• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Keterkaitan Haji dan Menikah di Bulan Dzulhijjah

Keterkaitan Haji dan Menikah di Bulan Dzulhijjah
Prosesi nikah kerap dilaksanakan di bulan Dzulhijjah. (Foto: NOJ/NJi)
Prosesi nikah kerap dilaksanakan di bulan Dzulhijjah. (Foto: NOJ/NJi)

Sudah jamak bagi umat Islam bahwa salah satu larangan bagi orang yang berstatus muhrim (orang yang sedang berihram haji atau umrah) adalah melaksanakan akad nikah. Hal tersebut dilakukan sampai selesai dari seluruh rangkaian manasiknya atau tahallul tsani. Terkait masalah tersebut didasarkan hadits Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam, yang diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut: Orang yang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan. 

 

Kedua amal kebaikan (haji dan menikah) yang tidak bisa dilakukan secara bersamaan ini ternyata memiliki tautan yang menarik. Yakni secara korelatif dan komparatif, terutama dalam pelaksanaan keduanya di bulan Dzulhijjah.

 

Dzulhijjah atau bulan besar dalam tradisi muslim Nusantara adalah bulan yang istimewa dengan banyaknya ritual keagamaan yang dianjurkan. Bulan ini juga disebut dengan bulan haji dan bulan musim menikah. Meskipun untuk waktu pelaksanaan nikah tidak ada waktu khusus, namun melangsungkan akad nikah pada Dzulhijjah sudah mentradisi di kalangan muslim Nusantara. 

 

Mengenai penentuan bulan atau hari baik untuk pelaksanaan pernikahan sebenarnya tidak ada dasar atau dalil yang pasti. Meskipun terdapat pendapat para fuqaha tentang anjuran dilaksanakannya pada hari Jumat, karena hari tersebut mulia dalam Islam. 

 

Namun, ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad  SAW menikahkan putri terkasihnya Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pada awal bulan Dzulhijjah. Riwayat ini populer di kalangan Syi’ah. Sedangkan riwayat lain menurut Ibn Sa’ad dalam Al-Thabaqat al-Kubra mengatakan bahwa Sayidina Ali menikahi Sayyidah Fathimah di bulan Rajab setelah lima bulan sejak kedatangan Nabi SAW ke Madinah. Kemudian Sayidina Ali berkumpul dengan Sayidah Fatimah setelah pulang dari perang badar, dan usia Fatimah saat berkumpul dengan Sayidina Ali berusia delapan belas tahun.

 

Terlepas dari perbedaan riwayat tentang waktu pernikahan Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fathimah, bulan Dzulhijjah adalah termasuk bagian dari empat bulan haram. Yaitu empat bulan mulia dalam Islam, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. 

 

Sebenarnya, keempat bulan tersebut ditetapkan sebagai bulan haram sudah terjadi  pada masa jahiliyah. Asal muasalnya adalah karena pada bulan Dzulqa’dah sampai bulan Muharram masyarakat Arab melaksanakan ibadah haji dimulai berangkat menuju Makkah pada bulan Dzulqa’dah dan kembali dari Makkah ke daerah masing-masing pada bulan Muharram. Kemudian pada bulan Rajab, mereka biasanya melaksanakan ibadah umrah. 

 

Maka untuk menghormati jamaah haji dan umrah, bangsa Arab pada masa jahiliyah sepakat untuk tidak melakukan peperangan pada bulan-bulan tersebut. Dan jika ada dua kabilah yang saling berperang, maka kedua kabilah harus melakukan gencatan senjata untuk sementara. Tradisi ini kemudian diakui dalam Islam sebagaimana dalam surat Al-Taubah ayat 36. Meskipun tradisi lama jahiliyah tentang bulan haram diapresiasi oleh Islam, namun ada pula keyakinan jahiliyah yang ditolak, yaitu pantangan menikah pada bulan-bulan haji. 

 

Beberapa sisi keterkaitan antara haji dan menikah antara lain:

 

Pertama, Pertemuan Dimensi Ukhrawi dan Duniawi 
Meskipun haji identik dengan pola hidup sederhana, menghindari nafsu dan syahwat manusia, namun Allah Taala menganjurkan kita untuk berdoa kebaikan dunia dan akhirat. Redaksi doa tersebut yakni:

 

‎رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 

Artinya: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.

 

Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa doa ini banyak dipanjatkan ketika tawaf dan berada di antara ar-Rukun al-Yamani dan al-Hajar al-Aswad.

