• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Opini

Mencerna Makna Foto Ulama di Kedai Makan

Mencerna Makna Foto Ulama di Kedai Makan
Suasana di Depot Asih Jaya, Lamongan. (Foto: NOJ/Rijal M)
Suasana di Depot Asih Jaya, Lamongan. (Foto: NOJ/Rijal M)

Hari ini, saya menuju Tuban, menghadiri bedah buku ‘Dualisme Sistem Pendidikan di Indonesia’ karya Rektor Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban, Akhmad Zaini.

 

Sebelumnya, saya mampir di Depot Asih Jaya, salah satu sentral soto di Lamongan. Saya suka menunya, selain tentu saja respek melihat deretan foto di dinding kedai. Selain berpose dengan beberapa pejabat tinggi, dari Masyfuk hingga SBY; Haji Ali Mahfudz, pemilik warung ini, juga berfoto dengan budayawan Emha Ainun Nadjib, dan para tokoh agama seperti KH. Maimoen Zubair, Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf, Mama Dedeh, sampai Ustadz Yusuf Mansyur.

 

Ada juga foto KH Miftahul Lutfi Muhammad, Surabaya, dan yang spesial, foto Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dicetak dengan ukuran besar dan dibingkai warna keemasan di atas lorong menuju mushala.

 

Parade foto para ulama di Depot Asih Jaya Lamongan ini mengingatkan saya pada pemandangan yang sama, yang saya jumpai di Warung Barokah, jalan Wahidin Sudirohusodo Gresik.

 

Foto dua ulama Surabaya, KH Asrory al-Ishaqy dan ayah beliau, KH Utsman al- Al Ishaqy, ini menempel di dinding warung tersebut. Saya menjepretnya saat akhir Desember 2017 silam.

 

Selain foto beliau berdua, masih ada foto ulama lain, seperti Habib Abdul Qadir Assegaf, Jeddah; dan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki. Bagi saya ini keren. Sebab, foto di dinding lebih dari sekadar gambar. Ia menunjukkan kesukaan, karakter dan ideologi penempel foto. Saya menduga, pemilik Warung Barokah ini adalah salah satu anggota Jamaah Al-Khidmah sekaligus berbaiat Thariqah Qadiriyah Wan Naqsyabandiyah.

 

Di Jakarta, saya beberapa kali menjumpai foto para Habaib; dari Habib Luthfi bin Yahya, Habib Rizieq Shihab, Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa hingga dua bersaudara Habib Jindan dan Habib Ahmad bin Novel Jindan, maupun generasi sepuh seperti Habib Ali al-Habsyi, Habib Ali Bungur, maupun Habib Utsman bin Yahya. Di sisi lain, foto para ulama Betawi, dari Muallim Syafi'i Hadzami, Muallim Abdullah Syafi'i, dan lain sebagainya. Semua menempel di dinding beberapa kedai.

 

Di warung Padang, biasanya juga kita temui foto pria sepuh berpeci hitam. Namanya Ungku Saliah. Beliau merupakan ulama yang berasal dari Kabupaten Padang Pariaman khususnya Kecamatan VII Koto Sei Sarik. Beliau bermazhab Syafi'i, wafat tahun 1974, dan masyhur sebagai seorang waliyullah. Foto Ungku Saliah biasanya banyak bertebaran di Warung Padang yang dikelola perantau asal Pariaman. Sebagian ingin tabarrukan, sebagian lain sekadar menunjukkan identitasnya sebagai bagian dari pecinta wali, juga menuntas rasa rindu pada kampung halaman.

 

Di daerah Klojen, Lumajang, ada tukang tambal ban yang buka 24 jam. Ia menjadi harapan mobil yang menjelang tengah malam tiba-tiba bannya gembos maupun langganan truk-truk besar yang ingin tambah angin ban. Di salah satu tiang kayu tertempel poster ukuran besar bergambar almaghfurlah KH Hasan Saifurrizal, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, yang juga ayah KH M Hasan Mutawakkil Allallah.

 

Saya tak bertanya kaitan secara langsung antara tukang tambal ban dan sosok yang tertera di poster itu. Mungkin santrinya atau sekadar pengagum saja.

