• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Menyoal Cara Pesantren Beradaptasi dengan Teknologi

Menyoal Cara Pesantren Beradaptasi dengan Teknologi
Sejumlah pertimbangan diberikan pesantren kepada santri dalam menggunakan piranti teknologi. (Foto: NOJ/MEi)
Sejumlah pertimbangan diberikan pesantren kepada santri dalam menggunakan piranti teknologi. (Foto: NOJ/MEi)

Teknologi telah menjadi spirit utama dalam kehidupan manusia modern. Hampir semua aspek kehidupan seakan tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi. Aktivitas di rumah, perkantoran, lembaga pendidikan, ataupun fasilitas umum lainnya tidak akan berjalan dengan baik jika tidak memanfaatkan teknologi.

 

Sebagai contoh sederhana, kita pasti akan bingung jika tiba-tiba listrik padam, karena hampir semua pekerjaan baik di rumah atau di tempat kerja menggunakan teknologi yang membutuhkan aliran listrik. Pengguna teknologi ini juga telah menjangkau hampir semua umur, dari anak-anak hingga orang dewasa sesuai kebutuhan masing-masing.

 

Tetapi di tengah ketergantungan orang terhadap teknologi, ada satu fenomena yang menarik untuk diamati, yaitu penggunaan teknologi di pesantren. Saat hampir semua elemen masyarakat menggunakan teknologi dengan sangat terbuka, pesantren masih sangat selektif dalam menerima kehadiran teknologi. Hampir semua pesantren sangat berhati-hati dalam mengizinkan penggunaan teknologi.

 

Bagi yang pernah belajar di pesantren pasti merasakan tidak bisa menggunakan alat elektronik dalam bentuk apa pun, termasuk komputer atau laptop. Sekadar cerita, dulu waktu lulus dari pesantren pada tahun 2007, saya belum pernah belajar komputer, padahal setelah itu saya harus kuliah di salah satu perguruan tinggi di Surabaya.

 

Pada waktu itu, komputer masih menjadi barang langka, dan hanya sedikit santri yang mau belajar. Berbeda dengan saat ini, teknologi sudah berkembang dengan sangat cepat, hampir di semua lembaga pendidikan teknologi sudah menjadi barang yang wajib terutama komputer atau laptop. Tetapi walaupun demikian pesantren masih sangat berhati-hati dalam mengizinkan santrinya menggunakan komputer atau laptop, jarang ditemukan pesantren yang mengizinkan santri menggunakan laptop di dalam pesantren, kalaupun boleh hanya digunakan sebatas di dalam sekolah.

 

Juga pada saat hampir semua pelajar membawa smartphone ke mana-mana, santri masih harus puasa tidak menggunakannya, karena pesantren masih menutup rapat pintunya untuk telepon pintar. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa pesantren seakan sulit sekali menerima kehadiran teknologi? Apakah pesantren memang menolak segala bentuk modernitas yang ada?

 

Pesantren dan Tata Nilai

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu memperhatikan secara mendalam tentang karakter pendidikan pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang sangat mengedepankan aspek pendidikan karakter, menjunjung tinggi etika dan moral. Untuk itu pesantren akan menyaring hal-hal baru yang masuk ke dalam pesantren, hal ini dilakukan agar hal baru tersebut tidak merusak tatanan nilai dan budaya yang sudah terbangun dengan baik di dalam pesantren.

 

Teknologi adalah sebuah hal baru yang hadir di tengah masyarakat khususnya pesantren, dan penting untuk kita pahami bahwa teknologi tidak pernah netral dan bebas nilai dalam kaitannya dengan kehidupan sosial dan budaya. Artinya teknologi tidak hanya mengubah struktur fisik atau hardware, tetapi juga mengubah software sebuah peradaban.

 

Hadirnya teknologi bukan hanya memberikan kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi di balik kemudahan itu, teknologi dengan cara yang sangat halus juga mengubah, menanamkan, dan menciptakan nilai baru khususnya nilai-nilai etik (etichal value) seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan kecepatan.

 

Selain itu, teknologi juga memberikan cara pandang baru tentang yang baik dan tidak baik, pantas dan tidak pantas, atau adil dan tidak adil. Yang menjadi masalah adalah nilai etik yang lahir dari teknologi itu belum tentu sesuai dengan nilai agama atau nilai budaya yang kita pegang. Nilai itu juga bersifat plural/tidak tunggal, dan terkadang saling bertentangan. Mengapa demikian?

