• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 18 April 2024

Opini

Seberapa Pantas Gelar Pahlawan untuk Syaikhona Kholil?

Seberapa Pantas Gelar Pahlawan untuk Syaikhona Kholil?
Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj saat ziarah ke makam Syaikhona Kholil di Bangkalan. (Foto: NOJ/DIm)
Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj saat ziarah ke makam Syaikhona Kholil di Bangkalan. (Foto: NOJ/DIm)

Ada kwartet ulama yang lahir dalam kurun 10 tahun di awal abad XIX dan memberi corak berbeda bagi perkembangan dunia Islam Nusantara. Syekh Nawawi al-Bantani (1230 H/1813 M ), Syekh Sholeh Darat Assamarani (lahir 1233 H/ 1817 M), Syekh Kholil al-Bangkalani (1239/1820), dan Sayyid Utsman bin Yahya, mufti Batavia (lahir 1328 H/1822).

 

Trio ulama pertama memiliki murid yang rata-rata kelahiran 1860 hingga 1875, seperti Syekh Raden Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri, Syekh Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad Dahlan, Syekh Mahfudz Attarmusi, dan sebagainya. Sedangkan kalangan sadat ‘alawiyyin memiliki sanad keilmuan yang bersambung dengan Sayyid Utsman bin Yahya, mufti Batavia.

 

Masing-masing nama di atas memiliki karya yang bisa kita pelajari hingga hari ini. Mereka rahimahullah juga banyak membina para santri yang di kemudian hari menjadi ulama, serta pejuang kemerdekaan. Hanya saja, di dalam makalah ini, penulis fokus pada bahasan karakteristik pribadi Syaikhona Kholil Bangkalan, sosok yang selama ini lebih kondang cerita keramatnya. Padahal, sebagai seorang waliyullah, Syaikhona memiliki metodologi kaderisasi para santri yang khas, karya yang berjibun, dan teknik penempaan nasionalisme relijius. Itu semua dilakukan terhadap para santrinya, yang membentang bukan saja di Jawa dan Madura, melainkan juga di Tatar Sunda dan Bali.

 

Lantas, seberapa penting memberi gelar pahlawan nasional ini kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Pantaskah? Layakkah? Setidaknya beberapa poin di bawah ini bisa menjawab pertanyaan di atas sekaligus dijadikan pertimbangan berbobot atas anugerah ini.

 

Pertama, posisi Syaikhona Kholil Bangkalan dalam konfigurasi intelektual di Nusantara dan Haramain. Ketika belajar di Makkah, berguru kepada  Syekh Utsman ad-Dimyati al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani, Syekh Mustafa Muhammad ‘Afifi, Syekh Abdul Ghani al-Bimawi al-Makki, Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi, Syekh Nawawi al-Bantani, dan sebagainya.

 

A Ginanjar Sya’ban, yang intens menelusuri jaringan murid Syaikhona Kholil di Tatar Sunda, menjelaskan apabila guru yang mempengaruhi keilmuannya adalah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (w. 1885). Syaikhona Kholil mengaji dalam beberapa tahun. Dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan pula Syaikhona Kholil belajar bahasa Arab, nahwu, ilmu qiraat, tafsir, hadits, ushul fikih dan fikih madzhab Syafi’i. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga memberikan Syaikhona Kholil kredensi (ijazah) umum atas jalur transmisi keilmuan (riwayah), juga memberikannya izin untuk mengajar. Demikian tulis filolog muda, A Ginanjar Sya’ban dalam salah satu artikelnya yang mengurai jejaring murid Syaikhona Kholil di Tatar Sunda.

 

Bisa dibilang, Syaikhona Kholil menjadi mata rantai terpenting sanad ulama Nusantara, karena di Makkah berguru kepada ulama lintas geografis, lantas setelah pulang mendarmabaktikan ilmunya kepada masyarakat. Tak hanya itu, terdapat dua kepercayaan di kalangan santri pada akhir abad XVIII, bahwa sebelum berangkat ke Haramain untuk menuntut ilmu, mereka terlebih dulu harus ditempa di dua atau salah satu tempat: di Bangkalan, untuk dididik Syaikhona Kholil, dan di Semarang, agar dikokohkan keilmuannya oleh Syekh Sholeh Darat As-Samarani. Dua nama ini menjadi silsilah keilmuan terpenting di pengujung abad XIX dan di awal abad XX.

