• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 16 April 2024

Metropolis

Mendidik Anak Zaman Now Menurut Guru Besar ITS

Mendidik Anak Zaman Now Menurut Guru Besar ITS
H Agus Zainal Arifin saat berada di Osaka, Jepang. (Foto: NU Online Jatim/pribadi)
H Agus Zainal Arifin saat berada di Osaka, Jepang. (Foto: NU Online Jatim/pribadi)

Surabaya, NU Online Jawa Timur
Sejumlah orang tua kerap menceritakan kepada anak-anaknya bahwa dulu hidup prihatin. Makan dan menikmati hidup apa adanya, dengan fasilitas yang jauh dari memadai. 

 

Cerita tersebut disampaikan dengan berbagai tujuan. Yang mengemuka mungkin adalah agar buah hati bisa juga melewati hidup sama seperti orang tuanya. Hidup prihatin dianggap sebagai sarana tepat agar anak tidak lupa diri.

 

Namun pandangan ini mendapat bantahan dari H Agus Zainal Arifin. Mantan Dekan Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi (FTIK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini mengemukkaan tidak selayaknya peserta didik maupun anak diperlakukan dengan suasana dan keadaan serba prihatin.

 

“Menurut saya tidak perlu seorang murid atau anak itu ditirakatkan dengan cara diajak hidup prihatin, diminimumkan resourcenya duit, makan, fasilitas, listrik, air, dan sebagainya,” katanya di status Facebooknya, Rabu (11/12). 

 

Mengajak anak memaknai kesederhanakan tidak dengan cara segalanya harus serba irit.

 

“Belajar tanpa penerangan cukup, jalan jauh sekali untuk ke sekolah, makan kurang sampai lemas, disuruh belajar sendiri saja seperti orang tuanya zaman dulu tanpa disediakan mentor, dan bermacam pola prihatin,” ungkap Wakil Ketua Pengurus Pusat (PP) Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) ini.

 

Dalam pandangannya, awalnya pola hidup prihatin itu ditujukan agar anak punya rasa welas asih kepada orang lain. Tapi sesungguhnya tidak ada jaminan mereka akan jadi punya rasa kasihan dengan cara seperti itu. 

 

“Bahkan tidak sedikit yang malah sombong meremehkan yang lain. Bila kondisi prihatin minim support itu diteruskan, bukan tidak mungkin jadi prihatin beneran, tidak kuat lahir sekaligus tidak kuat batin,” terang mantan Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang ini.

 

Sebaliknya pola hidup dan pola belajar yang difasilitasi sewajarnya bisa jadi justru akan melejitkan kepandaian dan kearifan. 

 

“Hidup penuh syukur kepada Tuhan dan kepada orang tuanya yang membiayai. Rasa belas kasihan juga tidak mustahil dapat ditingkatkan di sana. Maka kekuatan yang ada adalah kuat lahir dan kuat batin,” pungkas alumnus program doktor di Universitas Hiroshima tersebut. 

 

Editor: Syaifullah
 


Editor:

Metropolis Terbaru