• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Keputusan PWNU Jatim tentang Cryptocurrency dan Bursa Kripto

Keputusan PWNU Jatim tentang Cryptocurrency dan Bursa Kripto
Ilustrasi cryptocurrency.
Ilustrasi cryptocurrency.

Pada Ahad (24/10), di Aula KH. Bisri Syansuri lantai 1 gedung PWNU Jawa Timur telah dilangsungkan acara bahtsul masail. Acara ini dihadiri oleh semua utusan Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se- Jawa Timur dan berbagai utusan santri pondok pesantren di Jawa Timur. Adapun materi yang dibahas ada dua sekaligus merupakan bagian materi bahtsul masail Muktamar NU 2021 di Lampung.

 

Cryptocurrency dalam Pandangan Fiqih

Pertanyaan:

  1. Apa itu komoditi (sil’ah) dalam pandangan fiqih.
  2. Apakah Bitcoin, Ethereum, Polkadot dan Tether bisa dianggap sebagai komoditi, dan
  3. Bagaimana bila pemerintah menyatakan bahwa keempat aset crypto tersebut dipandang sebagai komoditi oleh pemerintah.

 

Jawaban dari pertanyaan ini tidak mengesampingkan berbagai pertimbangan dan penjelasan dari para ahli yang berkompeten dibidangnya, hasil penelitian terhadap keberadaan aset crypto oleh Tim Kesekretariatan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur, dan memperhatikan berbagai peraturan resmi negara, dan telaah terhadap beberapa nushush al-syariah yang terdapat di dalam kutub al-mu’tabarah (kitab kuning) dari kalangan madzahib al-Arba’ah sebagaimana ini merupakan ciri khas dari jam’iyah Nahdlatul Ulama.

 

Pengertian Sil’ah

Sil’ah, secara bahasa memiliki pengertian yang sama dengan mabi’, yaitu sebagai barang / komoditas yang bisa diakadi dengan akad jual beli.

 

المبيع: السلعة التي جرى عليها عقد البيع

 

Artinya: Mabi’ adalah komoditas yang bisa menerima berlakunya akad jual beli. (Mu’jam Lughati al-Fuqaha, halaman: 401).

 

Karena bisa diakadi dengan akad jual beli, maka sil’ah juga bisa diniagakan (di-trading-kan). Sebagaimana hal ini diungkap oleh Syeikh Jamal (w. 1204 H) dalam kitab Hasyiyatu al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, juz 2, halaman 265, bahwa:

 

والتِّجارَةُ هِيَ التَّقْلِيبُ فِي السِّلَعِ بِقَصْدِ الأرْباحِ

 

Artinya: Niaga merupakan upaya mengelola sil’ah dengan tujuan mendapatkan keuntungan.

 

Dengan mencermati akan hal itu, maka pada sil’ah (komoditas) secara mutlak wajib mengikuti syarat dan ketentuan mengenai “barang” yang bisa dijualbelikan.

 

Syarat barang yang bisa dijualbelikan dalam Islam, ada 7, yaitu:

 

حلية العلماء في معرفة مذاهب الفقهاء ط الرسالة الحديثة ٤/‏٥٥ — الشاشي، أبو بكر (ت ٥٠٧)

 

وشروطُ المَبِيعِ سَبعةٌ وهو أن يكونَ طاهرًا  مُنْتَفَعًا به شَرْعًا انتِفاعًا يقابَلُ بالماليةِ عادةً مقدُورًا على تسْليمِهِ حِسًّا وشَرْعًا للعاقِدِ علَيه ولايةُ العقْدِ  معلُومًا، ويتناولُ العلمَ بالصفةِ، وهو الرؤْيةُ سالمًا مِن الرِّبا قد أُمِنَتْ فيهِ العاهةُ عادةً، لِيخرجَ بيعُ الثمارِ قَبْلَ بُدوِّ الصَّلاحِ، مِن غَيرِ شرْطِ القَطْعِ

 

  1. Jika barang tersebut suci. (mafhumnya, bahwa barang tersebut suci adalah barang tersebut wujud atau ada fisiknya).
     
  2. Bisa dimanfaatkan oleh pembeli secara syara’ dengan pemanfaatan yang sebanding/sejalan dengan status hartawinya secara adat.
     
  3. Bisa diserah terimakan secara hissy (maqduran ala taslimihi hissan) dan secara syar’i
     
  4. Pihak yang berakad menguasai pelaksanaan akadnya
     
  5. Mengetahui baik secara fisik dengan jalan melihat atau secara karakteristik dari barang.
     
  6. Selamat dari akad riba
     
  7. Aman dari kerusakan sampai barang tersebut sampai di tangan pembelinya (qabdl). Dengan kata lain, sil’ah wajib terdiri dari barang yang bisa dijamin penunaiannya.

