya paham radikal akan hilang dengan sendirinya. Selama ini mereka bisa berkembang dengan baik karena mampu menguasai dunia maya khususnya media sosial dengan menulis narasi sesuai ideologi mereka.

 

 

Tidak heran jika banyak menemukan tulisan penuh kebencian membid’ahkan atau bahkan mengafirkan kelompok lain yang tidak satu pendapat dengan mereka. Santri harus mampu memberikan perlawanan, jangan sampai mereka mengusai jagat media sosial dengan ujaran kebencian.

 

Perkembangan teknologi tidak dapat ditolak dan disangkal. Teknologi dengan semua masalah yang dibawa akan terus menemani kehidupan. Oleh sebab itu, santri sebaiknya menyiapkan diri menghadapi situasi semacam itu, salah satunya dengan melakukan jihad literasi sebagai bukti cinta kepada negeri. Dan selamat hari pahlawan 2020.  

 

Penulis adalah alumnus Pesantren Tremas Pacitan dan staf pengajar di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.


Editor:

Opini Terbaru