 

Kita tahu bahwa teknologi dalam hal ini adalah internet, telah membuka ruang diskusi yang sangat luas terhadap berbagai pemikiran, ideologi, dan budaya. Ruang diskusi yang sangat terbuka itulah yang menyebabkan terjadinya benturan nilai, dan melahirkan nilai baru sesuai dengan keyakinan masing-masing pengguna teknologi.

 

Akibatnya adalah bagi siapa saja yang tidak memiliki prinsip atau ideologi pemikiran yang kuat, akan sangat mudah hanyut dalam arus kebebasan berpikir, dan mengikuti nilai atau budaya baru yang bertentangan dengan nilai atau budaya yang sudah ada. 

 

Sebagai contoh sederhana, kita pasti bisa merasakan bahwa di dalam dunia maya terutama di media sosial, telah terjadi banyak pergeseran budaya dan tata krama dalam pergaulan. Sopan santun dalam berbicara atau berkata-kata dalam media sosial sudah jarang kita temukan. Semua orang dianggap sama, antara yang tua dengan muda, antara guru dan murid, tidak ada perbedaan dalam berinteraksi dan berbicara.

 

Bahkan menurut penelitian terbaru, pengguna internet di indonesia dinyatakan sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Hal itu wajar karena jamak kita temukan perkataan kasar, ujaran kebencian, dan saling menyalahkan di media sosial. Hasil survei itu adalah bukti bahwa teknologi telah mengubah perilaku penggunanya.

 

Contoh di atas hanya sebagian kecil dari berbagai nilai yang berubah akibat teknologi. Akibat lain yang lebih serius adalah jika terjadi perubahan dalam hal ideologi, agama, dan budaya. Radikalisme adalah contoh konkret dari efek buruk teknologi yang disalahgunakan oleh sebagian orang.

 

Sampai di sini, setidaknya kita bisa tahu bahwa karena alasan itulah pesantren sangat hati-hati dalam menerima teknologi. Pesantren dengan tatanan nilai dan budayanya yang luhur, ingin menjaga para santri agar tetap mampu mempertahankan karakternya dengan budi pekerti yang baik, dan tidak terbawa arus pemikiran yang bebas tanpa batas.

 

Usia para santri ketika belajar di pesantren adalah usia dalam pembentukan karakter, baik dalam hal intelektual, sosial, maupun spiritual. Untuk penanaman nilai-nilai atau prinsip-prinsip dasar yang baik menjadi sangat penting untuk mereka. Selain itu, pemikiran dan emosi mereka yang masih labil, akan sangat berbahaya jika dibiarkan dengan bebas mengakses berbagai macam pemikiran, ideologi atau budaya melalui teknologi. Mereka akan sangat mudah terpengaruh dan terbawa arus. Oleh sebab itu, pesantren menjaga para santri agar tidak terpengaruh oleh efek negatif dari teknologi.

 

Dalam hal teknologi, pesantren masih memegang erat kaidah dar’ul mafashid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menciptakan kemaslahatan). Menggunakan teknologi secara bebas hanya akan mendatangkan banyak kemadlaratan bagi para santri.

 

Tidak hanya itu, teknologi pada hakikatnya hanyalah sarana bukan tujuan. Dalam istilah ushul fiqih teknologi bukanlah sesuatu yang bersifat dharuriyat yaitu kebutuan pokok yang harus terpenuhi, jika tidak maka akan berakibat pada kerusakan dalam hidup. Teknologi dalam hal-hal tertentu hanya menempati kategori hajiyat  yaitu sesuatu yang kita butuhkan tapi jika tidak terpenuhi tidak menimbulkan kerusakan, atau hanya sebatas tahsiniyat yaitu kebutuhan penunjang semata.

 

Oleh karena itu, tidak ada masalah jika pesantren membatasi penggunaan teknologi untuk para santrinya. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa pesantren tidak menutup total penggunaan teknologi, akan tetapi hanya membatasi sesuai dengan kebutuhan para santri, dan mempertimbangkan efek negatif yang akan ditimbulkan oleh teknologi tersebut.

 

Pesantren pada dasarnya adalah lembaga yang terbuka terhadap perubahan, tetapi dalam menerima perubahan itu pesantren melakukan seleksi dan penyaringan, agar perubahan itu tidak berpengaruh pada rusaknya tatanan nilai dan budaya yang sudah mengakar di pesantren. Al-muhafadhatu ala qadimis shalih walakhdzu biljadidil ashlah adalah prinsip utama yang selalu dipegang pesantren dalam mengembangkan kualitas pendidikannya.

 

Ustadz Mustaufikin adalah staf pengajar di Madrasah Aliyah Unggulan KH Abd Wahab Hasbulloh atau MAUWH, Tambakberas, Jombang.


Opini Terbaru