• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Matraman

Mengenang KH Husein Ali, Ulama Pendiri Pesantren Tahfidz di Ponorogo

Mengenang KH Husein Ali, Ulama Pendiri Pesantren Tahfidz di Ponorogo
KH Husein Ali semasa hidupnya. (Foto: NOJ/ Husnul Khotimah).
KH Husein Ali semasa hidupnya. (Foto: NOJ/ Husnul Khotimah).

Ponorogo, NU Online Jatim

Pondok Pesantren Tachfidzul Qur’an (PPTQ) Al-Hasan, Desa Patihan Wetan, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo menggelar haul pertama KH Husein Ali. Acara haul yang semula akan digelar Selasa (24/08/2021) ini diajukan pada Ahad (22/08/2021).

 

Rangkaian acara diawali dengan khataman Al-Qur’an oleh para santri selama 7 hari. Dan puncak acaranya ialah Simaan Kubro ba’da shalat subuh. Kemudian dilanjut dengan pembacaan Maulid Simtudduror ba’da shalat dzuhur. 

 

Selanjutnya tahlil dan Khatmil Qur’an yang diakhiri penyekaran di makam abah Kiai Husein, tepatnya di belakang Masjid Nurussalamah sekitar Komplek PPTQ Al-Hasan.

 

Sosok KH Husein Ali.

KH Husein merupakan pendiri pondok PPTQ Al-Hasan. Ia seorang alim ulama yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Al-Qur’an.

 

Ia juga satu-satunya ulama spesialis qiroah sab’ah di Ponorogo dan mahir dalam menguasai kitab. Kiai Husein juga tercatat pernah menjabat sebagai Sekretaris Katib Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Ponorogo. 

 

Ia dilahirkan pada tanggal 26 Mei 1954/ 23 Ramadhan 1373 Hijriyah di daerah Jejeran, Wonokromo, Yogyakarta. Ayahnya bernama Ali Masykur.

 

Sejak kecil, Kiai Husein sudah terbiasa hidup dengan ekonomi yang terbatas, bahkan orang tuanya tidak mampu membiayai kebutuhan pendidikannya.

 

Akan tetapi semangat belajarnya luar biasa. Ia tetap ingin sekolah meskipun tidak memperoleh raport dan ijazah. Bahkan tempat belajarnya pun rela berada di teras.

 

Karena kemampuan daya ingatnya yang sangat kuat, Kiai Husein dibimbing ilmu-ilmu alat membaca kitab yakni Nahwu-Shorof oleh ayahnya di usianya yang masih belia.

 

Seusai ayahnya wafat, Kiai Husein yang berusia 13 tahun sudah memiliki niat untuk menghafalkan Al-Qur’an. Hebatnya, ia berhasil menyelesaikannya dalam waktu 9 bulan.

 

Selama menghafal, ia berpuasa dan tidak keluar dari rumah kecuali shalat Jum’at dan menjemur pakaian. Dijelaskan bahwa mudahnya para penduduk di sana mengahafal Al-Qur’an karena di daerahnya terdapat 41 makam aulia yang masyhur.

 

Pada usia remaja, Kiai Husein menghabiskan waktu untuk mengembara ilmu. Pertama, ia dipertemukan dengan Abuya Dimyati bin Muhammad al-Bantany atau akrab disapa Mbah Dim. Ia merupakan kiai besar dan guru tarekat yang alim dan wara’.

 

Kiai Husein ialah murid pertama Mbah Dim. Dari beliaulah Kiai Husein mempelajari kitab-kitab besar selama 5 tahun. Sedangkan pendalaman tafsir Al-Qur’an, Kiai Husein berguru kepada KH Abdullah Umar.

 

Kemudian di Kudus Kiai Husein berguru kepada KH Hisyam dan KH Arwani. Sedangkan ijazah qiroah sab’ah diperoleh dari gurunya yang bernama KH Wahab di Kudus.

 

KH Husein adalah sosok yang menerima kedaan walaupun kondisinya memprihatinkan saat di pondok. Namun tidak mengurangi ghiroh perjuangannya dalam menimba ilmu. 

 

“Saat di pondok, Abah keadaannya sangat prihatin. Ia jarang makan karena tidak mempunyai bekal sangu. Maka yang dilakukan hanya minum air sebanyak-banyaknya sampai kenyang,” ungkap Nyai Yatim Munawaroh, istri KH Husein Ali.

 

Awal berdirinya pondok 

Berawal dari mimpi warga di Desa Patihan yang bernama KH Qomari Hasan akrab disapa Mbah Qom. Ia bertemu dengan paman KH Husein yang bernama Mbah Arsyad yang berjalan merunduk di depan rumahnya hingga suatu hari mimpi itu menjadi kenyataan.

 

Karena sangat haru bertemu sosok Mbah Arsyad yang hadir dalam mimpinya, maka Mbah Qom meminta untuk menggelar hajat simaan Al-Qur’an selama 140 hari. Sedang Mbah Arsyad merasa tidak mampu karena tidak hafal Al-Qur’an, maka ia memerintahkan keponakannya yakni Kiai Husein memenuhi hajat Mbah Qom.

 

Sejak itulah Kiai Husein diangkat menjadi putranya dan mendirikan pondok  pada 2 Juli 1984 di atas tanah yang dihibahkan Mbah Qom. 

 

“Abah sosok kiai yang selalu menerima keadaan. Tidak banyak keinginan. Menyerahkan pengabdian hidupnya untuk mengembangkan pondok meskipun dengan ekonomi yang terbatas, yang mulanya hanya memiliki 3 santri alhamdulillah sampai saat ini sudah berkembang,” ungkap Bunyai Yatim.

 

“Banyak santri dari luar daerah yang berkenan menimba ilmu disini, selain itu banyak pula santri abah yang sudah berhasil mendirikan pondok pesantren usai mondok di sini,” lanjutnya.

 

Semasa hidupnya, Kiai Husein selalu istiqamah dalam menjaga Al-Qur’an dan mengajar tanpa lelah. 

 

“Abah selalu mendidik santrinya dengan akhlakul karimah. Senakal-nakalnya santri, beliau tidak pernah marah dan selalu sabar menghadapinya. Beliau sangat istiqamah dalam menjaga Al-Qur’an bahkan disaat beliau sakit,” jelas Bunyai Yatim.

 

Menurutnya, Kiai Husein selalu mengingatkan santri-santrinya tentang pentingnya menjaga akhlak.

 

“Jangan sampai kita membaca Al-Qur’an justru mendapat laknat, mengaji harus dengan adabnya,” demikian pesan almarhum semasa hidupnya disampaikan Bunyai Yatim.

 

 

Di akhir hayatnya, langit menyambut kepergian Kiai Husein dengan mendung hitam dan guyuran hujan. Tepat di usia 66 tahun, ia menghembuskan nafas terakhir pada 13 September 2020 karena sakit yang dideritanya.

 

Bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan sosok Kiai Husein, tetapi para masyayih, santri, dan seluruh masyarakat Ponorogo merasakan kepergian seorang tokoh ulama sepuh ahli Al-Qur’an dan kitab. Bukan hanya itu, Kiai Husein juga pengayom masyarakat dengan asah, asih, asuh dan kebijaksanaannya. 

 

Editor: Romza


Editor:

Matraman Terbaru