• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Mencari Potensi Equilibrium Pasar di Tengah Polemik Impor Beras

Mencari Potensi Equilibrium Pasar di Tengah Polemik Impor Beras
Suasana panen padi. (Foto: NOJ/ISm)
Suasana panen padi. (Foto: NOJ/ISm)

Dalam ekonomi, mekanisme pasar dapat dikatakan telah berjalan saat keseimbangan pasar (market equilibrium) telah terbentuk. Keseimbangan yang dimaksud adalah berkaitan demand dan supply, yaitu tidak terjadi kelebihan penawaran (excess supply) akibat harga terlalu tinggi ataupun kelebihan permintaan (excess demand) akibat harga terlalu rendah. Keseimbangan ini dimaksudkan dalam keadaan ceteris paribus, yaitu tidak adanya faktor khusus yang mempengaruhi harga. Sebagai contoh, keseimbangan tersebut mungkin tidak secara normatif dapat diwujudkan saat pandemi Covid-19, di mana terjadi perubahan dalam pola konsumsi.

 

Sangat menarik kemudian jika dikaji pada 2021 ini, yaitu sebuah situasi yang seharusnya tidak didominasi oleh pandemi Covid-19 lagi mengingat 2021 seharusnya fase new normal menuju kebangkitan dalam berbagai bidang, terutama ekonomi. Namun, ada isu yang sangat menyita perhatian publik dalam kaitannya dengan sektor ekonomi, yaitu pedasnya harga cabai dan rencana impor beras 1 juta ton. Atas fakta tersebut, tulisan ini mencoba mengkaji secara holistik isu besar yang sedang terjadi.

 

Impor Beras; Ironis atau Kebutuhan?

Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini terjadi polemik kebijakan impor beras setelah pemerintah yang diwakili Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 4 Maret lalu mengatakan rencana impor beras untuk menjaga ketersediaan beras dalam negeri.

Sebenarnya, sejak kapan impor beras menjadi kebijakan Indonesia yang notabene negara agraris? Di masa Orde Lama, impor beras ternyata pernah dilakukan, yaitu tepatnya tahu 1963. Meskipun saat itu, Presiden Soekarno pernah mencanangkan program swasembada beras melalui Yayasan Badan Pembelian Padi pada tahun 1956–1964 sebagai bentuk penolakan impor beras yang sekaligus melepaskan ketergantungan Indonesia pada negara asing.

 

Pada Orde Baru, impor beras pun masih pernah dilakukan meskipun Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari Food and Agriculture Organization pada 14 November 1985 sebagai bentuk keberhasilan swasembada beras saat itu. Namun harus diakui, Indonesia pada masa Orba juga pernah melakukan ekspor beras, yaitu masing-masing 106 ribu ton pada tahun 1985, 231 ribu ton tahun 1986, 231 ribu ton tahun 1987, dan pada tahun-tahun berikutnya pernah beberapa kali melakukan ekspor beras meskipun jumlahnya tidak mencapai 100 ribu ton. Sedangkan ekspor tertinggi di masa Presiden Jokowi terjadi tahun 2017, yaitu 3,5 ribu ton.

 

Sedangkan impor beras, seakan menjadi kebijakan rutin sejak 1995. Catatan sejarah menunjukkan bahwa impor beras terbesar adalah era reformasi 1998, yaitu sebanyak 3 juta ton dan era Presiden Jokowi pada 1998 yang menembus angka 2 juta ton.

 

Adakah yang salah dari kebijakan impor beras? Berbicara kebijakan pemerintah, tentu terdapat pertimbangan matang yang telah digodok aspek identifikasi suatu permasalahan melalui ranah legislatif (DPR RI) untuk kemudian masuk dalam ranah eksekutif. Jika kemudian muncul kebijakan impor beras, berarti setidaknya muncul sebuah fakta yang menjadi latar belakang persoalan pangan, yaitu  prediksi kekurangan stok pangan (beras) dalam periode tertentu.

Setidaknya, ada dua cara untuk menggambarkan kekurangan stok beras. Pertama adalah data kuantitatif tentang stok beras. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI 15 Maret lalu menjelaskan bahwa stok beras aman, terlebih saat ini masa puncak panen raya. Stok beras di gudang Bulog mencapai 883.575 ton dengan cadangan beras pemerintah sebesar 859.877 ton dan beras komersial sebesar 23.706 ton. Meski ada penyerapan bulan Maret dan April, namun cadangan beras masih melimpah yakni di atas 1 juta ton setelah memasuki panen raya. Dengan begitu, data tidak menampilkan kekurangan stok beras.

