• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

UU Perkawinan sebagai Peristiwa Politik di Akhir Bulan Sya’ban

UU Perkawinan sebagai Peristiwa Politik di Akhir Bulan Sya’ban
Suasana sidang di gedung DPR RI yang meluluskan UU Perkawinan. (Foto: NOJ/PP Lakpesdam NU)
Suasana sidang di gedung DPR RI yang meluluskan UU Perkawinan. (Foto: NOJ/PP Lakpesdam NU)

Pada 27 September 1973 bertepatan dengan 29 Sya’ban 1393 H, terjadi keributan di gedung DPR RI Jakarta. Saat itu sedang diadakan Pembicaraan Tingkat II mengenai Rancangan Undang Undang (RUU) Perkawinan. Aksi solidaritas terjadi di berbagai daerah yang berbuntut penahanan beberapa aktivis muslim. Antusias umat Islam mengikuti proses pembahasan RUU ini luas biasa, mungkin persis seperti suasana pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu.

 

Nahdlatul Ulama melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berhasil memegang kemudi dan memainkan peran yang sangat taktis berhadapan dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan Karya (Golkar) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). RUU Perkawinan yang kemudian disahkan menjadi UU No 1 Tahun 1974 merupakan ketentuan undang-undang yang sangat penting terkait eksistensi umat Islam di Indonesia. Hukum perkawinan yang diterapkan di suatu negara menunjukkan sejauh mana negara ini mendasarkan hukum positifnya pada ajaran agama.

 

Artikel diambil dariPeristiwa Akhir Sya’ban 1393 H

 

Hukum perkawinan atau lebih luas hukum keluarga terkait erat dengan ketentuan agama di satu sisi, dan urusan negara di di sisi lainnya. Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim yang taat beragama ketika itu berhadapan dengan kelompok nasionalis sekuler. Saat itu bahkan terdengar pernyataan miring yang membuat geram umat Islam, bahwa ‘kita tidak bisa membuat kemajuan-kemajuan bila selalu memegang ajaran agama’. Proses pembahasan RUU Perkawinan itu sebenarnya merupakan titik puncak dari perdebatan mengenai hukum perkawinan yang terjadi sejak zaman kolonial. 

 

Perdebatan tidak hanya terjadi antara kelompok Islam(is) dengan kelompok sekuler di satu sisi tetapi juga dengan para aktivis gender. Beberapa poin dalam ketentuan hukum keluarga Islam dinilai memberikan perlakukan tidak adil terhadap kaum perempuan, terutama terkait poligami, talak, perwalian dan pembagian harta warisan.

 

Masalah UU perkawinan menjadi perhatian penting ketika Kementerian Agama didirikan pascakemerdekaan. Pada Oktober 1950, Menteri Agama, KH Wahid Hasyim membentuk Panitia Penyelidik Hukum Nikah, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh Mr Teuku Muhammad Hasan. Hasilnya disusun tiga RUU Perwinan: 1) RUU Perkawinan yang bersifat khusus, 2) RUU Perkawinan untuk umat Islam, dan 3) RUU Perkawinan untuk umat Kristen.

 

Berikutnya, pada 1954, Menteri Agama KH Muhammad Ilyas mengajukan RUU Perkawinan khusus untuk umat Islam. Menteri agama dari perwakilan NU ini memilih ‘mendahulukan pemenuhan kebutuhan umat Islam yang merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia’. Namun RUU ini kandas karena DPR telah menandatangani RUU yang lebih bersifat umum di atas. RUU inisiatif ini ditandatangani oleh Ny Sumantri dari Fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI).

 

Adanya dua RUU ini menyebabkan pembahasan RUU Perkawinan menemui jalan buntu. Pihak NU menegaskan bahwa bahwa dalam negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya perkawinan diatur menurut ajaran agama, bukan semata-mata segi keperdataannya seperti ikatan perjanjian pada umumnya.

