• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 16 April 2024

Keislaman

Hukum Muslimah Shalat Tanpa Mengenakan Mukena

Hukum Muslimah Shalat Tanpa Mengenakan Mukena
Jamaah shalat perempuan. (Foto: NOJ/TNj)
Jamaah shalat perempuan. (Foto: NOJ/TNj)

Geliat  fashion syar’i di belahan dunia sangat dinamis, khususnya di Indonesia. Negara dengan mayoritas penduduk muslim ini  menjadi salah satu trendsetter dunia soal busana muslim yang fashionable. Model-model busana yang mengangkat  budaya lokal Nusantara tak lepas dari tema fashion para desainer muslim yang dimiliki negeri ini. Tak terkecuali fashion mukena yang juga makin variatif dan kreatif.

 

Nah, bagaimana kita menyikapi ini dan bagaimana sudut pandang agama memakai pakaian gamis saja untuk shalat, atau mukena namun yang bermotif, tidak putih polos berenda atau berbordil sebagaimana ciri khas mukena kita itu?

 

Menutup Aurat sebagai Syarat Sah Shalat

Salah satu syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Aurat dari segi bahasa berarti kekurangan. Adapun menurut istilah syara adalah sesuatu yang wajib disembunyikan dan diharamkan melihatnya.

 

Jumhurul ulama (mayoritas ulama) mensyaratkan orang yang hendak shalat untuk menutup auratnya, jika ia mampu melakukannya, sekalipun shalatnya itu dilakukan sendirian di tempat yang gelap. Dalil menutup aurat ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-A’raf: 31:

 “Pakailah pakaianmu yang bagus setiap (memasuki) masjid.”

 

Menurut Ibnu Abbas. apa yang dikehendaki pada ayat ini adalah pakaian ketika shalat.

 

Dalil lain tentang menutup aurat adalah sabda Rasulullah SAW riwayat Al-Hakim yang shahih menurut syarat muslim, adalah sebagai berikut;  Allah tidak menerima shalat perempuan yang sudah datang haid (baligh) tanpa tudung kepala.

 

Demikian Islam  memberikan dasar standarisasi berpakaian bagi muslim-muslimah yang hendak melakukan shalat

 

Berikutnya, Fiqh Islam lebih lanjut menjabarkan kriteria penutup aurat. Tentang syarat menutup aurat sebagaimana penjelasan pakar fiqh Islam kontemporer Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh Islam Wadillatuhu, jilid 1, halaman 615 adalah:

 

  • Tebal dan Tidak Transparan

Wajib menutup aurat dengan menggunakan kain tebal, kulit, atau kertas yang dapat menyembunyikan warna kulit dan juga tidak menjelaskan sifatnya. 

  •  Jika kainnya tipis atau tenunannya jarang-jarang, sehingga dapat menampakkan apa yang di bawahnya atau dapat menggambarkan warna kulitnya hingga tampak kulit pemakai yang  cerah atau kemerah-merahan, maka kain tersebut tidak memenuhi syarat untuk digunakan shalat. Shalatnya tidak sah, karena tujuan menutup aurat tidak tercapai.

 

  • Sebaliknya sekiranya kain itu dapat menutupi warna kulit, tetapi dapat menggambarkan bentuk dan ukuran tubuh, maka shalat dengan menggunakan pakaian itu hukumnya sah. Karena seperti itu tidak dapat dielakkan sekalipun memakai kain yang tebal. Walaupun  makruh hukumnya jika dikenakan oleh perempuan dalam pandangan ulama madzhab Syafi’i .

 

Dalam kitab Al-Tahdzib fi Adillati Matni al-Ghoyah wal Taqrib, halaman 150, Mushthofa Daib Al Bigha mengutip satu hadist tentang menutup aurat ini;

 

Dari Ummu Salamah RA bahwa ia pernah bertanya pada Nabi: Apakah  seorang perempuan boleh shalat dengan menggunakan gamis dan penutup kepala tanpa memakai sarung? Beliau menjawab: Boleh, dengan catatan gamis tersebut bias menutupi kakinya (yaitu pada saat berdiri, ruku’ dan menutupi bagian dalamnya saat bersujud). (HR Abu Daud)

 

Tentang cara menutup aurat yang sesuai tuntunan syara, ada penjelasan juga perihal aurat yang dituntut oleh syara untuk ditutupi yaitu yang menutup sekeliling aurat. Kewajiban menutup adalah bagian atas, samping, bukan bagian bawah. 

 

Penjelasan bagian tersebut adalah sebagaimana tertulis dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 105: Yang di maksud dengan sisi atas aurat bagi orang laki-laki yaitu pusar dan anggota tubuh yang sejajar dengannya. Dan yang dimaksud dengan sisi bawah auratnya adalah kedua lutut dan anggota tubuh yang sejajar dengannya. Dan yang dimaksud dengan sisi samping kanan kirinya adalah anggota badan di antara pusar dan kedua lutut.

 

Dan bagi perempuan, yang dimaksud sisi atas auratnya adalah, anggota badan yang terlihat dari atas kepala dan kedua pundaknya dan aurat yang terlihat dari sisi wajah. Yang dimaksud dengan sisi bawah auratnya adalah anggota badan yang terlihat dari bawah kedua telapak kaki. Dan yang dimaksud dengan sekeliling adalah aurat yang terlihat dari arah samping depan dan belakang, ketika dada perempuan terlihat dari terbukanya kerudung semisal ketika rukuk atau longgarnya lengan baju sehingga terlihat auratnya maka shalatnya batal.

 

Dari penjelasan ini dapat kita simpulkan, bahwa memakai baju gamis untuk shalat sebagaimana pemakaian mukena diperbolehkan asal memenuhi syarat atau kriteria syara sebagaimana keterangan tersebut di atas . Yaitu terkait tata cara menutup aurat dan bahan yang dikenakan untuk menutup aurat. Dan juga tentu saja harus dikenakan dalam keadaan suci tidak terkena najis

 

  • Adapun hal lain, tentang mukena atau gamis yang dikenakan untuk shalat, apabila tidak berwarna putih atau tidak polos. Ada ulama yang mengulas ini dan menyatakan makruh menggunakan pakaian yang bergaris atau bermotif-motif karena dapat mengganggu kekhusukan shalat. (kitab Fathul Mu’in, juz 1, halaman 191). 

 

Serupa dengan hal ini dalam hal kemakruhannya. Dengan demikian, shalatnya perempuan dengan mengenakan pakaian ketat walaupun telah menutupi aurat dan warna kulit. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam al-Mawardi

 

Pada akhirnya, sebagai umat Islam sudah semestinya mengikuti ketentuan yang berlaku dalam aturan agama. Meskipun juga semua kembali kepada niat atau tujuan awal dalam melaksanakan ibadah. 

 

Semoga niat itu karena ingin mendapatkan ridla Allah dan bukan sekadar melaksanakan kewajiban semata. Karena jika dalam shalat berikhtiyar bisa sesuai secara syara dan diperkuat satu tujuan yaitu Allah, maka di situlah sesungguhnya  kenikmatan beribadah didapatkan. Dan shalat yang kita lakukan bisa menjadi benteng moral yang kokoh dalam kehidupan (innassshalata tanha anil alfasadi wal munkari, sesungguhnya shalat mampu mencegah dari perilaku yang merusak dan kemungkaran).

 

Wallau a’lam


Editor:

Keislaman Terbaru