• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Sikap Terbaik bila Suami atau Istri Orang Lain Curhat

Sikap Terbaik bila Suami atau Istri Orang Lain Curhat
Hati-hati bila ada pasangan lain curhat masalah keluarga. (Fotyo: NOJ/UNm)
Hati-hati bila ada pasangan lain curhat masalah keluarga. (Fotyo: NOJ/UNm)

Di acara walimah nikah, hal yang kerap diingatkan penceramah adalah agar pasangan menjadi suami dan istri setia. Layaknya pakaian, maka masing-masing harus bisa menutupi kekurangan, bukan sebaliknya. Konflik selalu ada, namun jangan sampai mengumbar ke banyak pihak.

 

Yang kerap menjadi pemantik tindakan serong adalah meminta pertimbangan atau menyampaikan curahan hati kepada orang lain. Entah yang dimintai pertimbangan adalah yang telah memiliki pasangan, maupun masih sendiri. Sikap iba dan sejenisnya, berujung kian runcingnya konflik di dalam rumah tangga.

 

Bagi orang yang menjaga akhlak, niat baik saja tidak cukup. Ia harus memperhitungkan dampak atas setiap perbuatannya. Demikian kiranya substansi kutipan ulama ahli hadits Mesir Al-Hafizh Muhammad Abdurrauf Al-Munawi (952-1031 H/1545-1622 M) dari gurunya Al-‘Arif billah Al-Imam Abdul Wahhab As-Sya’rani-juga sering dibaca As-Sya’rawi-(898-973 H/1493-1565 M):

 

وَمَقَامُ الْعَارِف أَنْ يُؤَاخِذَ نَفْسَهُ بِاللَّازِمِ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْهُ  

 

Artinya: Dan maqam orang yang arif billah adalah mencela dirinya dengan kelaziman (dampak perbuatannya) meskipun hal itu tidak ia sengaja. (Al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ as-Shaghir, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M], juz VI, halaman 160).

 

 

Lengkapnya, dalam salah satu sabda Rasulullah SAW menegaskan bahwa siapa saja yang melakukan tipu daya dan merusak istri atau hamba sahaya orang lain maka ia tidak termasuk golongannya:

 

 عن أبي هريرة مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِئٍ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا 

 

Artinya: Siapa saja yang menipu rayu dan merusak istri orang atau hamba sahaya miliknya, maka ia tidak termasuk golongan kita. (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah dengan sanad hasan), Jalaluddin bin Abi Bakar as-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir fi Ahadits al-Basyir an-Nadzir, [Beirut, : Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1427 H/2006 M], juz II,  halaman 525).

 

 

Menurut Al-Hafizh al-Munawi maksud hadits adalah siapa pun yang mengganggu istri orang agar bercerai dengan suaminya kemudian ia nikahi atau dinikahi orang lain, atau dalam konteks dahulu mengganggu budak milik orang lain sehingga minggat darinya, maka pelakunya tidak berada dalam ajaran Nabi Muhammad SAW dan tidak termasuk orang yang mengamalkan aturan-aturan hukum syariat. (Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz VI, halaman 159-160).

 

Berkaitan konteks ini Imam As-Sya’rani menjelaskan, di antara kasus yang masuk dalam petunjuk hadits adalah ketika ada orang yang didatangi istri orang lain yang curhat atas problem atau konfik rumah tangga yang terjadi dengan suaminya, dan diminta untuk mendamaikannya. Kemudian orang tersebut menyambut perempuan itu dengan penuh keramahan, dengan menyajikan jamuan makan yang lengkap, menambah nafkah atau uang belanja dan memuliakannya, meskipun tujuannya adalah untuk memuliakan suaminya.

 

 

Sebab, bisa jadi dengan perlakuan semacam itu perempuan tersebut justru akan tertarik kepada dirinya, menghina, dan meremehkan suaminya sehingga perlakuan semacam itu masuk dalam kandungan hadits di atas.

 

Bahkan untuk menghindari warning hadits ini, di mana Imam As-Sya’rani juga sering didatangi para perempuan untuk curhat urusan rumah tangga, ia tanpa ragu memerintah keluarganya untuk tidak memberi suguhan kepada mereka, membiarkan mereka lapar, agar segera pulang dan merasakan nikmatnya punya suami.

 

Imam As-Sya’rani menyatakan:

 

 وَقَدْ فَعَلْتُ هَذَا الْخُلُقَ مِرَارًا فَأُضَيِّقُ عَلَى الْمَرْأَةِ الْغَضْبَانَةِ وَأَوْصِي عِيَالِي أَنْ يَجُوعُوهَا لِتَرْجِعَ وَتَعْرِفَ حَقَّ نِعْمَةِ زَوْجِهَا.

 

Artinya: Sungguh aku telah mempraktikkan akhlak atau perilaku ini berulang kali. Aku sempitkan (tanpa keramahan sambutan) istri orang lain yang sedang marah kepada suaminya. Kuperintahkan keluargaku untuk membiarkannya lapar agar ia segera pulang dan merasakan secara nyata kenikmatan dari suaminya. (Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz VI, halaman 160).

 

Dari sini semakin jelas, orang yang berakhlak adalah ia yang berusaha agar semakin dekat dengan keridlaan Tuhan. Dalam setiap beramal atau melakukan perbuatan, niat baik saja tidak cukup, tapi harus disertai kewaspadaan dengan memprediksi dampak buruk yang ditimbulkan darinya. Wallahu a’lam.


Editor:

Keislaman Terbaru