• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Pendidikan sebagai Penjaga Moderasi Beragama

Pendidikan sebagai Penjaga Moderasi Beragama
Pemeriksaan kesehatan di salah satu madrasah. (Fot: NUO Jatim)
Pemeriksaan kesehatan di salah satu madrasah. (Fot: NUO Jatim)

Toleransi di negeri ini kembali ternoda. Bom bunuh diri di depan gereja Katedral di Makasar, Ahad (28/03/2021) siang dan penangkapan terduga teroris di beberapa daerah telah memberikan suatu sinyal bahwa anasir kebencian yang berdimensikan pemahaman keagamaan yang salah masih bersemayam. Meski upaya negara mengembangkan moderasi beragama, sekaligus menciptakan suatu model kerukunan umat beragama terus dilakukan, tetap saja masih belum mampu menghapus anasir jahat tersebut.

 

Bahwa memang bom bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan agama, tapi diakui atau tidak di sebagian kalangan beragama masih saja suka memproduksi berbagai ajaran yang menunjukkan adanya kebencian. Hal tersebut ditunjukkan kepada kalangan beragama yang berbeda atau minimal ketidaksukaan terhadap adanya umat beragama lain dalam ruang yang bernama Indonesia.

 

Memang menelusuri jejak radikalisme beragama teramat kompleks. Bisa karena masalah paham yang salah atau bisa juga dari adanya penyikapan yang salah terhadap berbagai persoalan yang ada di negeri ini. Baik soal ekonomi, budaya maupun politik kebijakan. Namun demikian, melakukan kegiatan yang merusak dengan argumentasi agama jelas malah mereduksi kesakralan ajaran agama. Karenanya, ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah, tokoh agama dan khususnya guru agama di pendidikan formal. yakni untuk tetap menguatkan narasi moderasi beragama di tengah keragaman umat beragama di Indonesia.

 

Upaya lain juga mendesak dilakukan yakni perlu diselenggarakan upaya pembauran dari masing masing agama dalam rumah kebudayaan. Hal ini untuk saling berinteraksi satu sama lain, bekerja sama membangun sikap toleransi serta melakukan sosial budaya sehari-hari secara natural. Juga perlu dibuat desain natural mengembangkan sikap toleransi di tengah keragaman ini.

 

Salah satu upaya penting itu adalah melalui pendidikan. Tidak hanya soal pendidikan agama, melainkan keseluruhan sistem pendidikan harus menginisiasi munculnya nilai-nilai kewarganegaraan yang inklusif dan toleran. Pendidikan agama menjadi salah satu pintu dalam menciptakan pemahaman keagamaan yang moderat yang memproduksi kebenaran, bukan kebencian. Melalui pendidikan, maka upaya menciptakan warga negara yang memiliki nilai utama sebagai warga negara (civics virtue) akan berkorelasi dengan sikap inklusif berhadapan dengan perbedaan. Nilai kewargaan akan melahirkan suatu bentuk tanggung jawab sebagai warga negara bagaimana harus menempatkan diri dalam konteks pluralitas bangsa ini.

 

Guru agama dihadapkan dengan tugas berat yaitu selain mengajarkan agama secara benar dan utuh, juga dituntut mengajarkan bagaimana moderasi dalam beragama. Demikian pula berinteraksi dengan orang yang beragama lain, dan memahami bahwasanya perbedaan itu adalah suatu hal yang lumrah.

 

Tugas berat itu berbanding terbalik dengan honorarium yang diterima guru agama. Belum lagi adanya perbedaan perlakuan antara guru yang mengajar di lembaga yang dinaungi kementerian agama dengan guru yang mengajar di lembaga yang dinaungi kementerian pendidikan dan kebudayaan. Itu pun sudah menjadi problematika tersendiri yang harus dipikirkan bersama terutama para pemangku kebijakan. 

 

Karenanya, negara harus kembali meninjau ulang bagaimana sistem pendidikan agar kembali sesuai dengan apa yang pernah diungkapkan Ki Hadjar Dewantara, bahwa mendidik anak adalah mendidik warga. Artinya pendidikan memiliki tanggung jawab utama dalam rangka mengembangkan anak didik sebagai warga negara Indonesia yang sadar akan tanggung jawabnya di tengah persoalan kebangsaan.

 

Pendidikan tidak boleh melahirkan luaran pemikiran yang kontraproduktif dengan nilai kewarganegaraan. Ini adalah momentum penting untuk duduk bersama mengevaluasi kembali bagaimana sistem pendidikan selama ini. Utamanya yang berhubungan dengan tujuan melahirkan nilai kewarganegaraan.

 

Orientasi meningkatkan daya saing bangsa tetaplah dalam koridor meletakkan pendidikan di negeri ini sebagai upaya sungguh-sungguh menciptakan warga negara yang baik. Dan pendidikan agama adalah bagian penting untuk menciptakan kondisi demikian. Dengan demikian, pendidikan agama akhirnya akan dapat melahirkan umat yang shalih dalam beragama sekaligus loyal sebagai warga negara. Semoga

 

Mochammad Fuad Nadjib adalah Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Jawa Timur dan Sekretaris Pengurus Cabang (PC) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Sidoarjo.


Editor:

Opini Terbaru