• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Peran Kiai As’ad dalam Pertempuran 10 November 1945

Peran Kiai As’ad dalam Pertempuran 10 November 1945
Almaghfurlah KH As'ad Syamsul Arifin (berkacamata) dalam sebuah acara. (Foto: NOJ/Mm)
Almaghfurlah KH As'ad Syamsul Arifin (berkacamata) dalam sebuah acara. (Foto: NOJ/Mm)

Nun jauh di sana; di kota Surabaya, keadaan memanas. Ketegangan ini berawal saat pendaratan 6.000 tentara Inggris, yang dipimpin AWS Mallaby. Berita kedatangan tentara Inggris dan Gurkha pada tanggal 25 Oktober 1945 di Tanjung Perak ini, tentu mendapat reaksi keras dari para pejuang Indonesia.

 

Ketegangan ini mencapai puncaknya, ketika Mallaby tewas tertembak pada tanggal 30 Oktober 1945. Tewasnya panglima Inggris ini menggemparkan dunia. Beberapa surat kabar di Inggris, Amerika, dan Australia menempatkan pada halaman pertama, sebagai berita utama. Bahkan Jenderal Christison, panglima tentara Sekutu di kawasan Asia Tenggara mengancam dan menuntut rakyat Surabaya, agar pembunuh Mallaby diserahkan. Kalau tidak, Surabaya akan diserang.

 

Lalu pada tanggal 1 November 1945, Laksamana Muda Peterson bersama 1.500 anak buahnya mendarat secara diam-diam di Surabaya. Kemudian disusul dengan kedatangan 24.000 prajurit dengan persenjataan yang lengkap tank, panser, meriam, dan kapal terbang.

 

Pada pagi hari tanggal 10 November 1945, tentara Inggris mulai mengadakan penyerangan dan pengeboman. Kota Surabaya digempur dari laut, darat, dan udara. Maka pecahlah perang antara rakyat Surabaya dan tentara Sekutu. Korban berjatuhan. Kota Surabaya, bisa ditaklukkan setelah diadakan pertempuran sengit selama tiga pekan. Padahal dalam perkiraan panglima tentara Inggris, Surabaya akan bertekuk lutut hanya selama beberapa hari.

 

Mendengar pertempuran di Surabaya yang begitu dahsyat, lalu Kiai As’ad Syamsul Arifin mengirim anggota Pelopor dan Pasukan Sabilillah Situbondo ke daerah Tanjung Perak kemudian bertempur hebat di Jembatan Merah. Begitu pula, pengikut Kiai As’ad yang berasal dari Bondowoso, langsung menuju Tanjung Perak kemudian terlibat kontak senjata dengan Belanda di Jembatan Merah. Di sini, Kiai As’ad aktif memimpin. (Sayang sekali beberapa informan; baik anggota Pelopor maupun Sabilillah ini, tidak ingat persis mereka datang ke Surabaya. Kalau kita telaah dari tempat kedatangannya: Tanjung Perak dan Jembatan Merah—penulis menduga, paling tidak—mereka berada di Surabaya sebelum tanggal 30 Oktober 1945. Apalagi pada tanggal tersebut terjadi kontak hebat di Gedung Internatio, yang terletak di sebelah barat Jembatan Merah. Di depan gedung inilah Mallaby tewas tertembak oleh pemuda tak dikenal, sekitar pukul 20.30 WIB. (Latief, H. Laskar Hizbullah, halaman 58-59)

 

Dalam pertempuran Surabaya, Kiai As’ad bermarkas di rumah Kiai Yasin, Blauran IV/25. Rumah Kiai Yasin ini, memang menjadi markas para kiai yang mempunyai ilmu kanuragan tingkat tinggi. Misalnya, Kiai Gufron, Kiai Ridwan, Kiai Ali, Kiai Muhammad Sedayu, Kiai Maksum, Kiai Mahrus Ali Kediri, dan beberapa kiai lain.