 

Cara yang kedua adalah dengan menganalisa fakta kenaikan harga yang menunjukkan excess demand. Fakta lapangan menunjukkan, bahwa justru terjadi penurunan harga beras akhir-akhir ini. Sebagai contoh dalam satu semester terakhir, yaitu sejak September 2020, harga beras terus mengalami penurunan meski tidak secara drastis seperti halnya kenaikan harga cabai.

 

Pada September 2020, tercatat harga beras premium turun 0,92 persen secara bulanan menjadi Rp 9.871 per kilogram. Pada Nopember 2020, penurunan masih terjadi, yaitu menjadi Rp 9.715 per kg, sehingga menjadi salah satu komoditas yang menyumbang deflasi saat itu. Kemudian pada awal 2021 hingga Maret, harga beras belum menunjukkan kegairahan. Harga beras premium masih pada kisaran 9.772 per kg, harga beras medium Rp 9.386 per kg, dan harga beras luar kualitas pada kisaran Rp 9.146 per kg. Padahal sebelum penurunan harga, beras premium pernah mencapai harga Rp10.082,- per kg pada Maret 2020. Dengan begitu, jika mengacu pada hukum supply demand, maka tidak ada indikasi excess demand atau permintaan melebihi stok (supply) beras.

 

Perkembangan harga beras ini sejalan dengan pergerakan harga gabah, baik di tingkat petani maupun di tingkat penggilingan. Harga gabah memang cukup banyak menyita publik yang mana banyak petani mengeluh penurunan harga gabah. Pada saat ini, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani adalah Rp 4.758 per kg, selisih cukup jauh dengan Maret tahun lalu dimana GKP adalah Rp 5.766 per kilo. Seperti halnya beras dan GKP, penurunan juga terjadi pada gabah kering giling sehingga fakta tersebut menegaskan pernyataan Bulog bahwa tidak tampak indikasi kekurangan supply dalam komoditi pangan tersebut.

 

Namun perlu diketahui, bahwa tulisan ini bukan untuk menampakkan sikap kontra atas sebuah kebijakan atau analisa siapapun. Melainkan, fakta di atas sangat penting untuk menjadi pembanding data agar didapat akurasi prediksi stok beras di tahun 2021.

 

Lantas, jika tidak terdapat kekurangan stok, apakah tidak bisa dilakukan impor? Tentu harus diakui bersama, bahwa dalam era persaingan bebas, impor sangat bisa dilakukan oleh banyak pihak. Maka membendung arus impor melalui larangan impor komoditi pangan, adalah keniscayaan. Namun uniknya, kadang produk impor memiliki harga jual dibawah produk lokal. Bahkan hal ini terjadi dalam komoditi pangan, yaitu beras. Pada Januari 2021, beras impor salah satu negara tetangga, telah masuk ke pasar tradisional dengan harga hanya Rp 9.000 per kg. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 57 tahun 2017, HET beras medium untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi adalah Rp 9.450/kg. Sedangkan, untuk wilayah Sumatera selain Sumsel, NTT, dan Kalimantan, HET beras medium Rp 9.950/kg. Kemudian, untuk wilayah Maluku dan Papua, HET beras medium Rp 10.250/kg.

 

Inilah yang merupakan sebuah ironis yang seharusnya menjadi kajian bersama. Karena secara logika, seharusnya produk impor yang masuk ke Indonesia, membutuhkan cost yang tinggi dalam hal transportasi, tarif bea masuk dan pajak impor. Sebagai contoh, pada 2019, tarif pembebanan bea masuk untuk beras impor ditetapkan sebesar Rp. 450/kg.

 

Namun, fakta yang menunjukkan harga nett beras impor untuk sampai konsumen hanya 9.000/kg, maka harga awal dari produsen tentu jauh lebih murah. Diperkirakan pada 2019, rata-rata harga beras tetangga memang sangat murah, yaitu kisaran Rp.5.000-6.000/kg.

 

Terlepas kualitas beras lokal yang dinilai lebih bagus daripada beras tetangga, namun godaan harga yang murah pasti akan mempengaruhi preferensi konsumen dalam menentukan beras yang dikonsumsinya. Hal ini yang harus menjadi kajian bersama karena simbol negara agraris adalah pertanian. Maka ketika pertanian tidak lagi menjadi identitas negeri, apakah mungkin Indonesia masih menyandang sebutan negara agraris?

 

Harus diakui, bahwa profesi petani adalah profesi yang tidak mudah dan penuh perjuangan. Petani tidak bisa dipastikan pendapatan bulanannya, apalagi pendapatan sehari-hari. Melainkan, petani adalah profesi yang hanya akan mendatangkan pendapatan saat panen tiba. Lantas, bagaimana jika panen gagal? Ini semacam menambah pertanyaan tatkala kita bandingkan harga beras lokal yang lebih tinggi dari beras impor.

