• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Peran Pesantren dalam Peneguhan Kepemimpinan Nasional

Peran Pesantren dalam Peneguhan Kepemimpinan Nasional
Santri menjadi andalan bagi ketersediaan pemimpin negeri ini di masa mendatang. (Foto: NOJ/Kd)
Santri menjadi andalan bagi ketersediaan pemimpin negeri ini di masa mendatang. (Foto: NOJ/Kd)

Oleh: Abd A’la

Kepemimpinan di Indonesia saat ini menghadapi persoalan yang cukup kritis. Kepemimpinan para elit yang ditampakkan ke publik demikian menyesakkan dada. Di saat Indonesia menghadapi persoalan global, termasuk pandemi Covid-19 dan dampaknya, sebagian para elit dan pemimpin nyaris abai untuk memikirkan secara intens dan tuntas menyikapi tantangan itu. Kala saat ini perekonomian Indonesia mengalami pelemahan dengan segala dampak yang dibawanya, seperti meningkatnya jumlah penduduk yang miskin, beberapa elit puncak Indonesia justru terkesan sibuk berebut untuk mengutil kekayaan alam negeri ini. Jangan-jangan ada di antara mereka yang berkomplot untuk menjadikan kekayaan Indonesia sebagai bancakan, untuk dibagi bersama antar sesama mereka, atau antara mereka dan perusahaan asing.

 

Para pemimpin semacam itu senyatanya tidak layak disebut pemimpin. Komitmen dan tanggung jawab mereka patut untuk dipertanyakan. Mereka sama sekali tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Alih-alih, mereka senyatanya lebih menampakkan diri sebagai penjahat yang mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara.

 

Ironisnya negeri ini sudah hampir tersandera dengan para oknum serupa itu. Mereka, oknum yang tidak bermoral ini menyebar di pusat dan di daerah, sebagaimana pula ada di lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Demikian pula jabatan yang mereka pegang mencakup mulai dari level paling bawah hingga jabatan puncak dan strategis. Latar belakang kehidupan mereka juga sangat beragam. Ada dari akademisi, politikus, tokoh agama, dan birokrat. Suku dan etnis mereka pun sangat beragam.

 

Membaca Sumber Masalah

Terlepas dari akar masalah yang kompleks, krisis kepemimpinan yang saat ini terjadi tampaknya berpulang, salah satunya yang utama kepada memudarnya etik-moralitas. Sebagian masyarakat termasuk elit dan pemimpin (sebagian atau pada umumnya?) tampaknya menjadikan etik-moralitas tak lebih dari sekadar polesan tipis dari pandangan, sikap dan perilaku mereka. Nilai-nilai luhur ini tidak pernah mengalami internalisasi sehingga menjadi bagian intrinsik dalam diri mereka. Mereka demikian mudah goyah ketika berhadapan dengan perubahan kehidupan yang menantang. Sebagian menyikapinya sebagai ancaman yang kemudian lari kepada radikalisme. Yang lain terbawa arus dalam dampak-dampak negatif perubahan sehingga terjebak pada pragmatisme akut dan buda permissif. Pada tataran ini etika-moralitas bahkan bukan hanya memudar, tapi luntur dan menghilang.

 

Kondisi ini menjadikan potensi nilai-nilai kemanusiaan universal atau nilai-nilai perennial luhur yang dianugerahkan Tuhan kepada semua manusia tidak dapat berkembang atau bahkan bisa menghilang. Pandangan yang kemudian berkembang adalah konsep kedirian yang sempit, yang menjadikan kepentingan diri dan orang atau kelompok yang mendukung kepentingannya sebagai pusat kehidupan. Semuanya harus mengacu kepada kepentingan sempit itu. Demi pencapaian hal itu, segala cara dilakukan. Demi itu pula, orang, kelompok, atau apa pun saja yang menghalangi atau berseberangan dengan kepentingannya disingkirkan melalui dari cara yang sangat halus sampai yang sangat vulgar.

 

Sampai batas tertentu, kondisi semacam itu yang menimpa sebagian elit pemimpin dan masyarakat negeri ini. Keluhuran jiwa kepemimpinan menjadi sulit untuk tumbuh pada diri mereka. Sebaliknya, narsisme akut yang meletakkan diri sebagai ukuran segala-galanya bersemai subur di kalangan elit dan sebagian masyarakat.

 

Fenomena patalogis ini membuat proses demokratisasi yang berjalan di negeri tercinta kurang bermakna bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Demokrasi yang seharusnya menjadi modal bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik dalam berbagai aspeknya justru –sampai batas tertentu –tetap melahirkan pemimpin yang sama sekali jauh dari jiwa kepemimpinan yang sejati.

 

Menoleh Pesantren

Realitas menyedihkan itu tentu tidak bisa dibiarkan berlanjut. Bagaimana pun juga kepemimpinan memiliki posisi sangat strategis dalam menentukan masa depan bangsa dan negara. Kepemimpinan ke depan niscaya dipegang oleh orang yang dari sisi mana pun memang layak untuk mengemban amanah itu. Negara ini, bangsa ini, dan masyarakat memerlukan para pemimpin yang berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat, maju dan demokratis. Pemimpin yang diperlukan adalah figur yang dapat mengantarkan masyarakat dan bangsa ke dalam kehidupan yang penuh dengan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian.   

