• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Tokoh

Kiai Wahid Hasyim dan Rekrutmen Kader NU di Pesawat

Kiai Wahid Hasyim dan Rekrutmen Kader NU di Pesawat
Almaghfurlah, KH Wahid Hasyim. (Foto: NOJ/Tkt)
Almaghfurlah, KH Wahid Hasyim. (Foto: NOJ/Tkt)

Bandara Kemayoran, Jakarta, akhir 1950, pemuda itu bergegas mendatangi KH Imam Zarkasyi, Pengasuh Pondok Pesantren Gontor, lalu mencium tangannya. Kemudian tangannya bergeser menjabat telapak Saifuddin Zuhri, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Jawa Tengah, sekaligus Ketua Lembaga Dakwah PBNU.

 

“Kopor-kopornya mana, kiai. Mari sini, saya bawakan ke pesawat?”

 

Pemuda ini tampak enteng sekali membawa dua kopor besar miliki Kiai Zarkasyi dan Saifuddin Zuhri, serta satu lagi milik KH A. Wahid Hasyim. 

 

Hari masih pagi saat itu. Belum tampak terang benderang. Namun pemuda berpakaian rapi ini dengan cekatan membereskan koper-koper milik gurunya.

 

“Siapa dia, kiai. Apakah dia juga ikut dalam rombongan kita?” tanya Saifuddin Zuhri.

“Saudara belum tahu siapa dia? Dia Idham Chalid. Nanti akan saya kenalkan dengannya. Dia memang ikut kita bersama-sama ke Kalimantan. Dia putra Kalimantan.” jawab Kiai Wahid Hasyim.

 

“Benar, dulu dia juga belajar di pesantren kami, Gontor. Dia terhitung pintar dan sopan.” sahut Kiai Zarkasyi.

 

Di atas pesawat terbang kelas Dakota itu, Kiai Wahid “menyandingkan” tempat duduk Saifuddin Zuhri, 31 tahun, dengan Idham Chalid, 29 tahun, setelah sebelumnya berpesan: 

 

“Dia pemuda potensial. Ajak dia diskusi, ceritakan hal-hal yang berkaitan dengan NU kepadanya. Aku ingin, kelak Idham menjadi kader terbaik NU….” Kiai Wahid Hasyim berbisik di telinga Kiai Saifuddin Zuhri yang hanya bisa menganggukkan kepala.

 

Rupanya, antara kedua kader potensial ini terjalin pembicaraan yang asyik, sehingga mereka lekas akrab.

 

“Ketika di latihan Hizbullah, sebenarnya kita sudah berkenalan,” kata Idham Chalid, ”cuma ketika itu kita tidak punya banyak waktu karena kita sedang menghadapi Jepang mendekati sekaratnya,”

“Ketika zaman Jepang, saudara di mana?”

“Saya ditugaskan Gus Wahid Hasyim menjadi juru bahasa (soomubucho), kalau pembesar Jepang ini harus bicara di hadapan para ulama atau tokoh Islam lainnya.” jawab Idham Chalid, pemuda berperawakan ceking itu.

 

Ingatan Saifuddin Zuhri lalu melayang pada peristiwa beberapa tahun sebelumnya, saat Jepang berkuasa di Indonesia. Dia ingat, beberapa kali melihat seorang pemuda bercelana pendek dengan seragam Seinendan, yang dengan sangat terampil menyalin pidato pembesar Jepang itu ke dalam bahasa Indonesia, sampai-sampai orang Jepang mengira pidatonya belum disalin sepenuhnya. Idham, pemuda yang juga pernah nyantri di Gontor itu, bahkan bisa berbicara bahasa Jepang dengan cepat disertai aksen khasnya, manakala dirinya harus berdialog dengan para penjajah itu. Idham kemudian juga dikenal sebagai seorang polyglot alias seorang yang memiliki kemampuan menguasai berbagai bahasa asing. Terhitung, selain menguasai Bahasa Belanda, Idham juga menguasai Bahasa Arab, Jepang, dan Inggris secara aktif, juga Prancis dan Jerman yang yang ia kuasai secara pasif.    