 

Juga ketika selesai menunaikan rangkaian ibadah haji sebagaimana ditunjukkan dalam surat Al-Baqarah ayat 200-201. Ketika musim haji juga banyak jamaah haji yang juga berniaga dan berbisnis memanfaatkan keramaian musim haji. Dan Islam tidak melarang hal tersebut sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 198.

 

Dimensi yang sama juga ditemukan dalam pernikahan. Meskipun pernikahan identik dengan hajat biologis, tetapi menikah adalah bagian dari sunah para rasul. Konon pernikahan pertama kali dilakukan Nabi Adam dan Siti Hawa dengan dua saksi utama dari bangsa malaikat, yaitu Malaikat Isrofil dan Malaikat Mikail. Saksi pertama yaitu Isrofil yang merupakan representasi dari dimensi ukhrawi karena tugasnya adalah meniup terompet sangkakala. 

 

Bunyi sangkakala adalah salah satu tanda perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat. Kemudian saksi kedua adalah Mikail yang merepresentasikan dimensi duniawi karena tugasnya membagi rizki semasa hidup manusia di dunia. Keduanya melambangkan bahwa pernikahan adalah hubungan yang agung, dan lintas alam. Pernikahan abadi tidak hanya untuk seumur hidup atau sehidup semati, tetapi yang bisa berlanjut sampai di akhirat nanti.  

 

Kedua, Jaminan Kecukupan dari Allah
Di antara faktor belum terlaksananya ibadah haji dan menikah bagi sebagian umat Islam adalah takut miskin, padahal mampu melaksanakannya. Alasan ini sudah pernah disinggung Al-Qur’an dan hadits Nabi. Hal itu ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengasara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 27-28)

 

Dalam hadits juga terdapat keterangan bahwa haji dan umrah bisa menghapus dosa dan kefakiran. Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:

 

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

 

Artinya: Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga. (HR An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387).

 

Begitu juga dalam pernikahan. Al-Qur’an menjamin pernikahan tidak akan menjadikan seseorang jatuh miskin, dan Allah akan mencukupi kedua pasangan yang menikah.Hal tersebut sebagaimana ayat ini:

 

‎وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٣٢

 

Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mencukupkan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Dermawan lagi Maha Mengetahui. (An-Nur ayat 32).

 

Orang yang mau menikah juga termasuk di antara golongan yang akan ditolong oleh Allah Taala sebagaimana sabda Nabi SAW:

 

‎((ثلاثة حق على الله عونهم: المجاهد في سبيل الله، والمكاتب الذي يريد الأداء، والناكح الذي يريد العفاف))

 

Artinya: Ada tiga golongan manusia yang pasti ditolong oleh Allah: Orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin menebus dirinya (dengan membayar uang kepada majikannya) dan orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya. (HR Imam at-Tirmidzi)

 

Ketiga. Penyempurna Agama
Haji merupakan ibadah seumur hidup sekaligus simbol kesempurnaan agama dan ibadah pamungkas. Karena kewajiban untuk melaksanakan haji yang dibebankan kepada seorang muslim yang sudah mukallaf hanya sekali berbeda dengan rukun Islam lain.

 

Tentang hal tersebut, Allah SWT menurunkan ayat surah al-Maidah ayat 3 pada waktu Rasulullah melaksanakan haji wada’. Allah berfirman: 


‎الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

 

Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridlai Islam itu jadi agama bagimu. (QS al-Maidah: 3)

 

Rasulullah SAW juga bersabda. Barangsiapa yang mati dan belum sempat ibadah umrah padahal dia mampu, maka hendaklah ia menjadi sebagai Yahudi dan Nasrani. (HR At-Tirmidzi).

 

Imam Ghazali manjelaskan, maksud hadits tersebut adalah barangsiapa yang meninggal dan belum haji padahal mampu atau meninggal dalam keadaan tidak mampu setelah sebelumnya memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia adalah orang yang durhaka kepada Allah. Dihitung semenjak dia mampu, hingga meninggal dunia dan Islamnya tidak sempurna. 

 

Menikah juga disebut sebagai penyempurna separuh agama. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Nabi bersabda: 

 

‎من رزقه الله امرأة صالحة فقد أعانه على شطر دينه فليتق الله في الشطر الباقي

 

Artinya: Siapa yang diberi kurnia oleh Allah seorang istri yang shalihah, berarti Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah di setengah sisanya. (HR Baihaqi).

