• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Rehat

Jawaban Mbah Hamid Atas Kegelisahan Pimpinan Ansor

Jawaban Mbah Hamid Atas Kegelisahan Pimpinan Ansor
Mbah Hamid bersama kiai dan jamaah. (Foto: NOJ/MP)
Mbah Hamid bersama kiai dan jamaah. (Foto: NOJ/MP)

Nama Kiai Hamid atau Mbah Hamid Pasuruan demikian melegenda. Hal tersebut tidak lepas dari sosoknya yang memiliki masa lalu lengkap, demikian pula dedikasi yang tidak tertandingi. Aneka kisah sarat makna masih bertebaran dan diperbincangkan khalayak.

 

Dan kalau membaca buku ‘Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid’ yang ditulis Ustadz Hamid Ahmad, maka ada pula jejak ketelatenan dan kesabaran sebagai seorang murabbi (pendidik) yang ditunjukkan. Berikut kisahnya.

 

Suatu hari di sekitar tahun 60-an, salah seorang santri Mbah Hamid yang menjadi pengurus di tingkat Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Pasuruan nyaris putus asa dalam hal kaderisasi di tingkat kepengurusan ranting atau desa.

 

Pasalnya, dari sekitar seratus lulusan pelatihan, paling hanya ada tiga hingga lima kader saja yang betul-betul bisa diandalkan. Dan dalam kegalauan ini, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid untuk konsultasi.

 

Saat itulah, Mbah Hamid menunjuk kepadanya jajaran pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah. Dan kepada sang murid, kemudian dijelaskan makna pohon kelapa tersebut.

  

"Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu, baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa,” katanya kepada sang santri.

 

Dengan penuh seksama, paparan tersebut disimak sang santri Ansor. Tidak ada kata penyela, dirinya fokus mendengarkan waliyullah ini memberikan penjelasan hingga tuntas.

 

Lho, setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yang saya butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit,” jelas Mbah Hamid.

 

Usai memberikan penjelasan ini, Mbah Hamid masih belum selesai. Rangkaian kalimat penuh hikmah keluar dari sosoknya yang memang menjadi insan terpilih.

 

“Itu sunnatullah. Lah yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat,” tegas Mbah Hamid.

  

Dijelaskannya bahwa kalau inginnya mencetak orang alim, tidak bisa diharapkan bahwa murid di kelas bakal mumpuni semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan.

 

“Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 persen, tapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain,” pungkas Mbah Hamid.

 

Dengan penjelasan ini, sang aktivis Ansor manggut-manggut. Dalam benaknya terpatri sebuah falsafah pendidikan humanis yang visioner dari seorang waliyullah.

Kepada Mbah Hamid yang sejak kemarin Ahad (25/10/2020) diperingati haulnya, alfatihah.  


Editor:

Rehat Terbaru