 

Dalam pertemuan di udara itu, Idham juga bercerita apabila dia sebenarnya sudah menjadi anggota Ansor, wadah kepemudaan NU di Amuntai, Kalimantan, tempat kelahirannya. Dia juga menjadi guru madrasah hingga kemudian nama besar Gontor menarik minatnya dan jadilah dia nyantri di pesantren tersebut hingga menjadi pengajar di sana. 

 

Di atas pesawat terbang bikinan Amerika itu, rombongan Kementerian Agama yang dipimpin oleh Kiai Wahid Hasyim bertolak dari Bandara Kemayoran Jakarta menuju Kalimantan Selatan, untuk melakukan kunjungan dinas. Dengan jarak ribuan kaki dari atas daratan itu, Idham Chalid untuk kesekian kali mendengar hal ihwal Nahdlatul Ulama, sebab dia juga ikut dalam Partai Masyumi, di mana NU juga bergabung di dalamnya. Namun kali ini, diskusinya terasa gayeng, karena ia reuni dengan sahabatnya saat di Hizbullah dulu. Selain itu, gaya Saifuddin Zuhri yang menarik tatkala “mempromosikan” ajaran NU selama perjalanan udara itu tampaknya juga mulai menarik minat Idham Chalid masuk ke dalamnya.

 

Kisah di atas saya rekonstruksi dari buku karya KH Saifuddin Zuhri, 'Guruku Orang-Orang Dari Pesantren' (Yogyakarta: LKiS, 2001: 372). Yang menarik dari rangkaian kisah rekrutmen kader NU yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim adalah, bahwa ayahanda Gus Dur ini senantiasa memilih orang yang tepat, potensial, dan loyal terhadap NU. Dia nyaris tak pernah meleset memilih orang. Bahkan, ketika menyusun jaringan bawah tanah yang bergerak di zaman Jepang maupun pada saat revolusi fisik, Kiai Wahid selalu berhasil memilih orang-orang yang tepat. Dalam buku karya ayah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (hal. 272) ini pula terlihat kecermatan Kiai Wahid dalam memilih jaringan bawah tanah: sopir truk, pegawai bengkel mobil, kondektur kereta api, hingga para pedagang sebagai petugas penghubung komunikasi rahasia pada zaman Jepang maupun era saat revolusi fisik (1945-1949).

 

Melihat kemampuan merekrut orang secara tepat dan menempatkannya pada posisi yang sesungguhnya, Kiai Saifuddin Zuhri (hlm. 205) menyebut apabila Kiai Wahid Hasyim memiliki kemampuan “mens kennis” (istilah Belanda?), yaitu kemampuan mengenali kepribadian manusia. Seseorang yang punya kemampuan ini bisa melihat watak seseorang dari tanda tangan, cara berbicara, gestur saat berkomunikasi, cara makan dan gaya merokok, sampai pada gaya tertawa seseorang. Dari hal-hal seperti inilah Kiai Wahid bisa menerka watak seseorang berikut posisi yang tepat bagi mereka. 

---

Jika Ali bin Faradj Martak-- putra saudagar Arab Faradj bin Said Martak yang menghadiahkan rumah proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta kepada Bung Karno--direkrut menjadi kader NU oleh Kiai Wahid Hasyim melalui diskusi di atas kereta api, maka Idham Chalid, pemuda berbakat yang kelak menjadi Ketua Umum PBNU selama hampir 30 tahun (1956-1984), direkrut oleh Kiai Wahid Hasyim di atas pesawat terbang melalui indoktrinasi halus yang dilakukan Saifuddin Zuhri. Nama terakhir ini adalah kader potensial yang direkrut ayahanda Gus Dur itu melalui surat. Rekrutmen melalui korespondensi, mungkin ini istilah yang tepat untuk menyebutnya. Lalu, bagaimana sebenarnya kedekatan hubungan antara Kiai Wahid Hasyim ini dengan Djamaluddin Malik, salah satu bapak perfilman Indonesia, yang juga ayahanda penyanyi Camelia Malik itu? Tunggu ulasan mendatang, “Kiai Wahid Hasyim dan Rekrutmen Kader NU Melalui Surat” dan “Relasi Erat Kiai Wahid Hasyim dan Bapak Perfilman Indonesia”.

 

 Adalah Ketua Lembaga Ta’lif Wa-Nasyr PCNU Kota Surabaya


Editor:

Tokoh Terbaru