 

Adapun pengertian “barang” secara fikih, sebagai obyek yang bisa dijualbelikan adalah wajib mencakup 2 ketentuan, yaitu:

  1. Berupa ain musyahadah (barang fisik), atau
     
  2. Berupa syaiin maushuf fi al-dzimmah (barang berjamin aset). Termasuk aset yang bisa dijadikan jaminan barang ini, adalah aset yang terdiri atas ain (materi), dain (utang) dan fi’lin (pekerjaan, jasa/manafi’ dan hak)

 

Syeikh Bujairamy (w. 1221 H) di dalam Hasyiyah Bujairamy ala al-Khathib, juz 3, halaman: 4, menjelaskan, bahwa:

 

(البُيُوعُ ثَلاثَةُ أشْياءَ) أيْ أنْواعٍ بَلْ أرْبَعَةٌ كَما سَيَأْتِي. الأوَّلُ. (بَيْعُ عَيْنٍ مُشاهَدَةٍ) أيْ مَرْئِيَّةٍ لِلْمُتَبايِعَيْنِ (فَجائِزٌ) لِانْتِفاءِ الغَرَرِ. (و) الثّانِي (بَيْعُ شَيْءٍ) يَصِحُّ السَّلَمُ فِيهِ (مَوْصُوفٍ فِي الذِّمَّةِ)


Artinya: Jual beli itu ada tiga perkara atau tiga macam, dalam satu wajah ada 4 macam. Pertama: jual beli barang fisik yang bisa disaksikan oleh dua orang yang saing melakukan akad, maka hukumnya adalah boleh karena ketiadaan gharar (penipuan). Kedua, jual beli sesuatu yang bisa ditunjukkan karakteritiknya dan berjamin.

 

Apakah Cryptocurrency memenuhi Kategori Sil’ah?

Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua aset kripto cryptocurrency, pada dasarnya tidak memenuhi kategori sebagai sil’ah (komoditas) secara fikih, disebabkan:

  1. Tidak masuk kategori ain musyahadah
     
  2. Tidak masuk kategori syaiin maushuf fi al-dzimmah.


Dengan demikian maka :

  1. Cryptocurrency juga tidak memiliki potensi untuk bisa diserahterimakan secara hissan (inderawi) dan syar’an.
     
  2. Cryptocurrency termasuk aset ma’dum (fiktif)

 

Itu sebabnya, para mubahitsin mengambil kesimpulan bahwa cryptocurrency tidak memenuhi standar sil’ah (komoditas) secara syara’. Oleh karenanya, meniagakan cryptocurrency hukumnya adalah mamnu’ (ghairu jaizin).
 

Dengan demikian jawaban ini telah mencukupi dari dua pertanyaan berikutnya.

 

Sulthanu al-Ulama’ al-Izz Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H), di dalam Al-Ghayah fi Ikhtishari al-Nihayah, juz 3, halaman 324 menjelaskan:

 

نهت السنّة عن بيع حَبَل الحَبَلة، وعن بيع الملاقيح والمضامين، وعن الملامسة والمنابذة، وعن بيع الحصاة، وكلُّ ذلك فاسد. فأمّا حَبَل الحَبَلة: فهو البيع بثمن مؤجَّل إلى نتاج النتاج، أو بيع نتاج النتاج قبل وجوده

 

Artinya: Rasulullah SAW telah melarang jual beli kandungannya kandungan, jual beli mulaqih, mudlammin, mulamasah, munabadzah dan jual beli hashah. Seluruhnya termasuk akad yang fasid. Adapun jual beli habl al-hablah, adalah jual bei dengan harga tempo terhadap kandungannya hewan yang masih ada dalam kandungan, atau jual beli kandungannya kandungan sebelum wujud (nampak fisik).

 

Terkait  Kripto sebagai Mata Uang di Indonesia, telah jelas bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang disamping ketentuan syariat tentang komoditi (sil’ah)

 

Adapun pengaturan Perdagangan Cryptocurrency oleh Pemerintah dalam hal ini oleh Bappeti yang tertuang dalam Peraturan Bappeti no. 5 Tahu 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (crypto asset) di Bursa Berjangka.

 

Menurut Bappeti ada beberapa faktor penetapan aset kripto menjadi komoditi 

  1. Harga fluktuatif, harga asset kripto sangat fluktuatif dari waktu ke waktu dan perdaganganya sangat likuid.
     
  2. Tidak ada intervensi pmerintah: asset kripto yang muncul dari teknologi blockchain diperdagangkan secara bebas tanpa intervensi dari pemeritah dengan demikian struktur pasarnya sempurna.
     
  3. Banyaknya permintaan dan penawaran: pasarnya sangat besar (penawaran dan permintaan) baik di tingkat nasional maupun global; tersedianya pasokan asset kripto dan telah tumbuh pusat perdagangan asset kripto di dunia. Di Indonesia telah muncul pedagang asset kipto dengan banyaknya nasabah yang bertransaksi.
     
  4. Standar komoditi: sebagai komoditi digital asset kripto memiliki standart seperti komoditi lainya yang meliputi penggunaan teknologi, memiliki harga/nilai, dapat diperjualbelikan dan memiliki kegunaan sebagai sarana pertukaran yang mempunyai nilai dalam komunitas/proyek tertentu.

 

Empat faktor di atas memperjelas bahwa apa yang disebutnya komoditi versi Bappeti sangat tidak sejalan dengan komoditi (sil’ah) menurut pandangan syara’.

 

Rekomendasi

  1. Umat Islam khususnya Nahdliyyin dalam bermuamalah hendaknya berhati-hati dan senantiasa bertujuan mencari yang halal.
     
  2. Hendaknya pemerintah tidak membuat aturan-aturan yang melanggar norma-norma agama. Dalam hal telah terbit aturan yang ternyata berdampak negatif, Pemerintah seharusnya tidak segan-segan untuk merevisi bahkan mencabutnya.
     
  3. Agar delegasi PWNU Jatim di muktamar NU tahun ini di Lampung bersama seluruh PCNU se-Jawa Timur konsisten untuk mengusulkan hasil bahtsul masail ini ke Muktamar ke-34 NU agar menjadi keputusan final organisasi.


Editor:

Keislaman Terbaru