 

Berdasar pada realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang hingga saat ini lekat dan sangat menghargai nilai-nilai dan tradisi budaya bangsa, sebagaimana pula menganggap penting agama, maka keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tradisional dan keagamaan cukup signifikan untuk dilibatkan menyelesaikan krisis kepemimpinan. Pesantren, misalnya, yang pada masa-masa lalu terbukti mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan mumpuni niscaya dijadikan simpul-simpul penting untuk menjadi rahim-rahim subur yang menelorkan jiwa kepemimpinan yang luhur itu. Dari rahim pesantren ini lahir pemimpin yang ketokohannya sama sekali tidak diragukan. Ada KH M Hasyim Asyari, KH Bisri Syamsuri, KH A Wahab Chasbullah, KH A Wahid Hasyim, KH Bisri Mustofa, KH Sahal Mahfudz, KH Ali Yafi, Gus Dur, Gus Mus, KH Idham Chalid, Cak Nur, dan masih banyak lainnya. Mereka adalah pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan organik, merakyat, dan memiliki sikap kenegarawanan yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

 

Modal sosial yang dimiliki pesantren, yang membumi kuat pada masa lalu memang memungkinkan untuk melahirkan para tokoh dengan kepemimpinan semacam itu. Nilai-nilai tawakkal, kesabaran, keikhlasan, kesederhanaan, kerendah-hatian, kemandirian, dan sejenisnya merupakan anutan kyai yang lalu berkembang sebagai nilai-nilai pesantren. Nilai-nilai ini diperkuat dengan khazanah intelektualitas Islam sepanjang sejarah dilaluinya yang dibingkai dengan paradigma fikih-sufistik. Keilmuan pesantren ini sangat mengedepankan praksis yang berkeadaban. Nilai dan keilmuan yang dianut pesantren lalu berkembang sebagai tradisi dan budaya pesantren. Budaya pesantren ini menjadi dasar kokoh bagi setiap pandangan, sikap dan perilaku warga pesantren saat itu.

 

Budaya itu mengantarkan warga pesantren sebagai pribadi yang sangat mengedepankan kerja konkret dan keluhuran budi nyaris dalam berbagai aspeknya. Melalui budaya dan tradisi ini, para  kyai, santri, dan alumni pada umumnya berkembang menjadi pribadi-pribadi dengan pandangan, sikap dan perilaku yang sangat mengedepankan kepentingan negara, bangsa dan masyarakat. Pada tataran ini, pesantren mampu melahirkan pandangan-pandangan yang sangat mencerahkan, semisal Resolusi Jihad tahun 1948, dan NKRI dengan dasar Panacasila sebagai bentuk final negara Indonesia. Pada saat yang sama, mereka nyaris tidak pernah menuntut apa-apa terkait dengan kepentingan diri mereka dan sejenisnya.

 

Memperteguh dan Kontekstualisasi Tradisi Pesantren

Untuk pencapaian peran pesantren dalam melahirkan jiwa kepemimpinan yang sedang dirindukan Indonesia, budaya dan tradisi luhur pesantren niscaya diperteguh dan terus dikembangkan. Hal ini perlu dilakukan karena modernisme dan globalisme dengan segala turunannya tidak selamanya memberikan keberuntungan dan dan kemaslahatan bagi Indonesia, termasuk dunia pesantren. Fenomena yang berkembang memperlihatkan, globalisasi dan hal-hal yang terkait dengan hal itu mulai menggerus –sekecil dan sesamar apa pun –tradisi luhur itu. Menyikapi hal itu, pesantren perlu dikembalikan kepada wataknya yang asli, sebagai lembaga pendidikan tradisional yang mandiri dan sebagai sumber keadaban. Untuk itu, Pemerintah jangan terlalu dalam dan masuk mengatur pesantren dengan regulasi-regulasi dan formalisasi yang justru akan menjadikan lembaga pendidikan keagamaan ini tercerabut dari nilai-nilai yang selama ini terbukti mampu mencerahkan kehidupan bangsa dan masyarakat.  

 

Sejalan dengan itu, budaya dan tradisi luhur itu juga perlu dikontekstualisasikan, dan dikembangkan dari sisi pemaknaan dan implementasinya. Misalnya, keikhlasan yang  inti maknanya berbuat sebaik mungkin tanpa pamrih perlu diperteguh dan diperluas menjadi orientasi pencapaian prestasi dalam menjalani kehidupan dalam berbagai aspeknya, terutama dalam pengembangan politik kenegaraan, kebangsaan, dan kerakyatan. Pola demikian yang perlu dilakukan terhadap nilai dan tradisi pesantren yang lain.

 

Pada saat yang sama, pesantren tentu jangan terbelenggu dengan romantisme masa lalu. Pesantren dituntut untuk memperluas horizon keilmuannya, tanpa harus kehilangan identitas dan jati dirinya yang substantif. Kitab-kitab turats (klasik/kuning) perlu dipahami melalui pendekatan yang beragam. Misalnya maqasidus syari’ah yang alfa-omeganya adalah kemaslahatan perlu dijadikan salah satu pendekatan bersama pendekatan-pendakatan yang lain.    

 

Lembaga tradisional lain di Indonesia, yang terbukti memberikan sumbangan signifikan dalam menyemai-suburkan jiwa kepemimpinan yang sarat dengan nilai-nilai kenegarawanan, nilai kebangsaan dan sejenisnya tentu perlu didorong untuk melakukan hal yang serupa. Lembaga tradisional agama, lembaga adat, dan lainnya perlu berada dalam satu barisan untuk menumbuhkan dan memperkokoh jiwa kepemimpinan sebagaimana di atas.

 

Yang tidak kalah pentingnya, kita perlu berkomitmen bahwa keberadaan lembaga-lembaga itu adalah seutuhnya sebagai lembaga pendidikan, bukan sekadar pengajaran. Semua institusi ini harus mengedepankan komitmen untuk pengembangan sikap dan perilaku yang senyatanya diarahkan kepada kepentingan bersama, dan NKRI dengan segala kemajemukannya, serta dunia global secara umum.

 

Penulis adalah Pengassuh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep. 


Editor:

Opini Terbaru