Penolakan kelompok Wahabi terhadap perjumpaan seorang sufi-wali dengan Nabi SAW di alam nyata membuat saya penasaran untuk menyelam lebih dalam, menelusuri buku-buku tasawuf yang mengisahkan soal itu.
Hingga beberapa hari ini saya ngebut membaca buku-buku tasawuf seperti kitab Hilyah al-Auliya', Jami' Karamah al-Auliya', al-Fathu al-Rabbani, 'Awariful Ma'arif, dan Tanbih al-Mughtarrin.
Ternyata kisah-kisahnya cukup menarik dan unik. Di antaranya kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang tidak kunjung menikah padahal usinya sudah memasuki kepala empat.
Ia didatangi Nabi SAW, dan beliau menyuruh al-Jilani: menikahlah! Al-Jilani berkata;
ما تزوجت حتى قال لى رسول الله صلى الله عليه وسلم: تزوج
Artinya: Saya tidak menikah sampai Rasulullah SAW berkata kepada saya: Menikahlah!
Lebih dari itu, bagi para sufi, perjumpaan dengan Nabi SAW di alam nyata ini merupakan pencapaian spiritual yang tinggi. Abdul Wahhab al-Sya'rani mengutip gurunya, Syaikh Ali al-Khawwash, yang berkata:
لا يكمل عبد فى مقام المعرفة حتى يصير يجتمع برسول الله صلى الله عليه وسلم يقظة ومشافهة.
Artinya: Tidak sempurna (lengkap) tahap pengetahuan seseorang sampai dia bertemu dengan Rasulullah saw dalam kondisi terbangun dan dalam kondisi musyafahah (bertemu langsung)
Tentu kisah-kisah seperti ini tidak bisa diverifikasi. Tapi, ia hidup di lingkungan ordo-ordo tarekat-spiritual, dari dulu hingga sekarang. Percaya boleh, tidak juga gak apa-apa karena ia tak termasuk rukun iman yang harus dipercaya.
Menghadapi kisah-kisah seperti ini, saya lebih memilih ikut Imam Ghazali untuk berbaik sangka pada mereka dan tak bertanya mengapa. Al-Ghazali berkata:
فكان ما كان مما لست اذكره # فظن خيرا ولا تسأل عن الخبر
Artinya: Yang lalu biarlah berlalu, jangan diingat lagi # Maka beprasangka baiklah dan jangan tanyakan tentang berita itu lagi.
Abdul Moqsith Ghazali adalah Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo.