• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Hari Pers Nasional? Tengoklah ‘Swara Nahdlatoel Oelama’

Hari Pers Nasional? Tengoklah ‘Swara Nahdlatoel Oelama’
Swara Nahdlatoel Oelama merupakan media cetak pertama yang dikelola NU. (Foto: NOJ/ISt)
Swara Nahdlatoel Oelama merupakan media cetak pertama yang dikelola NU. (Foto: NOJ/ISt)

Pada masa kolonial, terutama pada awal abad 20, pers yang dikelola oleh Bumiputera mulai berkembang seiring dengan kebangkitan nasional. Hampir setiap partai politik, organisasi, perkumpulan atau sekadar studi club memiliki corong persnya sendiri, yaitu De Expres (Indische Partij), Saroetomo dan Oetoesan Hindia (Sarekat Islam), serta Indonesia Merdeka (Perhimpunan Indonesia).

 

Kesadaran menggunakan pers sebagai media informasi dan propaganda juga dirasakan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Semenjak berdiri pada 31 Januari 1926, setidaknya ada tiga pers yang diterbitkan oleh NU mulai, yaitu Swara Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Berita Nahdlatoel Oelama, dan Soeloeh Perdjuangan.

 

Dari sekian media pers yang diterbitkan oleh NU, majalah Swara Nahdlatoel Oelama merupakan media tertua. Tak ada catatan pasti sejak kapan Swara Nahdlatoel Oelama tersebut diterbitkan. Salah satu terbitan tertua yang masih tersimpan di perpustakaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan juga Arsip Nasional adalah edisi nomor 6 tahun ke-1 pada Jumadits Tsani 1346 H.

 

Jika merujuk pada nomor tersebut, dapat dipastikan edisi pertama terbit pada Muharam 1346 H atau sekitar Juli 1927 M. Sekitar empat bulan sebelum muktamar kedua NU.

 

Jika pers nasionalis menggunakan aksara Latin dan Bahasa Melayu atau Bahasa Belanda, Swara Nahdlatoel Oelama menggunakan aksara Pegon dan berbahasa Jawa. Hal ini, tentunya disesuaikan dengan sasaran pembacanya yang berlatar belakang santri. Namun, dalam penulisan iklan, majalah bulanan itu, ditulis menggunakan huruf Latin dan Melayu.

 

Direktur pertama Swara Nahdlatoel Oelama adalah H Hasan Gipo yang juga menjabat sebagai presiden tanfidziyah Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (PBNU). Ia dibantu oleh Ahmad Dahlan bin Muhammad Ahid sebagai anggota. Baru pada Nomor 12 Tahun ke-3, nama KH Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas tercantum sebagai pemimpin redaksi.

 

Di majalah tersebut, tidak ada rubrikasi khusus. Setiap artikel hanya dibatasi oleh garis, di mana setiap lembar terdiri atas dua kolom. Sebagai pers organisasi, Swara Nahdlatoel Oelama memuat berita tentang kegiatan NU, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Seperti halnya kunjungan para pengurus pusat ke daerah-daerah ataupun proses pendirian cabang-cabang NU baru.

 

Selain itu, juga memuat artikel keagamaan yang ditulis oleh para kiai. Kebanyakan artikel tidak mencantumkan nama penulisnya, terutama dalam tulisan yang bersifat berita. Tetapi, ada juga artikel yang mencantumkan nama penulisnya.

 

Salah satu artikel yang mencantumkan nama penulisnya adalah karya Kiai Saleh Syamsudin dari Lateng, Banyuwangi. Tulisannya berjudul Bab Shiyam yang dimuat pada edisi Nomor 12 Tahun ke-2 Dzulhijah 1347 H.

 

Abubakar Aceh dalam buku Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim (Pustaka Tebuireng, 2015) mencatat, bahwa pada Muktamar (Kongres nama pada saat itu) ketiga NU di Surabaya, 1928, mengamanatkan kepada umat Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab (Ahlussunnah wal Jama’ah) untuk berlangganan majalah-majalah terbitan NU.

 

Selain Swara Nahdlatoel Oelama yang menggunakan aksara Pegon, bisa juga memilih majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama yang menggunakan huruf Latin (halaman 542). Instruksi dari muktamar tersebut, dapat dipahami mengingat bagaimana sengitnya perdebatan antara kalangan pesantren dan gerakan-gerakan purifikasi keagamaan saat itu. Sering kali amaliah warga NU dan penganut Ahlussunah wal Jama’ah lainnya dicap sebagai tindakan takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC). Dari majalah-majalah tersebutlah, para ulama NU memberikan pembelaan atas tuduhan-tuduhan tersebut.

 

KH Wahab Chasbullah dalam Swara Nahdlatoel Oelama edisi Nomor 6 tahun ke-1 pada Jumadits Tsani 1346 H menulis persoalan berdiri ketika membaca maulid Nabi Muhammad. Ada juga penjelasan tentang talqin sesudah memakamkan jenazah. Hal ini disampaikan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Aziz dalam Swara Nahdlatoel Oelama edisi Nomor 7 tahun ke-2 Rajab 1347.

 

Sebagaimana awalnya, edisi akhir Swara Nahdlatoel Oelama pun tak jelas. Dalam koleksi perpustakaan PBNU yang paling akhir sebatas pada edisi Nomor 12 tahun ke-3 pada Dzulhijjah 1348 H. Menurut Abubakar Aceh dalam Sejarah Hidup KH A Abdul Wahid Hasjim (Pustaka Tebuireng, 2015), secara sepintas majalah Swara Nahdlatoel Oelama tersebut berakhir dengan terbitnya Berita Nahdlatoel Oelama. Nama yang terakhir tersebut, menggantikan nama yang belakangan (halaman 547).

 

Masih dalam sumber yang sama, pergantian nama tersebut dilakukan oleh KH Mahfudz Siddiq. Pada Muktamar Ke-IX NU di Banyuwangi pada 1934, Kiai Mahfudz diangkat menjadi Wakil Presiden (tanfidziyah) PBNU. Sedangkan ketuanya saat itu adalah KH Achmad Noor. Salah satu tanggung jawab Kiai Mahfudz saat itu adalah mengurusi Swara Nahdlatoel Oelama.

 

Tetapi jika merujuk pada Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (Mata Bangsa, 2014), dalam entri Berita Nahdlatoel Oelama disebutkan majalah tersebut pertama kali terbit pada 1931. Hal ini mengacu pada edisi tertua yang dimiliki oleh perpustakaan PBNU yang merupakan Nomor 1 Tahun ke-5, Muharram atau 1 Januari 1936.

 

Terlepas dari kesimpangsiuran titimangsa tersebut, namun yang pasti Swara Nahdlatoel Oelama merupakan pelopor pers di kalangan Nahdlatul Ulama sendiri. Hingga saat ini, jejaring media NU berkembang sedemikian rupa tak terlepas dari perintisan majalah yang didirikan oleh para pendiri NU itu sendiri.

 


Editor:

Opini Terbaru