• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Matraman

Santri Tunanetra, Penghafal Al-Qur’an di Pesantren Gado-gado Nganjuk

Santri Tunanetra, Penghafal Al-Qur’an di Pesantren Gado-gado Nganjuk
Gus Ridhoi saat membimbing Misiran. (Foto: NOJ/ Fandi)
Gus Ridhoi saat membimbing Misiran. (Foto: NOJ/ Fandi)

Nganjuk, NU Online Jatim

Namanya Misiran (47). Ia salah satu santri tunanetra asal Gambirejo, Kelurahan Warujayeng, KecamatanTanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Di Pondok Pesantren (PP) Nurul Islah Ngronggot, Kabupaten Nganjuk atau dikenal pesantren Gado-gado ini, ia belajar Agama dan menghafal Al-Qur’an.

 

Awalnya, Misiran belajar langsung kepada Kiai Manan selama 15 tahun. Kini, penanggungjawab Pondok Pesantren Nurul Islah sudah beralih ke Moh Ridhoi (Gus Ridhoi).

 

Saat ditemui, Misiran mengatakan, ia mengalami gangguan penglihatan sudah sejak kecil. Ia datang dibawa ke pesantren oleh tetangganya sejak tahun 2006.

 

Di pesantren ini, ia belajar ilmu Agama dan menghafal Al-Qur’an. Hingga saat ini, hafalannya sudah sampai 14 juz.

 

Menurut Misiran, keinginan menghafalnya merupakan niat dari dirinya sendiri. Ia dibimbing langsung oleh Kiai Manan.

 

Baginya, kemampuan hafalan Al-Qur’an merupakan bekal yang dimiliki untuk di kehidupan setelah dunia.

 

Untuk menghafalnya, lanjut Misiran, dirinya mendengar ayat hingga surat-surat Al-Qur’an yang dibacakan. Selain itu, juga mendengar rekaman suara bacaan Al-Qur'an serta membaca Al-Qur’an Braille untuk diingat dan dihafalkan.

 

Kemudian hafalan itu disetorkan ke Kiai Manan setelah Subuh dan Ashar. Sebagai pembimbing, saat itu Kiai Manan mengoreksi bacaanya setiap hari.

 

Misiran menceritakan, Al-Qur’an yang digunakan ini merupakan pemberian dari almarhum Syeikh Ali Jabeer saat berkunjung ke Surabaya sekitar tahun 2014.

 

Sudah sekitar 15 tahun ini, Misiran tinggal di Pondok Pesantren tersebut. “Saya mulai hafalan mulai tahun 2006 sampai tahun 2021,” kata Misiran, Jum’at (23/04/2021)

 

Ia mengatakan, sebelum hafalan, pernah belajar pijat ke daerah Malang selama 3 tahun. Namun, dari sana tidak mendapatkan hasil. Hingga saat ini, dia merasa senang bisa belajar di Pondok Pesantren.

 

Kegiatan pada bulan Ramadlan ini, ia mengaji pada waktu setelah Shubuh, Dhuhur, Ashar dan Tarawih. Kini, ia sudah bisa menebak jenis ayat dari surat yang dibacakan.  “Kalau hafal Al-Qur’an itu harus mengerti surat-suratnya. Kalau tidak mengerti ya tidak bisa. Kalau tidak tahu, sama saja tidak hafal,” ungkapnya.

 

Kendala Misiran

Selain tunanetra, menurut Gus Ridhoi, kendala lainnya yaitu pendengaran Misiran yang kurang baik saat ini. Padahal, proses menghafalnya lebih cepat mendengar suara dari pada membaca Al-Qur’an Braille.

 

“Kalaupun mengajari harus teriak-teriak. Tapi, seiring berjalanya waktu ini dia tetep istiqomah, setiap hari setoran apa yang dihafal,” kata Gus Ridhoi saat ditemui NU Online Jatim.

 

Sebagai pembimbing, lanjutnya, setiap tahun Misiran didorong untuk segera mengkhatamkan. Namun, Misiran berkeinginan untuk santai dalam menghafal.

 

Kemudian, suara yang didengar dari rekaman tersebut tidak bisa diputar per ayat. Melainkan, persurat. Sehingga, Misiran harus mengulang dari awal setiap kali ada kesalahan.

 

Sebenarnya, Misiran berkeinginan untuk menghafal dengan putaran per ayat. Hal ini, supaya lebih cepat dalam menghafalnya. “Kasihan kalau sudah ayat 80, 100 kalau mau melanjut harus mengulang dari awal,” ungkapnya.

 

“Yang bisa mengulang setiap ayat itu hanya ada di Handphone android. Kalau kaset manual tidak ada,” imbuhnya.

 

Gus Ridhoi berharap, tahun ini Misiran bisa menghafal tuntas 30 juz dan semakin lancar bacaannya.

 

Mengenal Pondok Gado-gado

Pondok pesantren ini dirintis oleh Kiai Sumanan Hidayat (almarhum). Ia mendapat nasehat gurunya, Kiai Toha dari Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kota Kediri. Setelah sepeninggal Kiai Manan, perjuangan pondok ini dilanjutkan oleh keluarganya.

 

Gus Ridhoi mengatakan, saat merintis, Kiai Manan mendapat ijazah dan nasehat mendirikan pondok. “Santrinya, dengan latarbelakang apapun. Jadi, itu bentuk tirakat dari abah,” ujarnya.

 

Adapun semua orang yang meminta tolong, sebisa mungkin dibantu. Hal terpentingnya, orang tersebut mau belajar, mengabdi dan bermanfaat di lingkungan pondok.

 

Pantauan NU Online Jatim, santri di pesantren ini juga ada yang Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Kamar (ODGJ) dipisahkan dari santri yang sehat.

 

Menurut Ridhoi, para santri yang sehat dan tidak sehat ini bisa diatur. Meskipun awalnya canggung, akhirnya bisa saling mengenal. “Paling utama itu gojlok-gojlokkan (candaan) saat memasak di dapur, dari situ terbentuk keakraban,” ungapnya.

 

Pesantren ini berada di Jalan Masjid Besar Kauman/Depan KUA Ngronggot. Karena latar belakang santrinya bermacam-macam, Pesantren ini dikenal sebagai pondok gado-gado.

 

Santrinya, ada yang sehat fisik dan jiwa, ODGJ, autis, lansia, bekas preman, bekas pecandu narkoba, tunanetra, tunadaksa dan tunawisma.

 

Ada juga pelajar di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas.

 

Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah. Mulai dari pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Yakni meliputi Kabupaten/Kota Nganjuk, Bojonegoro, Sidoarjo, Mojokerto Jombang dan Kediri. Kemudian Yogjakarta, Brebes, Cilacap, Kebumen, Bali dan Lampung.

 

Para santri makan dan minum seadanya. Dengan nasi, sayur dan tidak pakai lauk pauk. “Tahu tempe itu juga tiap seminggu paling dua hari sekali,” ungkapnya.

 

Bahkan, ada juga santri dari korban tanah longsor di Dusun Selopuro, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk.

 

Kini, total santrinya ada 43 orang, sekitar 13 orang di antaranya dalam keadaan sakit. Sementara itu, jumlah santri ODGJ ada 8 orang. Santri tunanetranya ada 3 orang.


Penulis: Kang Fandi
Editor: Romza


Editor:

Matraman Terbaru