• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Lebih Baik Menikah atau Menjomblo Saja?

Lebih Baik Menikah atau Menjomblo Saja?
Hukum menikah sangat ditentukan oleh motivasi calon pengantin. (Foto: NOJ/HIa)
Hukum menikah sangat ditentukan oleh motivasi calon pengantin. (Foto: NOJ/HIa)

Salah satu kegiatan khas di pesantren ketika Ramadlan adalah mengkaji kitab-kitab turast atau biasa disebut ngaji pasanan.  Sebagai salah satu bagian dari civitas pesantren, seperti tahun-tahun sebelumnya, penulis juga mengisi bulan puasa ini dengan mengkaji sebuah kitab di pesantren. Tetapi yang menjadikan tahun ini berbeda dengan sebelumnya adalah tema yang dikaji bersama para santri.

 

Pernikahan, itulah tema yang telah kami sepakati untuk dikaji pada bulan puasa ini. Satu tema yang yang tidak hanya menarik, tetapi juga sangat penting untuk dipelajari siapa saja. Mengapa sangat penting? Karena semua pasti tahu bahwa angka perceraian di Indonesia setiap tahun selalu merangkak naik, dan menurut penulis, di antara berbagai macam sebab yang mengerek angka perceraian adalah kurangnya pengetahuan dan wawasan tentang pernikahan itu sendiri. Jadi, baik kajian, diskusi, dan telaah tentang pernikahan itu menjadi hal sangat penting saat ini.  

 

Oke, kita kembali pada kajian tentang pernikahan. Pada Ramadlan ini, penulis dan santri akan mendiskusikan tentang bab adab al-nikah yang dicuplik dari kitab Ihya Ulumudin karya Imam al-Ghazali. Hasil dari diskusi tersebut saya tulis di dalam catatan berikut.

 

Di hari pertama ngaji pasanan, penulis menemukan hal menarik di dalam bab al-targhib fi al-nikah wa targhib ‘anhu. Sesuatu yang menarik itu berkaitan tentang pertanyaan yang cukup menggelitik tapi penting untuk dijawab. Yaitu manakah yang lebih utama antara menikah dengan menjomblo (takhalli) untuk beribadah kepada Allah SWT.

 

Dalam keterbatasan kemampuan bahasa Arab yang dimiliki, penulis mencoba menerjemahkan perbedaan pendapat ulama tersebut, dan hasilnya kurang lebih seperti ini: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ulama berbeda pendapat dalam keutamaan nikah (apakah menikah lebih utama dibandingkan dengan takhalli atau menyendiri/tidak menikah untuk beribadah kepada Allah SWT). Sebagian ulama perpendapat bahwa menikah lebih utama daripada takhalli, sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa menikah lebih utama, tetapi mengedepankan takhalli selama tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menikah atau takut terjerumus kepada perzinahan. (lihat Ihya Ulumuddin, Dar Ibn Hazm, halaman 456)

 

Perdebatan itu ternyata dijelaskan secara lebih rinci di dalam kita Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, syarah dari kitab Ihya Ulumuddin karya dari ulama besar Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi. (lihat Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, Bairut-Libanon hal 284) 

 

Di dalam kitab tersebut. Imam al-'Iraqi memberikan keterangan lebih rinci tentang hukum menikah bagi orang yang tidak memiliki hasrat. Menurutnya, orang yang tidak memiliki hasrat kuat untuk menikah (غير التائق للنكاح) hukumnya dirinci menjadi dua. Pertama, jika yang bersangkutan tidak memiliki modal untuk menjalani hidup dalam rumah tangga, maka hukumnya makruh untuk menikah.

 

Kedua, jika orang yang tidak memiliki hasrat untuk menikah itu memiliki modal untuk menjalani kehidupan rumah tangga, maka hukumnya tidak makruh. Akan tetapi  dalam kedua kedaan ini lebih baik bagi mereka untuk menyendiri beribadah kepada Allah SWT.

 

Hal tersebut merupakan pendapat yang masyhur di kalangan Imam Syafi'i. Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafi'iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pernikahan itu lebih utama dari takhalli secara mutlak. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika orang tersebut tidak memiliki hasrat menikah, baik secara alami atau karena sudah tua, maka hukum menikah baginya adalah mubah. Tetapi ada pendapat imam Ahmad yang mengatakan mustahab

 

Pendapat yang masyhur di kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa menikah bukanlah ibadah, sedangkan menurut Hanafiyah disebut ibadah. Imam al-Nawawi berpendapat bahwa bagi orang yang berhasrat untuk menikah untuk tujuan taat kepada Allah, mengikuti sunah Nabi, menghasilkan keturunan yang shalih/shalihah, atau untuk menjaga pandangan dan farjinya, maka pernikahan termasuk amal akhirat (ibadah) yang mendapatkan pahala.

 

Ketentuan tersebut berlaku bagi yang mampu menafkahi. Jika tidak mampu, maka lebih baiknya yang bersangkutan berpuasa. Bagi yang tidak memiliki hasrat untuk menikah, sedangkan mampu memberikan nafkah, maka lebih utama menyendiri untuk beribadah.

 

Dari perdebatan panjang di atas kemudian dapat dijadikan dasar untuk menjawab apakah pernikahan adalah ibadah atau sekadar sesuatu yang diperbolehkan (mubahat). Pendapat yang sudah masyhur di kalangan ulama Syafi'iyah adalah pernikahan bukanlah ibadah oleh karena itu hukumnya mubah, bahkan Imam Syafi'i sendiri berpendapat bahwa pernikahan adalah bagian dari syahwat, bukan dari qurubat (ibadah). Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pernikahan adalah ibadah oleh karena itu hukumnya sunah.

 

Yang ingin penulis tekankan dalam pemaparan pendapat ulama tersebut bukanlah semata tentang perdebatan soal hukum pernikahan, tetapi pada motif di balik perdebatan tentang hukum tersebut. Karena motif itulah yang menjadi faktor penentu apakah pernikahan dapat dikategorikan sebagai ibadah atau bukan.

 

Motif itu terletak pada niat orang yang melaksanakan pernikahan, jika niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka pernikahan menjadi bernilai ibadah. Jika niatnya bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka pernikahan hanya menjadi sesuatu yang mubah. Oleh karena itu niat dalam sebuah pernikahan adalah hal yang sangat penting karena menjadi faktor penentu apakah akan bernilai ibadah atau tidak.

 

Mustaufikin adalah Pengajar di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, alumni Pesantren Tremas, Pacitan.


Editor:

Opini Terbaru