 

Bahkan, demikian pentingnya posisi Syekh Soleh Darat, Kiai Abdullah bin Abdul Manan Dipomenggolo, ayahanda Syekh Mahfudz Attarmasi, yang sudah tinggal bersama anaknya di Makkah selama beberapa tahun, memilih ‘memulangkan’ Syekh Mahfudz yang masih berusia remaja ke Jawa, memondokkannya di pesantren yang diasuh oleh Syekh Sholeh Darat Assamarani beberapa tahun. Lantas mengembalikan Syekh Mahfudz remaja ke Makkah hingga menjadi ulama besar di kota suci ini.

 

Kedua, Syaikhona Kholil menjadi titik tumpu jaringan keulamaan di wilayah Jawa, Madura, dan komunitas Sunda. Beliau menjadi titik pijak sanad intelektual, ruhaniah, dan perjuangan. Dikenal memang mutabakhir fil ulum, yang ditandai dari karyanya yang lintas disiplin keilmuan dan pengaruhnya di dalam jejaring para santrinya. Di antara muridnya yang menjadi pelanjut gugusan besar keilmuan Islam di Tanah Air, antara lain: Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari (Tebuireng-Jombang), KH A Wahab Chasbullah (Tambakberas-Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo-Situbondo), KH Bisri Syansuri (Denanyar-Jombang), KH Manaf Abdul Karim (Lirboyo-Kediri), KH Ma’shum Ahmad (Lasem-Rembang), KH Muhammad Siddiq (Jember), KH Ihsan bin Dahlan (Jampes-Kediri), KH Hasan Musthafa (Garut), KH Abdullah Sajjad (Guluk-guluk Sumenep), KH Zaini Abdul Mun’im (Paiton-Probolinggo), KH Nawawi Noerhasan (Sidogiri-Pasuruan), KH Abdul Hadi Zahid (Langitan-Tuban), KH Saleh (Lateng-Banyuwangi), KH Abdul Manan (Muncar-Banyuwangi), KH Yasin (Jekulo-Kudus), KH Abdul Hadi bin KH Ahmad Dahlan Tremas (Loloan Timur-Bali) dan sebagainya.

 

Melihat jejak kebesaran Syaikhona Kholil, reputasi para muridnya yang kemudian memiliki santri lagi yang mendirikan pesantren, dan lantas berkembang dalam jejaring santri yang lebih luas, maka sangat logis jika menjuluki Syaikhona Kholil sebagai abul ma’ahid, alias ‘bapak pesantren’. Jika Ki Hadjar Dewantoro dengan jejak kependidikannya dijuluki sebagai ‘bapak pendidikan nasional’, maka sudah sewajarnya jika Syaikhona Kholil dijuluki ‘bapak pesantren’ sebab dalam dirinya bermuara tiga sanad: intelektual, ruhaniah, dan perjuangan.

 

Ketiga, Syaikhona Kholil menjadi salah satu perajut terpenting aspek keilmuan di Jawa, Madura dan Sunda melalui karya-karyanya. Selama ini, dalam kurun hampir seratus tahun, tulisannya belum banyak terdeteksi, sehingga lebih banyak beredar folklore berkaitan dengan karamah. Di sini, ‘nasib’ Syaikhona Kholil mirip Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang melalui manaqib serta cerita tutur yang beredar, lebih tampak keramatnya dibandingkan dengan karya tulisnya. ‘Allamah-nya tertutupi dengan predikat waliyullah-nya. Padahal, reputasi keilmuannya juga moncer.

 

Dalam webinar yang digelar oleh jatim.nu.or.id. pada 3 Maret 2021, Muhaimin menjelaskan apabila total ada 21 karya Syaikhona Kholil. Sebagian sudah diterbitkan, separuhnya lagi masih ditahqiq. Tentu, hal ini merupakan kabar gembira yang ditunggu-tunggu. Dalam catatan Lora Muhammad Ismail Al-Ascholy, cicit Syaikhona Kholil, di antara beberapa karya buyutnya yang sudah ditemukan kembali, antara lain:

 

1. Risalah Fi Fiqh al-Ibadat (13 Ramadlan 1308 H)

2. Risalah Isti’dad al-Maut (3 Dzulqa’dah 1309 H)

3. Taqrirat Alfiyah Ibni Malik (Dzulqa’dah 1311 H)

4. Taqrirat Mandzumat Nuzhatut Tullab fi Qawa’idil I’rab (1315 H)

5. Nadzam Jauharatul Iyan li Ahlil Irfan (1315 H)

6. Nadzam Maqsud fi As-Sarf (Jumat 5 Muharram 1316 H)

7. Risalah Khutbah (Jumat 19 Ramadlan 1323 H)

8. Matn Al-Ajurumiyyah (makna dan taqrir)

9. Al-Bina’ (makna)

10. Tasrif al-Izzi (makna dan taqrir)

11. Maulid Hubbi lis Sayyidina Muhammad (makna)

12. Maulid Barzanji (makna)

13. Al-Awamil (nahwu/makna)

14. Terjemah al-Qur’an al-Karim (makna Jawa)

15. al-Matn As-Syarif atau Fath al-Latif (1299 h. /1882 m.)