 

Sementara pengusul RUU inisiatif mempertimbangkan aspirasi dari kelompok nonmuslim di parlemen serta para aktivis gender. Pada masa Orde Baru, 31 Juli 1973, pemerintah mengajukan RUU Perkawinan yang baru. Bersamaan dengan itu, dua RUU yang pernah diajukan ke DPR dinyatakan dicabut kembali. Namun peristiwa ini memicu reaksi yang luar biasa di kalangan umat Islam.

 

Ada sebelas poin dalam RUU dari pemerintah itu yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. RUU itu juga mirip sekali dengan RUU Perkawinan yang diajukan oleh Ny Sumantri. Apalagi ditemukan bahwa ada bagian dalam RUU dari pemerintah itu yang merupakan terjemahan saja dari Burgerlijk Wetboek dan Huwelijksordonantie Christen Indonesier pada zaman Belanda dulu.

 

Gelombang penolakan RUU Perkawinan terus mengemuka. Buya Hamka di harian KAMI, antara lain menulis bahwa RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah itu telah memaksa kaum muslimin sebagai golongan mayoritas di negeri ini untuk meninggalkan syariat agamanya sendiri. Para pelajar Islam yang menggabungkan diri dalam Badan Kontak Generasi Pelajar Islam membuat pernyataan tertulis dengan judul ‘Jangan Ganggu Aqidah Kami’.

 

Pernyataan senada juga disampaikan secara perseorangan maupun kelompok kepada Presiden Soeharto dan kepada DPR. Institut Agama Islam Yogyakarta juga memberikan catatan akademis terkait RUU itu.

 

Kemudian atas prakarsa Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bisri Syansuri, pada 22 Agustus 1973, diadakan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Jombang yang menolak secara tegas RUU Perkawinan ini disertai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Namun tidak hanya menolak, Munas Alim Ulama ini juga mengajukan beberapa usulan yang rinci terkait perubahan pasal demi pasal yang menjadi pegangan bagi Fraksi PPP di DPR RI.

 

Reaksi penolakan umat Islam itu pun membuat Presiden Soeharto gamang. Dalam peringatan Isra’ Mi’raj di Masjid Istiqlal Jakarta ia menyampaikan pernyataan khusus bahwa, ‘tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan RUU yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan masyarakat yang ada di Indonesia’.

 

Tibalah saat-saat yang ditunggu, yakni pemberian pemandangan umum oleh fraksi-fraksi di DPR dan tanggapan pemerintah, pada sesi Pembicaraan Tingkat II RUU Perkawinan, 17-18 September 1973.

 

Para aktivis Islam menyimak sidang dari balkon di sisi-sisi ruang sidang dalam suasana tegang. Tiga fraksi di DPR, yakni ABRI, Fraksi Golkar dan PDI cenderung ‘main aman’ terhadap pembahasan RUU ini. Fraksi PDI yang paling disorot dalam pembahasan ini hanya menyampaikan pandangan normatif disertai imbauan agar masyarakat tenang dan menunggu proses sidang berlangsung.

 

Sementara itu Fraksi PPP bersifat aktif menyampaikan catatan-catatan dan usulan perubahan beberapa pasal dalam RUU Perkawinan. Salah satu bagian yang disoroti adalah bab dan pasal mengenai pertunangan yang antara lain menyebutkan bahwa ketika terjadi kehamilan dalam pertunangan itu, maka pria diharuskan kawin dengan wanita jika disetujui oleh pihak wanita.

 

Kepada para aktivis gender, Fraksi PPP menegaskan bahwa peraturan tentang pertunangan itu justru merendahkan derajat wanita sebab merupakan perlindungan hukum terhadap pergaulan bebas yang hampir selalu merugikan kaum wanita.

 

Ketika memasuki pembacaan tanggapan pemerintah yang diwakili oleh menteri agama, sidang tidak kondusif lagi. Pada saat pembicaraan mengenai pasal pertunangan, para aktivis Islam meneriakkan yel-yel menolak RUU Perkawinan dari balkon-balkon sidang.

