• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 23 April 2024

Tokoh

KH Nur Muhammad Iskandar, Merintis Pesantren dari Mushala

KH Nur Muhammad Iskandar, Merintis Pesantren dari Mushala
KH Nur Muhammad Iskandar semasa hidupnya. (Foto: Istimewa).
KH Nur Muhammad Iskandar semasa hidupnya. (Foto: Istimewa).

Surabaya, NU Online Jatim

KH Nur Muhammad Iskandar telah wafat di usianya yang ke 65 tahun atau tepatnya hari ini, Ahad (13/12/2020). Kiai Nur Muhammad merupakan adik kandung dari Wakil Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Anwar Iskandar.

 

Adapun Kiai Nur adalah Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jl.Panjang No. 6C Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Almarhum juga merupakan alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri.

 

Sebagaimana dilansir dari asshiddiqiyah.com (laman resmi Persantren Asshiddiqiyah), KH Nur Muhammad Iskandar terakhir diketahui bergelar akademik doktor.  Beliau dikenal sebagai dai di salah satu televisi nasional.

 

Kiai Nur bukan sekadar pengasuh di Pesantren Asshiddiqiyah, namun sekaligus pendiri. Pesantren ini hingga sekarang memilik 11 cabang di dalam dan luar kota, dengan memadukan sistem pembelajaran klasik dan modern.

 

Kiai Nur lahir di Sumber Beras, Banyuwangi 5 Juli 1955 ini dari pasangan Kiai Iskandar dengan Nyai Rabiatun. Kiai Nur memulai pendidikannya di pesantren tradisional Jawa Timur untuk kemudian sekolah di Jakarta dan mengembangkan pondok pesantren di kota besar dengan karakter budaya yang berbeda dengan kultur dasarnya.

 

Karenanya, ketepatan pengetahuan akan peta sosiologis daerah akan sangat menentukan efektif tidaknya dakwah yang disampaikan. Makin rendah pengetahuan seorang santri akan peta simbolik masyarakat kota, akan tipis kemungkinan baginya untuk diterima dalam kelompok sosial yang di hadapinya.

 

Kiai Nur mendirikan sebuah pesantren seperti dalam tradisi 'intelektualisasi' santri-santri Jawa. Artinya, ia tidak saja berhadapan dengan publik atau audiens yang seluruhnya abstrak dan anonim, tetapi juga suatu publik yang kongkret, yaitu para santrinya sendiri.

 

Upaya membangun pesantren di ibu kota bukan tanpa perjuangan. Perjalanan dan perjuangan panjang pun harus dilalui dengan berbagai tantangan yang berat. Namun berkat dukungan dan dorongan yang begitu kuat dari Kiai Mahrus Ali, Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Nur pun berhasil. “Ia banyak membuka wawasan dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Kiai Nur mengenang Kiai Mahrus Ali.

 

Bersama dengan beberapa temannya, Kiai Nur mendirikan Yayasan Al-Muchlisin di Pluit. Berbagai kegiatan pendidikan yang sudah mulai dirintis, terus ditangani dengan sepenuh hati. Bahkan, kegiatan yang berawal dari remaja Masjid Al Muchlisin ini, telah berkembang menjadi madrasah diniyah, yang lambat laun mulai mendapat simpati masyarakat. Bukan hanya itu, undangan ceramah juga mulai berdatangan kepada dirinya.

 

“Setelah tiga bulan istri dititip pada keponakan, akhirnya dengan berbekal rezeki dari Allah, saya mulai mengontrak rumah di bilangan Kebon Jeruk. Rasa terima kasih kepada Mursidah saya rasa tidak cukup, tapi itu adalah sebuah kenyataan yang suka atau tidak telah menjadi warna-warni perjalanan hidup keluarga kami,” kata Kiai Nur semasa hidupnya.

