• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Syekh Muhajirin Amsar Addari: Ahli Hadits dari Betawi

Syekh Muhajirin Amsar Addari: Ahli Hadits dari Betawi
Sejumlah pengajar Madrasah Darul Ulum, Makkah tahun 1950-an. (Foto: NOJ/Istimewa)
Sejumlah pengajar Madrasah Darul Ulum, Makkah tahun 1950-an. (Foto: NOJ/Istimewa)

Tulisan ini masih kelanjutan dari opini sebelumnya yakni Membincang Jaringan Ulama Indonesia dan Makkah.   

 

Dalam salah satu dawuhnya, Mbah Maimoen Zubair menegaskan kebanggaan ulama dahulu terhadap kampungnya. Cirinya, menisbatkan nama diri dengan tempat kelahirannya. Biasanya dengan menambahkan ya' nisbat di akhir nama kampung maupun kotanya. Misal, Imam Abu Zakaria An-Nawawi, yang dinisbatkan pada nama Desa Nawa, daerah Hauran, Suriah. Ada juga ad-Damanhuri, Assuyuthi, al-Bukhari, al-Kindi, al-Ghazi, al-Baihaqi, al-Jailani, hingga Imam as-Sya'rani yang dinisbatkan pada kampung Saqiyah Abu Sya'rah (Mesir) dan seterusnya.

 

Pola penisbatan semacam ini berbeda dengan tradisi di kawasan Maghribi (Afrika Utara), yang lebih menyukai penempelan nama kabilah. Misalnya, karena berasal dari kabilah Sanusi, maka Syekh Muhammad bin Yusuf, penulis Ummul Barahin, menggunakan As-Sanusi di belakang namanya. Termasuk kabilah Jazulah yang merupakan asal dari Syekh Sulaiman al-Jazuli, penyusun Dalail Khairat. Yang paling kondang tentu saja Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud alias Ibnu Ajurrum, penyusun kitab nahwu Jurumiyah, yang menggunakan nama Asshanhaji karena lahir dari kabilah Shanhajah.

 

Bagaimana dengan ulama Nusantara yang ada di Makkah? Yang pasti, keberadaan mereka di tanah haram ini dinisbatkan kepada asalnya: al-Bantani, al-Banjari, al-Falimbani, al-Baweyani, as-Sidarjawi, al-Bimawi, al-Jugjawi, al-Bughuri,  al-Banyumasi, al-Batawi, al-Fadani hingga al-Kelantani. Mereka berkumpul, saling belajar dan berbagi. Mereka juga menghimpun diri dan bahkan bisa menyelenggarakan pendidikan melalui sebuah lembaga legendaris, Darul Ulum, Makkah.

 

Foto di atas saya dapatkan dari KH Dhiyaz Almaqdisi Muhajirin. Foto pengajar Madrasah Darul Ulum, Makkah tahun 1950-an. Ayahnya, Syekh Muhajirin Amsar Addari, duduk di samping Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Keduanya ahli hadits. Sama-sama produktif berkarya. Syekh Yasin keturunan Minangkabau, lahir dan wafat di Makkah, sedangkan Syekh Muhajirin lahir di Betawi, belajar dan mengajar di Makkah, lalu kembali ke tanah air merintis pesantren An-Nida' al-Islamy, Bekasi. Mbah Maimoen Zubair, ketika berada di Makkah pada 1950-an sempat ngaji hadits kepada beliau, dan menyebutnya dengan panggilan hormat ‘Syaikhuna’.

 

Reputasi keilmuannya layak diacungi jempol. Syekh Muhajirin atau orang Betawi menyebutnya Tuan Guru Jirin, menulis empat jilid Misbahudz Dzalam, Syarah Bulughul Maram. Karya yang indah dan berbobot. Beberapa karya lainnya masih ditahqiq dan rencana diterbitkan lagi. Dalam catatan keluarga, kurang lebih ada 30 kitab yang ditulis. Kajiannya lintas disiplin ilmu:  tafsir, nahwu, balaghah, ushul fiqih, ushulul hadits, faraid, sirah nabawiyah, mantiq, dan fiqh. Komplit, betul!

 

Dalam sebuah riwayat, Syekh Muhajirin pernah ditawari posisi sebagai mufti di salah satu negara bagian di Malaysia. Namun dengan halus menolak dan lebih memilih kembali ke Tanah Air, merintis pesantren dan mengajarkan ilmu kepada masyarakat. Sebagaimana ulama terdahulu, bangga dengan kampung halamannya.

 

Kecintaan terhadap tanah kelahiran bisa dimaklumi, sebab ditempa oleh ulama ‘lokal’ dengan kemampuan ‘internasional’. Dalam catatan Rakhmad Zailani Kiki, penulis buku ‘Genealogi Intelektual Ulama Betawi’, Syekh Muhajirin ditempa oleh Guru Asmat (Kampung Baru, Cakung), H Mukhoyyar, Mu`allim H Ahmad, Mu`allim KH Hasbiallah (pendiri Yayasan Al-Wathoniyah), Mu`alim H Anwar, Muallim H Hasan Murtaha, Syekh Muhammad Tohir, Ahmad bin Muhammad murid dari Syekh Mansyur Al-Falaky, KH Sholeh Ma`mun (Banten), Syekh Abdul Majid, dan Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang).

 

Sebagaimana hukum bumerang, semakin jauh dilempar, kelak bakal kembali ke titik awal. Demikian pula dengan Syekh Muhajirin. Kelak, setelah menempuh pendidikan di Makkah, pun kembali ke Tanah Air.

 

Pakar falak sekaligus ahli hadits kelahiran 10 November 1924 ini wafat di Bekasi 31 Januari 2003 M.

 

Wallahu a'lam bisshawab.

 

Rijal Mumazziq Z adalah Rektor Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (Inaifas) Kencong, Jember dan mahasiswa program doktor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 


Editor:

Opini Terbaru