 

Sidang dihentikan. Para anggota DPR dikawal keluar dari ruang sidang. Beberapa aktivis yang dianggap sebagai penggerak keributan itu ditahan. Tidak untungnya, keributan di ruang sidang DPR yang berbuntut penahanan beberapa aktivis Islam itu memicu reaksi umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia sehingga dianggap mengganggu ‘stabilitas politik dan pembangunan’.

 

Penahanan para aktivis Islam itu sangat disesalkan dan memicu aksi solidaritas dari luar kota Jakarta. Umat Islam juga diserukan membacakan qunut nazilah untuk mereka yang ditahan oleh aarat keamanan. Peristiwa dalam Sidang DPR RI yang disebut sebagai ‘Peristiwa Akhir Sya’ban’ itu menjadi titik balik bagi pemerintah dan Fraksi Golkar yan cukup dominan dengan 261 kursi ditambah 75 kursi ABRI. Sementara Fraksi PPP mempunyai 94 kursi dan PDI 30 kursi. Namun kondisi itu dimanfaatkan dengan baik oleh PPP untuk mengadakan lobbying tingkat tinggi di luar gedung DPR.

 

PPP terus mengadakan serangkaian pertemuan dengan pimpinan politik, meskipun manuver di luar sidang itu dinilai oleh para politisi PDI tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi. PPP merasa bertanggungjawab terhadap kondisi itu dan ingin memperjuangkan agar UU Perkawinan dapat disahkan tetapi sesuai dengan ajaran Islam.

 

Rais Aam Majelis Syuro PPP KH Bisri Syansuri dan Ketua Fraksi PPP KH Masjkur juga secara khusus menemui Presiden Soeharto dengan membawa hasil Munas Alim Ulama NU di Jombang. Serangkaian lobbying yang telah dilakukan oleh PPP telah menghasilkan perumusan-perumusan baru di dalam RUU Perkawinan yang ‘mau tidak mau’ harus disetujui oleh para anggota DPR, terutama dari kalangan mayoritas Fraksi Golkar.

 

Menjelang penyelesaian RUU Perkawinan, ratusan pemuda pemudi yang menamakan diri Kesatuan Ummat Islam Indonesia melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI dengan pengawalan ketat para petugas keamanan. Sementara para anggota fraksi lain terlihat tegang, para anggota Fraksi PPP terlihat tenang. KH Masjkur sendiri sebelumnya telah bertemu dengan beberapa pemimpin demonstran dan menyampaikan perkembangan terakhir dari hasil-hasil lobbying tingkat tinggi itu.

 

Pada 22 Desember 1973 dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh 369 dari 460 anggota DPR yang ada, RUU Perkawinan ditetapkan secara aklamasi. Kemudian pada 2 Januari 1974 RUU ini disahkan oleh Presiden RI sebagai Undang-Undang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal yang sama.

 

UU ini terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal. Sistematika bab tidak berbeda dengan RUU yang diajukan oleh pemerintah, namun bab tentang pertunangan dan pengangkatan anak telah dihapus. Sementara rumusan pasal-pasalnya merupakan ‘revisi yang berat’ dari RUU versi pemerintah.

 

Meskipun UU Perkawinan No 1 tahun 1974 diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia, tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, namun rumusan-rumusannya dianggap telah memberikan ‘hak istimewa’ terhadap hukum perkawinan Islam. Apalagi UU itu telah memberikan mandat yang jelas terhadap pengadilan agama yang ‘dimandulkan’ sejak era kolonial. Sementara pengadilan agama sendiri adalah lembaga peradilan perdata yang khusus untuk umat Islam, terutama berkaitan dengan persoalan hukum keluarga.

 

A Khoirul Anama adalah dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta. Makalah disarikan dari Daniel S. Lev dalam Islamic Court in Indonesia: A Study in the Pollitical Bases of Legal Institution.

 


Editor:

Opini Terbaru