• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Memahami Perbedaan Penentuan Awal Ramadlan

Memahami Perbedaan Penentuan Awal Ramadlan
Penjelasan perihal awal bulan Ramadlan oleh pemerintah. (Foto: NOJ/Kom)
Penjelasan perihal awal bulan Ramadlan oleh pemerintah. (Foto: NOJ/Kom)

Setiap menjelang bulan Ramadlan, kita senantiasa disuguhi fenomena perbedaan pendapat terkait penetapan awal puasa. Ironisnya, perbedaan ini tidak jarang menimbulkan konflik di tengah masyarakat berupa saling ejek dan saling klaim bahwa kelompoknya benar, sedangkan kelompok lain salah. Bulan yang seharusnya dijadikan sebagai momen peningkatan ibadah dan amal saleh justu dinodai oleh saling cemooh antarkelompok masyarakat.  

 

Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya otoritas dalam penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan perbedaan tersebut dengan menggelar sidang itsbat yang dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia. Hanya saja, terkadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang itsbat dimaksud dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri. Karenanya menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan awal bulan Ramadlan.

  

Dalam menetapkan awal bulan Ramadlan, ulama berbeda pendapat.

 

Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadlan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Mereka berpegangan pada firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad.

 

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

 

 فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ    

 

Artinya: Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.

 

Rasulullah bersabda:

 

 صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

 

Artinya: Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (HR Bukhari, hadits no. 1776).

 

Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasulullah mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Lihat: Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210).

 

Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah dan hadits Nabi.

 

Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:

 

    هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

 

Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).

 

Rasul SAW bersabda:

 

 إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

 

Artinya: Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadlan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia. 

 

Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata ‘Faqdurû lah’. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab).

 

Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadlan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut. (Lihat: Mahmud Ahmad Abu Samrah dkk., Al-Ahillah Baina al-Falaq wa al-Fiqh, Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyyah, Volume 12, Nomor 2, Halaman 241).

 

Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi. 

 

Dalam konteks negara Indonesia, terdapat beberapa kriteria penetapan awal Ramadlan, di antaranya:

 

Pertama, imkanur rukyat (visibilitas hilal). Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2 derajat di atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat. Akan tetapi, adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria ini digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang berkualitas.

 

Kedua, wujudul hilal. Wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadlan dengan menggunakan dua prinsip: ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam, dan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka pada petang hari tersebut dapat dinyatakan sebagai awal bulan. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah.

 

Ketiga, imkanur rukyat MABIMS. Yaitu penentuan awal bulan Ramadlan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS). Menurut kriteria ini, awal bulan hijriyah terjadi jika saat matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan ketika terbenam, usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak/konjungsi.

 

Keempat, rukyat global. Yaitu kriteria penentuan awal bulan Ramadlan yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa. Kriteria ini digunakan sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada negara Arab Saudi atau menggunakan hasil terlihatnya hilal dari negara lain.

 

Dengan adanya metode dan kriteria penetapan awal Ramadlan yang sangat variatif, tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam memulai puasa Ramadlan. Hanya saja, penting kiranya untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat bahwa amaliah di bulan Ramadlan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar Islam dan momen kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati bersama-sama. 

 

Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan menyelenggarakan sidang itsbat awal Ramadlan yang didasarkan pada rukyat, dan hisab sebagai pendukung.  Keputusan Itsbat bersifat mengikat dan berlaku bagi umat Islam secara nasional, sebagaimana kaidah fiqih:

 

 حُكْمُ الحَاكِمِ يَرْفَعُ الخِلَافَ

 

Artinya: Keputusan hakim (pemerintah) dapat menghilangkan perselisihan.

Hanya saja, jika perbedaan penetapan awal Ramadlan masih saja terjadi maka prinsip toleransi sepatutnya tetap dikedepankan. Sebab, menjaga persatuan dan kerukunan umat merupakan perintah Allah yang wajib dilaksanakan.

 

Wallahu A’lam.

 

Husnul Haq, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung. 

 


Editor:

Opini Terbaru