 

 

Para kiai inilah yang memompa semangat para anggota Hizbullah Sabilillah dan para pejuang lain. Para pejuang juga dibekali dengan doa, ijazah, dan suwuk. Para kiai juga turut membentengi beberapa tempat vital dari serangan Inggris. Misalnya gedung RRI, ketika dijatuhi bom dari udara, tidak apa-apa berkat kesaktian para kiai. (Harian Kedaulatan Rakyat, 14 November 1945. Peranan Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan)

 

Kadim Prawirodirjo dalam bukunya, Dari Panggung Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia menggambarkan pertempuran bulan November tersebut demikian:

 

Pos Inggris di Gedung BPM Wonokromo, menjadi sasaran laskar Minyak, Batalyon TKR Sidoarjo, yang kemudian dibantu oleh pasukan-pasukan dari Malang, Pasukan Magenda dari Bondowoso dan dari Pasuruan… Bantuan juga berdatangan dari para Kyai dari Banten serta Alim Ulama dari Asembagus. Mayor Jenderal Imam Sujai memimpin devisi TKR Malang, dan datang bersama ribuan pasukan Ulama, yang ternyata datang tanpa membawa senjata apa pun bahkan tampaknya tanpa sebilah pisau pun.

Gempuran meriam-meriam dari kapal perang Inggris serta serangan dari pesawat terbang mereka, tidak menyurutkan ataupun menggentarkan para pemuda Indonesia dalam serbuan terhadap pos pertahanan Inggris di dalam kota Surabaya.

Corak bertempur Arek Suroboyo digambarkan oleh Kolonel Doulton:

….orang Indonesia di Surabaya tidak menghiraukan kematiannya. Jika seorang leki-laki jatuh tertembak, 100 orang lainnya datang maju…maju terus menyerang…senjata berbicara tiada putus-putusnya. Kematian telah bertumpuk-tumpuk di bawah dan di atasnya barikade berbentuk kuda-kuda.

Tetapi  orang Indonesia bertambah banyak berdatangan, melangkahi para pemuda yang tewas bergelimpangan di depannya…”

 

Setelah kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris, Kiai As’ad lalu menyingkir ke Gedangan Sidoarjo. Ia meminta bantuan beberapa anggota Pelopor dan Pasukan Sabilillah yang lain. Mereka berangkat ke Gedangan Sidoarjo. Dari Situbondo, naik kereta api di stasiun Sumberkolak Situbondo dan turun di Sidoarjo.

 

Bebarapa informan tidak bisa memastikan berapa jumlah keseluruhan pasukan ini. Yang jelas, hampir seluruh kereta api penuh pejuang. Menurut Majalah Tebuireng (Rajab 1406 H), Kiai As’ad membawa  prajuritnya sebanyak 100 orang dari Situbondo yang disusul 90 orang dari Bondowoso ke Gedangan.

 

 

Begitu pula di daerah Gedangan, mereka menumpang ke rumah beberapa penduduk, tidak ada markas khusus. Di sana mereka mengaku berkumpul dengan seluruh lasykar lainnya. Sehingga sulit membedakan dan memperkirakan berapa jumlah pasukan pengikut Kiai As’ad. Di daerah ini, Kiai As’ad tampak aktif memimpin pasukan.

 

Lain lagi ceritanya, pasukan Hizbullah Situbondo, yang dikirim ke Gedangan Sidoarjo. Pasukan Hizbullah ini, tampak lebih teratur. Sebab mereka dikirim secara bergantian, sistem 'oplosan'; sebanyak satu kompi, di sana mereka bertugas selama setengah bulan. Di Gedangan pun mereka menempati sebuah markas. Begitu pula pasukan BKR yang lain.

 

Di kedua front pertempuran—Gedangan dan Jembatan Merah—tersebut menurut beberapa informan, Kiai As’ad sendiri yang memimpin. Bahkan mereka mengaku dikirim ke daerah itu, atas perintah Kiai As’ad. Pelopor Bondowoso, misalnya, walaupun berangkatnya tidak bersamaan, namun Kiai As’ad sendiri yang memberi petunjuk melalui surat, agar turun di daerah yang ditentukan lalu di sana mereka bertemu. 

 

Adalah dosen di Fakultas Dakwah Universitas Ibrahimy, Situbondo. 


Editor:

Opini Terbaru