• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Hukum Membiasakan Membaca Doa Rajab

Hukum Membiasakan Membaca Doa Rajab
Doa Rajab mendapatkan banyak sorotan. (Foto: NOJ/MUt)
Doa Rajab mendapatkan banyak sorotan. (Foto: NOJ/MUt)

Semangat memasuki Ramadlan akan diuji saat tibanya bulan Rajab. Karenanya, banyak ibadah yang dianjurkan dalam rangka memastikan bahwa di bulan tersisa, segala persiapan dalam menyambut bulan mulia benar-benar dilakukan.

 

Dan setiap kali memasuki bulan Rajab, banyak di antara kaum muslimin yang membiasakan doa khusus yang berbunyi: Allâhumma bârik lanâ fi Rajab wa Sya’bâna waballighnâ Ramadlân yang artinya: Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadlan.

 

Artikel diambil dariDoa Rajab, Apakah Boleh Diamalkan?

 

Doa ini tidak hanya dibaca secara sendiri-sendiri oleh umat Islam tapi juga secara bersama-sama setiap kali selesai shalat fardlu di masjid ataupun mushala. Bahkan di sebagian tempat doa ini juga dijadikan sebagai background sebuah himbauan atau pengumuman untuk acara-acara keislaman.

 

Pertanyaannya adalah apakah doa tersebut pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau itu hanya sebatas doa para ulama yang hingga saat ini terus populer dan diriwayatkan secara lisan? Kemudian pertanyaan selanjutnya, andaikata doa tersebut tidak bersumber dari Nabi SAW, maka apakah boleh kita membaca dan mengamalkannya setiap selesai shalat atau tidak? Pertanyaan tersebut akan diulas dalam tulisan sederhana ini.

  

Doa tersebut diriwayatkan oleh beberapa ahli hadits. Di antaranya Abdullah bin Ahmad dalam kitab Syakir, Imam Al-Bazzar dalam kitab Kasyful Astar, Ibnu Abid Dunya dalam kitab Fadlail Ramadlan, Ibnus Sinni dalam kitab Al-Yaum wal Lailah, Imam At-Thabarani dalam kitab Mu’jamul Ausath, Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya’, Imam Al-Baihaqi dalam kitab Fadlailul Auqat. Bahkan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar-nya juga mengutip doa tersebut dan menempatkannya di bab dzikir-dzikir yang berkaitan dengan ibadah puasa.

 

Berikut cuplikan nukilan doa tersebut dalam kitab Al-Adzkar Imam An-Nawawi:

 

 وروينا في حلية الأولياء بإسناد فيه ضعفٌ، عن زياد النميري عن أنس رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : "اللَّهُمَّ بارِكْ لَنا في رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنا رَمَضَانَ"، ورويناه أيضاً في كتاب ابن السني بزيادة

 

Artinya: Kami riwayatkan dalam kitab Hilyatul Auliya dengan sanad yang dhaif (lemah), bersumber dari Ziyad An-Numairi dari Anas bin Malik RA. Ia berkata: Rasulullah SAW ketika memasuki bulan Rajab berkata: Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban. Sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan. Riwayat serupa juga kami riwayatkan dari kitab Ibnus Sinni dengan sedikit tambahan redaksi.

 

Secara kualitas, sanad hadits tersebut agak sedikit bermasalah. Imam An-Nawawi menilainya dlaif (lemah). Imam At-Thabarani menggolongkannya sebagai hadits mungkar karena salah seorang perawinya yang bernama Zaidah bin Abir Riqad dinilai sebagai seorang rawi yang munkarul hadits. Ibn Abi Hatim juga menyebutkan bahwa Zaidah sering meriwayatkan hadits dari Ziyad An-Numairi, dari Anas bin Malik RA berupa hadits-hadits marfu’ yang munkar. Sementara itu, Imam Abu Dawud mengakui, beliau tidak mengetahui sumbernya.

 

Kemudian Ziyad bin Abdillah An-Numairi (salah seorang perawi lain dari hadits tersebut) juga dianggap dlaif oleh Ibnu Ma’in dan Abu Dawud. Ibn Hibban menilainya sebagai seorang yang munkarul hadits juga. Abu Hatim menegaskan, haditsnya dapat ditulis tapi tidak bisa dijadikan sebagai hujah (dalil).

 

Berdasarkan takhrijan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa secara sanad hadits tersebut memang bermasalah. Lantas apakah doa yang terdapat dalam hadits tersebut boleh diamalkan?

 

Hadits ini hanya berisi konten terkait doa dan harapan kebaikan yang tidak ada hubungannya dengan akidah ataupun ibadah mahdlah (murni), tapi masuk dalam ranah fadhail (keutamaan-keutamaan) saja.

Kedlaifannya juga menurut versi Imam An-Nawawi tampaknya tidak terlalu parah dengan bukti ia tetap memasukkannya ke dalam kitabnya Al-Adzkar, padahal kitab tersebut diniatkan sebagai rujukan bagi mereka yang ahli ibadah.

 

Berikut nukilan perkataan Imam An-Nawawi dalam mukaddimah kitabnya:

 

 فلهذا أرجو أن يكون هذا الكتاب أصلاً معتمداً، ثم لا أذكر في الباب من الأحاديث إلا ما كانت دلالته ظاهرة في المسألة

 

Artinya: Karena ini, saya berharap agar kitab ini (Al-Adzkar) menjadi sumber rujukan yang mu’tamad (diakui). Lalu, tidak saya sebutkan pada bab-babnya kecuali hadits-hadits yang memunyai hubungan makna yang jelas dengan tema yang sedang dibahas.

 

Berdasarkan data ini, kita menyimpulkan bahwa hadits tersebut berstatus dlaif (lemah), namun tetap bisa diamalkan karena tingkat kedlaifannya yang tidak terlalu parah (berpatokan kepada pendapat Imam An-Nawawi) dan tidak berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah mahdlah. Selain itu mengamalkan doa tersebut juga boleh selama tidak diyakini bahwa ia bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Allahu a‘lam.


Keislaman Terbaru