 

Maksud dari menyempurnakan separuh agama dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin sebagaimana berikut: Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang menikah, berarti telah melindungi setengah agamanya. Karena itu bertakwalah kepada Allah untuk setengah agamanya yang kedua. Ini merupakan isyarat tentang keutamaan nikah, yaitu dalam rangka mlindungi diri dari penyimpangan, agar terhindar dari kerusakan. Karena yang merusak agama manusia umumnya adalah kemaluannya dan perutnya. Dengan menikah, maka salah satu telah terpenuhi.

 

Keempat, Pertentangan Kebutuhan Menikah dan Haji

Hukum asal haji adalah wajib bagi yang mampu, sedangkan hukum asal menikah adalah sunah. Akan tetapi dalam menikah bisa berlaku semua kategori hukum taklif yang berjumlah lima. Menikah bisa menjadi wajib ketika seorang mukallaf sangat membutuhkan untuk menikah karena takut terjerumus dalam zina dan ia mempunyai modal untuk menikah. Maka yang bersangkutan wajib menikah untuk menghindari perbuatan zina. 

 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jika seorang pria mempunyai harta yang cukup untuk haji, akan tetapi sangat membutuhkan harta itu pula untuk modal menikah, dan takut dirinya terjerumus zina, jika tidak segera menikah. Maka ia harus mendahulukan menikah, karena itu adalah kewajibannya. 

 

Dalam hal ini menurut Ibn Qudamah, hukum kebutuhan terhadap menikah sama seperti hukum kebutuhan terhadap nafkah. Dan sebaliknya jika tidak takut terjerumus dalam zina, maka harus mendahulukan haji, karena hukum menikahnya sunah, maka tidak boleh mengakhirkan haji yang wajib. 

 

Imam al-Syirazi mengatakan: Jika seseorang butuh menikah dan takut zina, maka didahulukan nikah. Karena kebutuhan untuk nikah dalam hal ini lebih mendesak, sementara haji bukanlah ibadah yang sifatnya mendesak.

 

Pernyataan Imam al-Syirazi di atas kemudian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab juz 7 halaman: 49, bahwa sebaliknya jika tidak ditakutkan adanya perzinahan, maka penggunaan harta untuk membayar ongkos naik haji lebih diutamakan.

 

Penjelasan Imam asy-Syirazi dan Imam Nawawi didasarkan pada kenyataan bahwa hukum menikah bisa berubah-ubah tergantung kondisi. Misalnya nikah menjadi wajib jika ditakutkan adanya fitnah jika tidak disegerakan, sedangkan di sisi lain kewajiban haji sifatnya bukanlah kewajiban fawriyah (yang disegerakan seperti berpuasa saat Ramadlan tiba), namun bersifat al-taraakhi (boleh ditunda).

 

Bagi penulis, pertentangan antara kebutuhan menikah dan kewajiban haji pada masa sekarang amatlah mudah disiasati. Jadi, kasus tersebut semestinya amat langka ditemukan pada masa sekarang. Sebagai solusi, orang yang berada pada kondisi tersebut bisa melakukan akad nikah terlebih dahulu dengan mas kawin (mahar) yang ditempo. Kemudian setelah ‘bulan madu’ sekadarnya, bisa berangkat haji dengan harta yang dimiliki saat ini.  

 

Sedangkan walimah nikah atau resepsi perkawinan bisa dilakukan setelah pelaksanaan haji. Perjalanan haji reguler di masa sekarang bisa dilakukan hanya dalam waktu 40 hari, waktu yang singkat jika dibandingkan dengan perjalanan haji masa dulu yang biasanya ditempuh dalam waktu enam bulan atau lebih, karena hanya bisa melalui jalur laut. Bahkan sekarang banyak jamaah haji yang melangsungkan akad nikah di Tanah Haram setelah selesai melaksanakan rangkaian manasik haji (tahallul tsani) sekaligus bertabaruk dengan melaksanakan akad nikah dan honey moon di Tanah Haram dan di bulan haram (Dzulhijjah). 

 

Mengkaji tentang hubungan antara haji dan menikah ini, penulis terinspirasi dawuh almaghfurlah KH Maimoen Zubair rahimahullah, dalam mauidlah di salah satu acara walimah nikah. Kurang lebihnya mengatakan dalam bahasa Jawa: Nikah kuwi podo plek karo haji. Bedane jamaah haji karo manten anyar, nek haji sabuke kudu dirapetke, nek manten anyar sabuke kudu dikendo’ke. 

 

Wallahu a’lam.

 

Ahmad Zuhairuz Zaman adalah Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Bisnis Islam Institut Agama Islam al-Falah Assunniyah (Inaifas) Kencong, Jember.


Editor:

Opini Terbaru