• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

RA Kartini, antara Dogma dan Doktrin Agama

RA Kartini, antara Dogma dan Doktrin Agama
Raden Ajeng Kartini Djojo Adiningrat atau RA Kartini. (Foto: NOJ/Mgd)
Raden Ajeng Kartini Djojo Adiningrat atau RA Kartini. (Foto: NOJ/Mgd)

Oleh: Aisyah Ajhury

 

Raden Ajeng Kartini Djojo Adiningrat nama lengkapnya. Pesonanya tak lekang oleh zaman, semangatnya terus menggelora di antara umat manusia. Hidup dalam budaya patriarki era penjajah Belanda tidak membuatnya pasrah menerima dogma tentang perempuan yang tidak pantas berada di ranah publik.

 

Di balik kisah perjuangannya atas nasib perempuan, ternyata tokoh fenomenal ini juga menaruh perhatiannya terhadap ajaran agama. Terbukti dengan tercatatnya sebagai salah satu murid Kiai Sholeh Darat Semarang yang notabene merupakan guru dari KH M Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. 

 

 

Habis Gelap Terbitlah Terang
Kepada KH Sholeh Darat, Kartini meminta agar al-Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini dengan menerjemahkan al-Qur’an dan ditulis dalam huruf “Arab gundul” (pegon) sehingga tidak dicurigai penjajah.

 

Kitab tafsir dan terjemahan al-Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada RA Kartini pada saat dia menikah dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang.  

 

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.” Dan inilah dasar dari buku 'Habis Gelap Terbitlah Terang.'

 

Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu: “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya.” (QS al-Baqarah: 257).

 

Dalam suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “'dari gelap menuju cahaya' yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: Door Duisternis Toot Licht. Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi 'Habis Gelap Terbitlah Terang,' yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya. 

 

Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kiai Sholeh Darat keburu wafat.

 

Kiai Sholeh membawa Kartini menuju perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

 

 

Emansipasi Perempuan dalam Perspektif Islam
Hari Kartini memiliki arti yang luas bagi bangsa Indonesia Putri asal Kabupaten Jepara Jawa Tengah ini dikenal sebagai peletak dasar emansipasi wanita di Nusantara. Dalam Islam wanita mempunyai peran yang tak kalah penting dengan laki laki, hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw melalui sabdanya: "Perempuan adalah tiang negara, apabila perempuan baik, maka negara itu pun akan baik dan apabila perempuannya rusak maka negarapun akan rusak."

 

Belum ada dalam sejarah perkembangan agama-agama di dunia yang mengalahkan ajaran Islam dalam menghargai seorang perempuan. Dalam al-Qur’an terdapat surat khusus dengan nama An-Nisaa' artinya adalah para perempuan, surat Mujaadilah artinya perempuan yang mengajukan gugatan, seorang perempuan yang diperlakukan suaminya tidak adil kemudian mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, dan dijawab langsung oleh Allah dalam surat ke 58 yaitu surat Mujaadilah. 

 

Memang Islam membedakan status maupun peran antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan Islam berangkat dari keadilan atau proporsional dalam mendudukan laki-laki maupun perempuan. Karena tidak mungkin dan tidak logis serta tidak manusiawi apabila laki-laki dan perempuan status maupun perannya disamakan. Hal ini disebabkan secara kodrati baik seorang pria maupun perempuan memiliki perbedaan yang sangat esensial. 

 

Dari sisi fisik maupun kejiwaan, secara umum seorang pria memiliki tubuh yang kuat, otot-otot yang jauh lebih perkasa dibandingkan dengan perempuan. Dari sisi kejiwaan seorang pria memiliki jiwa yang lebih terbuka, dan tegar dari pada seorang perempuan. Seorang perempuan sebaliknya dari sisi jasmani lebih halus dan lemah, lebih tertutup dan sensitif atau perasaannya halus. 

 

Di sini lain, Islam secara adil meletakkan tanggung jawab dalam berkeluarga. Pria diberi tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)."

 

Ayat di atas secara jelas pembedaan laki-laki dan perempuan semata-mata disebabkan jenis kelamin tetapi lebih ditekankan pada tanggung jawab. Seorang laki-laki yang memiliki 'kekuatan' lebih dari seorang perempuan, maka dia harus mampu memberikan perlindungan, pengayoman dan memberikan nafkah. Di sisi lain, seorang perempuan yang memiliki kelebihan dalam sisi kejiwaan misalnya kesabaran, keuletan dan kesetiaan serta kemampuan mendidik putra-putrinya. Maka hal tersebut harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan, agar ridla dan rahmat Allah SWT senantiasa dicurahkan kepadanya. 

 

Islam mengajarkan kelebihan dan kelemahan seorang laki-laki dan perempuan tidak dipergunakan untuk saling menganiaya, tetapi adalah untuk saling mewujudkan keharmonisan dan kesempurnaan demi menggapai ridla Allah SWT. Seorang perempuan dihargai dan dimuliakan dalam ajaran Islam apabila mampu menjaga fitrahnya sebagai permpuan yang beriman. Yaitu perempuan yang mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara sempurna, 

 

Sebagai ibu, perempuan  menjadi pendidik di institut keluarga. Dia harus mampu mendidik anak-anaknya dengan baik agar menjadi manusia yang mulia di sisi Allah seperti Sayyidah Hajar ibunda Nabi Ismail yang kisahnya abadi dalam al-Qur’an (Al Baqarah: 158) berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa karena doa dan kegigihannya dalam mencari sumber agar kehidupan bagi anaknya hingga Allah mengadiahkannya air zam-zam untuk melepaskan dahaga sang buah hati beserta ibunya. Demikian pula kisah Sayyidah Maryam dengan kesabaran dan kesuciannya hingga melahirkan Nabi Isa AS yang namanya abadi dalam al-Qur’an (Surat Maryam).

Pepatah Arab mengatakan:  “Ibu adalah sekolah utama. Bila engkau mempersiapkanya, maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik, the power of mother mampu mencetak generasi yang hebat dan memiliki kontribusi besar dalam kemajuan bangsa. Karena ibu adalah sekolah yang utama bagi anak-anaknya.”
 

Perempuan sebagai istri menjadi partner dan motivator bagi suami. Sekuat apa pun seorang pria, pasti ada titik kelemahannya membutuhkan seorang perempuan menjadi istri untuk mendampingi dan sebagai penghibur lara dan motivator dalam hidupnya.

 

Perempuan sebagai makhluk sosial. Bahwa semangat hari Kartini hendaknya mampu menghapus dogma bahwa perempuan hanya layak berada di dapur, kasur dan sumur. Kartini harus mampu menjadi spirit bagi perempuan Indonesia agar mampu berkiprah dan menebar manfaat di ranah publik, tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan.
 

Penulis adalah kandidat doktor UIN Sunan Ampel Surabaya dan Koordinator Pemberdayaan Perempuan Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur masa khidmah 2012-2017, serta dosen IAIN Jember.
 


Editor:

Opini Terbaru