 

Menurut Lora Ismail Ascholy, beberapa manuskrip ini berada pada murid Syaikhona Kholil dan mereka menjadikan kitab tersebut sebagai pusaka berharga. Karena setelah ditulis oleh Syaikhona Kholil, kitab tersebut dihadiahkan dan diberikan kepada murid-muridnya. Kitab-kitab yang sementara ini berhasil dikumpulkan oleh Lajnah Turats Ilmi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, yang paling lawas tertulis 1308 h. yaitu ditulis dalam usia 56 tahun, karena Syaikhona Kholil lahir tahun 1252 h., wafat tahun 1343 H. Sedangkan yang paling baru tertulis: 1323 h. alias ketika sudah sangat sepuh, sekitar usia 71 tahun. Ini menunjukkan bahwa, bila dalam usia 56-71 saja beliau masih produktif menulis, lalu seproduktif apa ketika usianya di bawah 56? Luar Biasa!

 

Hingga kini, di antara karya Syaikhona Kholil yang telah diterbitkan ulang adalah al-Matn As-Syarif, As-Silah fi Bayani an-Nikah, Taqrirat Nuzhat Tullab, Isti’dadul Maut, al-Bina’, Taqrirat Matn al-‘Izzi, dan Ratib Syaikhona Kholil. Sedangkan yang masih dalam proses penyalinan ulang adalah Taqrirat Alfiyah Ibni Malik.

 

Bagi saya, yang luar biasa adalah ketika Tim Pengusul Gelar Pahlawan Nasional Bagi Syaikhona Kholil Bangkalan yang dipimpin Muhaimin menemukan coretan slogan hubbul  wathan minal iman dalam salah satu manuskrip. Hal ini menunjukkan apabila sejak awal berkiprah di masyarakat, Syaikhona senantiasa menandaskan kecintaannya kepada Tanah Airnya. Belum lagi ketika tim peneliti menemukan korespondensi pemerintah Hindia Belanda kepada Syaikhona Kholil, dan di atas surat tersebut menuliskan doa agar Allah memotong kaki dan tangan Belanda yang telah menjajah Tanah Airnya.

 

Kaderisasi calon ulama pembela Tanah Air ini juga dilakukan oleh Syaikhona Kholil manakala senantiasa menandaskan pesan agar para muridnya yang belajar ke Haramain. Kelak bisa kembali ke Tanah Airnya, mendidik masyarakat, serta menguatkan apa yang kita sebut saat ini sebagai’nasionalisme relijius’: kecintaan terhadap Tanah Air yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman. Tidak mengherankan jika di kemudian hari nyaris semua muridnya yang belajar di Makkah dan Madinah menuruti pesan gurunya untuk kembali ke kampung halaman, dan kelak semuanya terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Zainul Milal Bizawie, dalam Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945), telah menyusun daftar para santri Syaikhona Kholil yang terlibat dalam jihad fi sabilillah dalam kurun waktu 1945-1949.

 

Pola berjejaring semacam ini telah menunjukkan bahwa persemaian ideologis telah berlangsung selama bertahun-tahun di Bangkalan, lalu diunduh pada waktu yang tepat dengan  motivasi jihad fi sabilillah. Tidak berlebihan jika disebut apabila Syaikhona Kholil menjadi bapak ideologis persemaian jihad membela kemerdekaan. Syaikhona menanam, lantas dipanen oleh anak-anak ideologisnya. Tidak mengherankan pula jika tiga muridnya telah bergelar pahlawan nasional: KH M Hasyim Asy’ari, KH A Wahab Chasbullah, dan KH As’ad Syamsul Arifin, atas kontribusinya di dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika tiga muridnya saja bisa bergelar pahlawan nasional, lantas apa yang menyebabkan kita keberatan menyematkan sebutan mulia ini pada Syaikhona Kholil?

 

Wallahu a’lam bisshawab

 

Penulis adalah Rektor Inaifas, Kencong, Jermber. Makalah ini didiskusikan dalam sarasehan nasional bertajuk ‘Urgensi Pengusulan Syaikhona Mohammad Kholil sebagai Pahlawan Nasional’ yang digelar di Aula Gedung Sekolah Tinggi Islam (STAI) Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Sabtu 27 Maret 2021.


Editor:

Opini Terbaru