• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Hindari Menggantung Status Calon Pasangan, Segeralah Dilamar

Hindari Menggantung Status Calon Pasangan, Segeralah Dilamar
Segeralah memberi kepastian terkait status calon pendamping hidup. (Foto: NOJ/LTy)
Segeralah memberi kepastian terkait status calon pendamping hidup. (Foto: NOJ/LTy)

Hal yang menjadi perbincangan di media sosial adalah menggantung status calon pasangan. Dalam artian tidak memberikan kejelasan, apakah akan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, atau sebaliknya. Saat ini hal tersebut disebut dengan ghosting.

 

Istilah ghosting mendadak viral yang menggambarkan praktik penghentian yang menutup semua akses komunikasi dengan individu lain, biasanya pasangan atau teman. Penghentian komunikasi ini juga muncul tanpa peringatan atau pembenaran yang jelas. Mudahnya, ghosting dilakukan saat seseorang memilih pergi atau mengakhiri hubungan dengan menghindar dan tidak dibicarakan secara baik-baik.

 

Harusnya setiap calon pasangan terutama, laki-laki yang memiliki rasa tanggung jawab memberikan kejelasan atas hubungan dengan lawan jenisnya. Demikian pula perempuan memberikan kepastian apakah menerima itikad baik laki-laki yang menginginkan sebagai pendamping hidup. Menggantung status sangat tidak disarankan. Dan sarana untuk memastikan keseriusan hubungan tersebut adalah dengan melamar atau khitbah.

 

Syariat menginginkan pernikahan berdiri di atas fondasi dan prinsip yang kuat. Hal ini bertujuan agar visi-misi pernikahan tercapai. Sedangkan khitbah atau lamaran adalah keumuman tahapan menuju jenjang perkawinan.

 

 

Sedangkan visi-misi perkawinan dalam Islam antara lain adalah kelanggengan pernikahan, kebahagiaan keluarga, kerukunan rumah tangga, jauh dari perselisihan, jalinan hubungan kuat antara anggota keluarga, tumbuh-kembangnya anak di tengah keluarga yang penuh cinta, kasih sayang, dan kelembutan, sebagaimana dalam Al-Qur’an:

 

 وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

 

Artinya: Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. (Surat Ar-Rum ayat 21).

 

Ketentuan dalam Khitbah

Di antara tahapan menuju jenjang pernikahan adalah mengkhitbah atau melamar. Khitbah sendiri adalah satu cara untuk menunjukkan keinginan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan tertentu, sekaligus memberitahukan hal yang sama kepada wali si perempuan.

 

Keinginan itu bisa disampaikan langsung oleh si laki-laki atau melalui wakilnya. Jika si perempuan menerima, berati tahapan-tahapan lain menuju pernikahan bisa dilanjutkan. Jika tidak, tahapan pernikahan biasanya dihentikan sampai di situ.

 

 

Hikmah dari melamar adalah memberi peluang untuk mengenal lebih jauh antara kedua belah pihak. Di sana ada kesempatan untuk saling mengetahui perangai, tabiat, dan adat kebiasaan masing-masing, dengan tetap memperhatikan batasan-batasan yang dibolehkan syariat. Setelah perkenalan dianggap cukup, masing-masing sudah merasa cocok, dan pertanyaan masing-masing sudah terjawab, maka kedua belah pihak bisa beranjak ke jenjang pernikahan untuk membangun kehidupan bersama yang langgeng dan penuh kebahagiaan sampai ajal memisahkan keduanya.

 

Lamaran atau khitbah bisa disampaikan dengan ungkapan yang jelas dan tegas, bisa juga dengan ungkapan tawaran dan sindiran. Ungkapan jelas, misalnya: Saya bermaksud melamar kamu, atau saya ingin menikahi perempuan itu.

 

Sementara ungkapan tawaran atau sindiran, misalnya diungkapkan langsung kepada si perempuan: Saya melihatmu sudah saatnya menikah atau bahagia sekali orang yang mendapatkan dirimu atau saya sedang mencari gadis yang seperti dirimu dan sebagainya.

 

Namun, perlu dicatat bahwa melamar (khitbah), begitu pula pemberian hadiah, tukar cincin, tunangan, dan semacamnya, baru sekadar janji atau keinginan untuk menikah, bukan pernikahan itu sendiri. Sebab, pernikahan tidak terlaksana kecuali dengan akad nikah yang memiliki syarat dan rukun tersendiri. Ini artinya, laki-laki yang melamar dengan perempuan yang dilamarnya masih tetap bukan mahram.

 

 

Dengan demikian mereka tidak boleh berkhalwat, berduaan, saling memandang, bergandeng tangan, dan sebagainya kecuali dalam batas yang diperbolehkan syara, yaitu bagian wajah dan kedua telapak tangan.

 

Demikian sebagaimana yang dikemukakan oleh Az-Zuhayli:

 

   الخطبة مجرد وعد بالزواج، وليست  زواجاً ، فإن الزواج لا يتم إلا بانعقاد العقد المعروف، فيظل كل من الخاطبين أجنبياً عن الآخر، ولا يحل له الاطلاع إلا على المقدار المباح شرعاً وهو الوجه والكفان

 

Artinya: Khitbah itu baru sekadar janji pernikahan. Bukan pernikahan. Sebab, pernikahan tak terlaksana kecuali dengan sahnya akad yang sudah maklum. Dengan begitu, laki-laki yang melamar dan perempuan yang dilamar statusnya masih orang lain. Tidak halal bagi si pelamar untuk melihat si perempuan kecuali bagian yang diperbolehkan syariat, yakni wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6493).

 

Demikian urgensi, hikmah, dan konsekuensi khitbah atau melamar sebelum pernikahan.  

 

Ustadz M Tatam Wijaya, alumni Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim ‘Syubbanul Muttaqin’ Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.

 


Editor:

Keislaman Terbaru