• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Kiai Bisri Syansuri dan Persemaian Intelektual Denanyar

Kiai Bisri Syansuri dan Persemaian Intelektual Denanyar
KH Bisri Syansuri, Rais 'Aan ketiga PBNU. (Foto: NOJ/DNs)
KH Bisri Syansuri, Rais 'Aan ketiga PBNU. (Foto: NOJ/DNs)

Sebagaimana misalnya dikutip dalam Tanbihul Ghafilin karya Syekh Abu Laits as-Samarqandy, ada sebuah ujaran ‘Hayatul Ilmi bil Mudzakarah’ (dinamika ilmu itu terjaga dengan adanya diskusi). Demikianlah, di lingkungan pesantren yang kemudian terutama berkembang di Nahdlatul Ulama. Suasana ilmiah itu menjadi tradisi yang menggairahkan dalam forum diskusi keilmuan yang berkembang secara terus menerus, antara lain dalam bentuk musyawarah secara umum, dan bahtsul masail (pembahasan masalah-masalah).

 

Bahtsul masail adalah kegiatan ilmiah yang marak di kalangan para ustadz dan kiai, yang merupakan alumni madrasah, dan pesantren. Dahulu, para ulama Jombang menyelenggarakan forum ilmiah ini dengan koordinasi imaroh (takmir) Masjid Kauman Utara, Jombang. Masjid Kauman adalah masjid besar yang berlokasi di wilayah Pasar Legi Jombang. 

 

Perlu penelusuran lebih lanjut, selepas meninggalnya KH Bisri Syansuri, pada Jumat, 25 April 1980, apakah kegiatan bahtsul masail para ulama ini terus berlanjut, ataukah berhenti. Yang jelas, atas desakan masyarakat baik di dalam forum atau di luar forum, lima puluh masalah sosial keagamaan yang berhasil diputuskan pada masa Kiai Bisri Syansuri masih hidup itu berhasil diterbitkan pada 15 April 1981 dengan tanda tangan KH Mahfudz Anwar (ketua) dan H Abdul Aziz Masyhuri (sekretaris) dengan judul Muqarrarat Syura Min Ulamai Jombang (keputusan musyawarah ulama Jombang). 

 

Kiai Bisri Syansuri sendiri ketika beliau masih hidup, adalah sebagai ketua musyawarah ulama Jombang ini dengan sekretaris H Abdul Aziz Masyhuri. Adapun anggota musyawarah ulama ini antara lain adalah KH Adlan Aly, KH Manshur Anwar,  KH Mahfudz Anwar, KH Abdul Fattah Hasyim, KH Syansuri Badawi, KH Dahlan Kholil, KH Abdul Hamid, Kiai Muhdhor, dan KH. Syansun.

 

Tradisi ini adalah bagian tanggung jawab para ulama dalam dakwah membimbing umat, memecahkan problematika yang berkembang. Tradisi bahtsul masail kemudian menjadi bagian dari program kerja Nahdlatul Ulama, dengan adanya kelembagaan yang memfokuskan dalam wujud lembaga bahtsul masail.

 

Beberapa bulan sejak NU berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926), pada Kongres I Nahdlatul Ulama pada 13-15 Rabiut Tsani 1345 (21-23 Oktober 1926) diselenggarakan bahtsul masail pertama sebagai bagian rangkaian acara Kongres Nahdlatul Ulama.

 

Dalam acara resmi NU, bahtsul masail terlaksana dalam agenda Kongres (kemudian berubah istilah menjadi Muktamar), Konferensi Besar (Konbes), dan Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas). Namun, ada pula bentuk bahtsul masail yang dihadiri para pimpinan NU, yang sifatnya kultural, misalnya dalam bentuk majelis tashih (tim verifikasi), dan bentuk lainnya. Majelis tashih ini dibentuk pada 1959, ketika para pemimpin Nahdlatul Ulama merasa perlu untuk memverifikasi hasil-hasil bahtsul masail.