 

Beberapa faktor yang menyebabkan mahalnya beras lokal adalah komponen cost produksinya, mulai dari benih padi, pestisida untuk melawan hama, pupuk, hingga biaya sewa lahan dan tenaga kerja. Harus diapresiasi, bahwa petani bukan pejuang pangan yang tinggal diam menunggu subsidi. Pupuk misalnya, banyak kisah petani yang berhasil mengembangkan pupuk sendiri. Hal sama juga dilakukan oleh petani dalam melawan hama yang mengancam keberlangsungan tanaman di persawahannya serta upaya khusus untuk mengantisipasi banjir yang bisa menggagalkan panennya, meskipun cara mereka tidak selalu efektif.

 

Dalam hal ini, harus diperhatikan faktor lain yang sangat mempengaruhi cost produksi bertani, yaitu biaya sewa lahan, transportasi, dan tenaga kerja. Jika dikaji detail, faktor-faktor tersebut adalah bagian dari multiplier effect situasi ekonomi. Peningkatan UMK tahunan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup karyawan misalnya, ternyata diiringi peningkatan berbagai biaya, mulai dari kenaikan harga barang, kenaikan biaya asuransi, dan sebagainya sehingga semua lapisan masyarakat juga mendapatkan dampaknya. Maka tak dapat diabaikan, biaya hidup menjadi tuntutan semua lapisan masyarakat, termasuk buruh tani. Begitupun sewa lahan, tidak dapat dipersalahkan jika pemilik lahan mematok harga cukup tinggi mengingat harga tanah di banyak wilayah Indonesia, terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Sedangkan transportasi, tetap tidak bisa diremehkan karena pada kenyataannya, banyak petani yang harus mengeluarkan biaya-biaya cukup banyak untuk membeli pupuk, pestisida, dan sebagainya dalam proses bertani hingga pasca panen.

 

Solusi Selesaikan Problem

Lantas, bagaimana solusi untuk menyelesaikan problem petani? Tidak bisa tidak, bahwa tangan emas pemerintah sebagai pemangku kebijakan, sangat dibutuhkan dalam mereduksi persoalan petani. Meskipun ada prinsip ekonomi laissez-faire  bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar (sendiri), yang oleh Adam Smith disebut dengan invisible hand, namun bukan berarti pemerintah tidak memiliki kesaktian cukup untuk menyelamatkan suistanability petani.

 

Jika kita kaji secara regulasi misalnya, sebenarnya telah terdapat regulasi yang memihak petani, terutama dalam kaitannya dengan sewa lahan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) terdapat beberapa poin yang sebenarnya sangat membantu petani. Pasal 37 misalnya, menjelaskan bahwa PLPPB dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian: a. insentif; b. disinsentif; c. mekanisme perizinan; d. proteksi; dan e. penyuluhan. Sedangkan Pasal 38 menjelaskan bahwa insentif diberikan kepada petani berupa: a. keringanan PBB; b. pengembangan infrastruktur pertanian; c. pembiayaan penelitian, pengembangan benih, dan varietas unggul; d. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi. Dengan begitu, jika regulasi tersebut secara optimal diaplikasikan, maka sangat mungkin kedaulatan pangan yang menjadi nafas Nawa Cita Presiden Jokowi dapat terwujud nyata.

 

Jika problem dapat diminimalisir, apakah mungkin terbentuk equilibrium market? Jawabannya sangat singkat: sangat mungkin. Fakta bahwa tidak ada excess supply dan excess demand saat ini, seharusnya sudah cukup untuk membentuk harga adil (justum pretium) sebagai identitas terjadinya mekanisme pasar yang seimbang (equilibrium). Namun jika ternyata kondisi tidak ceteris paribus seperti yang terjadi saat ini dimana harga beras dan gabah anjlok, maka kajian-kajian di atas setidaknya cukup untuk mengidentifikasi alasan mekanisme pasar belum seimbang. Dan jika persoalan kemudian teratasi, maka seharusnya equilibrium market terbentuk sempurna. Jika equilibrium masih saja belum terjadi, maka jawabannya sangat mungkin mengerucut pada dua kalimat: human error. Human error disini adalah perilaku nakal oknum tertentu yang merusak harga dan membuat multiplier effect yang tidak positif bagi petani maupun masyarakat. Pada akhirnya, human error juga akan dapat terhenti jika ada ketegasan dari pemerintah, dalam hal ini adalah lembaga yudikatif dalam menertibkannya. Akhir kata, semangatnya petani adalah selamatnya pangan.

 

Penulis adalah Doktor Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

 


Editor:

Opini Terbaru