• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Tapal Kuda

Mbah Ismail, Penggerak IPNU di Banyuwangi Era Tahun 60-an

Mbah Ismail, Penggerak IPNU di Banyuwangi Era Tahun 60-an
Mbah Ismail, salah satu penggerak IPNU di Banyuwangi tahun 1960 an. (Foto: NOJ/ Vina Yunda Safitri).
Mbah Ismail, salah satu penggerak IPNU di Banyuwangi tahun 1960 an. (Foto: NOJ/ Vina Yunda Safitri).

Banyuwangi, NU Online Jatim

Tidak sedikit tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Kabupaten Banyuwangi yang memiliki peran dalam mengembangkan organisasi. Salah satunya Ismail yang akrab disapa dengan Mbah Ismail.

 

Pria yang lahir di Kelurahan Pengantigan Kabupaten Banyuwangi pada 25 November 1945 ini memiliki cerita menarik ketika berjuang di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pada tahun 1961-1966.

 

“Pada tahun 1960, anak-anak NU berkumpul di Pondok Pesantren (Ponpes) Darunnajah Tukang Kayu Asuhan Kiai Harun untuk mempertahankan ideologi yang sempat menjadi perdebatan di sekolah,” ujar Mbah Ismail.

 

Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad tersebut, Mbah Ismail masih ingat ketika dulu sekolah di SMEA BAPERKI yang dikelola komunitas Tionghoa di Banyuwangi. Kala itu terjadi konflik antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Islam.

 

Guru dan pelajarnya terdiri dari beragam golongan dan ideologi politik. Namun yang  lebih aktif yakni berhaluan komunis dan terafiliasi dengan PKI. Salah satu gerakannya terwadahi di Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Guru-guru juga mmemberikan pelajaran marxisme sehingga banyak para pelajar yang mendirikan organisasi untuk melawan ketidak sepahamannya.

 

“Dulu saat saya sekolah gedungnya sempat berpidah-pindah. Dulu juga saya dan teman-teman sering libur sekolah karena pergolakan ideologi. Kalau sekarang libur sekolah karena wabah, sedangkan dulu libur sekolah karena politik,” kenang Mbah Ismail.

 

Ia juga menjelaskan bahwa saat itu di kalangan pelajar NU Banyuwangi masih belum ada organisasi. Hanya sekedar mengikuti kepanduan. Pada saat itu pelajar-pelajar NU masih gandeng dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sayap Masyumi untuk melawan IPI.

 

Meskipun KGS Abdul Aziz putra Kiai Saleh Lateng Banyuwangi sudah hadir dalam Kongres III IPNU di Cirebon pada 1958. Namun, hal itu tidak menjadi penanda berdirinya IPNU Banyuwangi.

 

Barulah saat terjadi pergolakan politik ideologis pada dekade 1960-an, IPNU dan IPPNU Banyuwangi didirikan. Ketika IPNU dan IPPNU berdiri di Banyuwangi sekitar tahun 1960-an, masih berbentuk komisariat belum tingkat cabang.

 

“Pelajar NU dulu sering mengkritisi guru-gurunya yang tidak sefaham. Semboyan kami dulu ora et labora. Selain belajar dan berdoa, kami dulu juga harus berjuang,” ungkap Mbah Ismail.

 

Pusat kegiatan IPNU-IPPNU Banyuwangi pada saat itu bertempat di Ponpes Darunnajah. Awalnya Mbah Ismail diajak oleh temannya yang bernama Faisholi Harun untuk hadir dalam pertemuan pelajar NU. Sampai pada akhirnya ia dipilih secara musyawarah untuk menjadi wakil ketua pertama IPNU Banyuwangi yang dipimpin Mudjaini.

 

“Saya masih ingat dulu Ketua IPPNU pertama bernama Syarifah Bulan. Sudah lama saya tidak berkabar dengan beliau,” kata Mbah Ismail.

 

Mbah Ismail merupakan keponakan H Abdul Manansyah yang merupakan tokoh NU berpengaruh di Banyuwangi. Sehingga sudah jelas bahwa Mbah Ismail sejak lahir sudah memiliki darah NU.

 

 

“Saya merasa bangga dengan kakek dan buyut saya. Mengetahui hal itu, saya menjadi termotivasi untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sayapun menjadi Ketua Ranting IPNU saat ini juga proses saya belajar dan melanjutkan perjuangan sesepuh saya,” pungkas Yusron Al Farizi, cucu dari Mbah Ismail.

 

Editor: Romza


Editor:

Tapal Kuda Terbaru