 

Saya percaya, poster-foto mewakili hubungan spesial antara sosok yang tertera di poster dengan mereka yang memasangnya. Jika berkunjung ke Situbondo dan Bondowoso, bisa dipastikan mayoritas rumah penduduk memiliki foto-poster almaghfurlah KH As'ad Syamsul Arifin disertai dua putra beliau: Kiai Fawaid dan Kiai Kholil. Di wilayah Mataraman, foto tiga muassis Lirboyo [Mbah Manaf, Mbah Marzuqi & Mbah Mahrus], KH Djazuli Usman, Gus Miek, serta KH Abdul Jalil Mustaqim banyak menghiasi dinding rumah penduduk.

 

Di komunitas santri Madura yang memiliki usaha warung makan, misalnya, acapkali ditemui foto ulama Madura di tembok warungnya. Biasanya hal ini menandakan hubungan santri-kiai. Di Jetis, Ponorogo, tukang potong rambut asal Bangkalan masih memasang stiker-foto KH Amin Imron dan KH Cholil AG, dua kiai terpandang di Madura era 90-an.

 

Di masyarakat Banjar, kabarnya, foto Guru Ijai dan gambar Syaikh Arsyad Banjari masih banyak dijumpai di rumah penduduk. Di Lombok, foto Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid banyak dijumpai di rumah penduduk. Lebih luas lagi, dalam komunitas tarekat, misalnya, foto mursyid yang terpasang di dinding ruang tamu menjadi salah satu ciri khas. Dalam komunitas yang lebih cair, foto pendiri NU bisa menjadi penanda ideologis pemilik rumah.

 

Fenomena foto-poster ulama di masyarakat ini mengingatkan saya pada tulisan Mas Hairus Salim HS., Dalam salah satu artikel yang termuat di Jurnal Taswirul Afkar, peneliti LKiS ini menyoroti kecintaan masyarakat Banjar terhadap para ulama yang, antara lain, ditandai dengan pemasangan foto ulama Banjar di ruang tamunya. Ada banyak alasan sosiologis, ideologis dan kultural yang melatarbelakanginya. Yang pasti, bukan semata tabarrukan saja.

 

Bagi saya, penempatan foto para ulama di kedai makan--bukan rumah pribadi-- menunjukkan semacam promosi terselubung ikatan primordial, idiologis, hingga sambungan ruhaniah para pemiliknya dengan sosok yang dimuliakan.

 

Juga melampaui mekanisme ‘sertifikasi halal’ di alam bawah sadar pengunjungnya. Tamu tak perlu bertanya status kehalalan menu, karena terselip keyakinan kesalehan para pengelola warung.

 

Sebagaimana sebelumnya, para pemilik warung yang sudah pernah ke baitullah menyertakan identitas Haji di depan namanya. Depot Sate Gule Haji Faqih Cukir, ayam goreng Haji Soleh Pandaan, Warung Haji Roni Denpasar, Warung Haji Ridwan Pasar Besar Malang,  Coto Makassar Haji Hassan dan sebagainya. Penyematan gelar haji, selain menunjukkan reputasi kesuksesan pemiliknya yang bisa ke baitullah, juga menjadi sarana kunci trademarknya. Seperti identitas Kolonel di depan nama Harland Sanders, pemilik KFC yang tersohor itu.

 

Fakta lain, beberapa kedai yang memampang foto ulama di dindingnya, memiliki mushala yang bersih dan terjaga kesuciannya, juga toilet yang memadai. Ini yang saya sukai.

 

Singkat kata, foto-poster lebih dari sekadar gambar. Ia menjadi menjadi penanda relasi emosional-patronistik, watak ideologis, dan relasi spiritual. Maka, nyaris mustahil menemui foto ulama dan Walisongo di rumah seorang Wahhabi, misalnya. Sebab, sebagian dari mereka masih mengharamkan foto/gambar walaupun seringkali inkonsisten dengan pendapatnya sendiri.

 

Lagi pula, foto-poster ulama bisa menjadi medium komunikasi non-verbal, penyuaraan ideologis dan identifikasi personal dalam kajian interaksionisme simbolik ala Herbert Blumer. Wallahu a'lam bishshawab.

 

Rijal Mumazziq Z adalah Rektor Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (Inaifas) Kencong, Jember. 


Editor:

Opini Terbaru