 

Bila Allah ingin mengangkat derajat hamba-Nya, ternyata tidak memerlukan waktu yang lama. “Sahabat saya H Bambang Sudayanto, Kepala PPL Pluit, datang kepada saya. Ia bercerita tentang sukses pekerjaannya yang terkait dengan Pantai Mutiara Indah Kapuk. Kedatangannya kali ini ingin berterima kasih atas doa saya, ia bisa meraih sukses dengan pekerjaannya. Sebagai ungkapan terima kasih, ia memberikan saya sebuah kios kecil di Pluit dan biaya untuk saya berangkat haji. Hadiah ini sangat mengharukan saya. Air mata pun tak terasa menetes. Ya Allah, Engkau telah membuka jalan kami,” cerita Kiai Nur.

 

“Rupanya, sesuatu yang saya anggap besar, masih ada yang lebih besar. Ketika saya akan mengurus keberangkatan haji atas biaya dari H Bambang tahun 1983, pendaftaran sudah tutup. Namun saya tidak mau menunda keberangkatan, karenanya saya menemui kawan lama H Rosyidi Ambari, Asisten Menteri Agama saat itu,” kenangnya.

 

“Alangkah terkejut ia, karena memang sudah lama mencari-cari saya untuk diminta mengelola sebidang tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan. Tanah ini diserahkan keluarga H Jaani kepada H Rosyidi untuk dibangun menjadi lembaga pendidikan Islam,” lanjutnya.

 

Untuk memberikan jawaban, seperti biasa Kiai Nur harus menunggu isyarat langit, istikharah. Isyarat yang ia dapatkan menunjukkan lahan itu memang baik dan prospektif. Meski begitu kepada H Rosyidi ia masih belum memberi jawaban menerima atau menolak. Ia tetap akan menjawab tawarannya setelah kembali dari tanah suci. Saat itu ia baru memiliki satu orang anak, Nyai Hj Noor Eka Fatimatuzzahra.

 

“Untuk urusan yang besar ini peran istri menjadi begitu besar, ia ikut menjaga lingkungan saya agar tetap tenang dalam mengambil keputusan, sehingga tidak salah langkah. Istri saya ibarat air yang selalu memberi kesejukan hidup kami. Ia juga memberi andil untuk hal-hal yang tidak dapat saya jangkau. Terutama dalam mendidik anak-anak. Bukan hanya itu ia juga bisa dijadikan teman berdiskusi yang baik untuk hal-hal besar yang saya pikirkan,” tuturnya.

 

“Setelah mendengar berbagai pertimbangan dari beberapa kiai dan guru saya, semangat saya memang semakin mantap. Maka pada tahun 1884, saya memutuskan menerima tawaran itu. Saya menyatakan menerima itu kepada H Rosyadi Ambari. Namun ia membawa saya ke rumah H Djaani, sehingga lahan seluas 2000 meter wakaf H Djaani yang tadinya dipercayakan kepada H Rosyadi Ambari dialihkan kepada saya,” jelas Kiai Nur melengkapi ceritanya.

 

 

Langkah pertama yang ia tangani adalah membangun mushala kecil dari tripleks. Modal membangunnya dari bapak H Abdul Ghani, Putra ketiga H Djaani. Seperti kisah sukses pada umumnya, Asshiddiqiyah merintis dengan keprihatinan, namun dalam kondisi ini ia punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak lembaga pendidikan ini akan bisa maju dan berkembang.

 

Bahkan kini, di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000 meter, telah berkembang menjadi 2,4 ha, yang di Batu Ceper sudah berkembang menjadi enam hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 hektare dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektare. Semua cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk pengembangan Asshiddiqiyah masa depan.

 

“Bersama tokoh pendidikan dan para pengajar di Asshiddiqiyah, saya mencoba memikirkan masa depan pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Pertumbuhan yang begitu pesat, semata-mata karena keikhlasan semua orang yang terlibat di dalamnya,” cerita Kiai Nur.


Editor:

Tokoh Terbaru