• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Metropolis

RMI PBNU: 35 Pesantren Terpapar Covid-19

RMI PBNU: 35 Pesantren Terpapar Covid-19
Pemprov Jatim secara bertahap terus menyalurkan bantuan APD anticovid-19 kepada pondok pesantren se-Jatim. (Foto: jatimprov.go.id)
Pemprov Jatim secara bertahap terus menyalurkan bantuan APD anticovid-19 kepada pondok pesantren se-Jatim. (Foto: jatimprov.go.id)

Surabaya, NU Online Jatim
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulin Nuha, mengungkapkan setidaknya hingga akhir bulan September ini sudah ada 35 pesantren yang terpapar Covid-19. Ke-35 pesantren itu terdiri dari pesantren yang memiliki puluhan, ratusan hingga ribuan santri. 

 

“Dalam catatan kami (RMI) setidaknya sudah 35 pesantren terpapar Covid 19,” kata Ulin Nuha sebagaimana dilansir dari Alif.id, Selasa (22/9).

 

Ulin tidak menyebut secara rinci pesantren mana saja yang sudah terpapar. Ia hanya menyatakan hampir semua pesantren berusaha menutup-nutupi informasi masuknya Covid 19. Pihak pesantren, lanjutnya, memiliki pengalaman traumatik menjadi korban informasi perundungan.

 

“Di beberapa kasus misalnya Wonogiri, pesantren memang babak belur dihajar informasi yang sesat atau sengaja disesatkan. Soal jumlah santri yang terpapar adalah salah satunya. Sempat santer diberitakan jumlah santri yang terpapar lebih banyak dari jumlah santri yang sebenarnya,” kata Ulin menyesalkan.

 

Pengasuh Pesantren Afkaaruna, Cilacap ini menyayangkan jika ada kluster di pesantren, pemberitaan media dan komentar pengguna media sosial cenderung menyalahkan pesantren seperti tidak mengikuti protokol, nekat buka kelas di masa pandemi, pesantren pembawa virus dan yang semacamnya. “Pesantren tentu tidak nyaman distigmatisasi semacam itu,” ujar dia.

 

Selain pemberitaan media yang cenderung menyudutkan, alasan lain mengapa pesantren lebih menutup diri disebabkan karena ingin menjaga kekhawatiran orang tua santri.

 

“Pesantren yang terpapar akan membuat wali santri dan banyak pihak cemas. Pesantren tidak berharap menjadi sumber kecemasan apalagi bagi wali santri,” kata Ulin.

 

Selain itu, kata Ulin, banyak kiai meyakini bahwa ngaji itu harus tatap muka. Ngaji bukan hanya persoalan transfer of knowledge tapi juga source of barokah dan laboratorium akhlakul karimah.

 

“Karena itu ngaji tidak mungkin dilakukan secara daring. Dalam konteks inilah pesantren khawatir, apabila diberitakan ada kluster Covid-19 santri akan ditarik pulang oleh wali atau skenario terburuk pesantren bisa ditutup,” katanya.

 

Stereotipe negatif terhadap Covid-19 sebagai aib juga membawa dampak mengapa para pengasuh pesantren cenderung tertutup.

 

“Stigma Covid-19 adalah aib, pembawa virus menular, penyebab masalah masyarakat dan cap buruk lainnya,” sambung dia.

 

Selain karena stigma Covid-19 sebagai penyakit menular dan cap buruk lainnya, masih ada beberapa kiai yang hingga kini tidak percaya dengan adanya pandemi ini.


“Kiai dari pesantren tersebut terlanjur dikenal ‘tidak beriman pada Covid 19’ dengan mengatakan tidak perlu takut pada Covid 19, itu konspirasi kafir, dan sebagainya,” kata Ulin.

 

Ulin berharap masyarakat pesantren terus menerapkan protokol kesehatan secara disiplin guna mencegah munculnya klaster baru di lingkungan pendidikan ini. 


Metropolis Terbaru