 

Kiai Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus (Wakil Katib Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) adalah kiai pertama di lingkungan NU yang menginisiasi dan menerbitkan hasil-hasil bahtsul masail dengan judul ‘Ahkamul Fukaha’. Kompilasi bahtsul masail itu beliau tulis dalam dua bahasa, Arab dan Indonesia, terbit atas nama PBNU pada Rabiu Tsani 1388, atau September 1960.

 

Hasil bahtsul masail itu ditashih oleh majelis tashih pada 08 hingga 15 Shafar 1387 atau pada 1959 di Pesantren Denanyar oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Muhammad al-Karim Surakarta, KH Zubair Umar, KH Kholil Jombang, KH Sayuthi Abdul Aziz Rembang.

 

Menarik sekali, kenapa tim verifikasi yang mengkaji permasalahan ilmiah keagamaan itu berlangsung di Jombang dan khususnya di Pesantren Denanyar, asuhan salah seorang pendiri NU, KH. Bisri Syansuri. Penulis menduga di samping posisi istimewa Kiai Bisri Syansuri yang dikenal sebagai pakar fiqih, yang oleh Gus Dur disebut ‘Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat’, Tebuireng dan Denanyar cukup dikenal sebagai dua pesantren yang mempunyai perpustakaan dengan koleksi kitab-kitab besar yang relatif lengkap. Di Denanyar perpustakaan besar ini ada di Perpustakaan MANPK, dan Perpustakaan Kiai Aziz Masyhuri. Di Pesantren Tebuireng atas nama Perpustakaan Tebuireng.

 

Majelis tashih berikutnya, lagi-lagi juga bertempat di Pesantren Denanyar, terkait verifikasi kitab al-Kawakib al-Lamma'ah, sebuah karya tentang sejarah Aswaja, penamaan, identitas, dan relasinya dengan aliran atau organisasi lain. Kitab ini adalah karya Syekh Abi Fadhal Senori Tuban (w. 1991). Awal kali ditulis, kitab ini relatif tipis dengan judul al-Kawakib al Lammaah, ditulis pada 1381 H (1961 M).

 

Matan kitab ini diajukan pada Muktamar NU tahun 1962 (1382 H), di Solo, dan mendapatkan penerimaan yang baik. Bahkan PBNU membentuk majelis tashih.  Tim ini terdiri dari sepuluh kiai yang meneliti kitab ini. Sepuluh kiai ini, termasuk kiai dari Kalimantan, membahas dan mentashihnya di Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar pada akhir 1383 H (1963 M).

 

Empat belas tahun kemudian (1395 H), kitab matan al-Kawakib al Lamma'ah ini selesai disyarahi sendiri oleh beliau, dengan ketebalan 120 halaman. Syarah al Kawakib al Lamma'ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahlissunnah wal Jama'ah selesai ditulis murid Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari ini pada Ahad, 28 Muharam 1395 H. Dua majelis tashih ini diselenggarakan di Denanyar, di ndalem kasepuhan KH Bisri Syansuri, di masa hidup Rais 'Aam ketiga Nahdlatul Ulama. 

 

Yang menarik, ketika menyebut nama para kiai sepuh, Kiai Hamid mengistilahkan dengan syekh, misalnya Syekh Abdul Wahab Hasbullah (Rais 'Aam), Syekh Bisri Syansuri, dan Syekh Kholil Jombang. Adapun kiai yang masih kategori cukup muda disebut ustadz, misalnya Ustadz Adlan Aly Cukir.

 

Dalam kitab Ahkamul Fuqaha itu juga terbaca, ketika menulis nama Kiai Bisri, terbakukan menjadi KH Bisri Sjansuri (ejaan lama yg kemudian ketika disesuaikan menjadi Syansuri), bukan Syamsuri, juga penulisan pegonnya menjadi الشيخ بشري شنسوري memakai ش،  bukan ص

 

Ini adalah catatan menjelang puncak haul KH.Bisri Syansuri ke 42 dan hari lahir Pesantren Mamba'ul Ma'arif yang ke-106. 

 

Ustadz Yusuf Suharto adalah Tim Narasumber Pengurus Wilayah (PW) Aswaja NU Center Jawa Timur dan Pengajar di Ma'had Aly Pesantren Mambaul Ma'arif, Denanyar, Jombang.  


Editor:

Opini Terbaru