Keislaman

Bolehkah Membagikan Daging Kurban dalam keadaan Matang?

Selasa, 27 Mei 2025 | 09:00 WIB

Bolehkah Membagikan Daging Kurban dalam keadaan Matang?

Ilustrasi pemberian daging kurban. (Foto: NOJ/istock).

Setiap tahun umat muslim di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha serta melaksanakan kurban bagi yang mampu, begitu pula di Indonesia. Hal ini berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur'an:


 
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
 

Artinya: "Shalatlah (di hari raya) dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar, ayat 2). 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Menurut pendapat yang paling masyhur, shalat dalam ayat di atas ditafsiri dengan shalat hari raya, dan kata “Nahar” ditafsiri dengan menyembelih hewan kurban.



Jadi, kurban bukan cuma soal menyembelih hewan, tapi juga soal ibadah yang punya aturan tertentu menurut syariat. Salah satunya adalah cara membagikan daging kurban. Biasanya, daging dibagikan mentah, tapi di era modern seperti sekarang banyak orang yang membagikannya dalam bentuk masakan atau bahkan dalam kemasan seperti kornet. Lantas, bolehkah membagikan daging kurban dalam kondisi sudah dimasak?

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Sebelum membahas boleh atau tidaknya, terlebih dahulu kita bahas kriteria pemberian daging kurban. Menurut Mazhab Syafi’i, ada standar minimal pemberian daging kurban yang harus dibagikan kepada fakir miskin, meskipun cuma satu orang, sebagaimana keterangan Abu Bakar Syatha:



(ولو على فَقِيرٍ وَاحِدٍ) أَيْ: فَلَا يُشْتَرَطُ التَّصَدُّقُ بِهَا عَلَى جَمَاعَةٍ مِنَ الْفُقَرَاءِ، بَلْ يَكْفِي وَاحِدٌ مِنْهُمْ فَقَطْ
 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Artinya: "(Meskipun hanya kepada satu orang fakir) yakni, tidak disyaratkan harus dibagikan kepada sekelompok fakir miskin, melainkan cukup kepada satu orang fakir saja". (Abu Bakar Syatha, Hasyiyah l'anah ath-Thalibin, [Mesir: Darus Salam, 2021 M], halaman 1478).

 

Lalu, jika kurbannya itu wajib (nadzar), maka seluruhnya harus disedekahkan dan diberikan dalam keadaan mentah. Bagi mudlahhi (orang yang berkurban) dan keluarga yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan memakan sedikitpun.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND



Sedangkan untuk kurban sunah, yang wajib disedekahkan adalah kadar yang memiliki nominal menurut pandangan umum, seperti 1 ons daging atau satu kantong plastik daging yang layak. Kalau cuma sepotong kecil atau satu-dua suapan, itu belum cukup, dan wajib diberikan dalam keadaan mentah. Dan bagi mudlahhi dianjurkan untuk makan daging kurban sekedarnya saja dalam rangka tabarrukan (mencari berkah) dan menyedekahkan sisanya.

 

Nah, terkait hukum membagikan daging kurban dalam kondisi matang, Syekh Abu Bakar Syatha berpendapat:

 

(مِلْكًا) أَيْ: لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ الْمِسْكِينُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا، وَدَعْوَةُ الْفَقِيرِ إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Artinya: "Maksud dari (secara kepemilikan) adalah, agar orang miskin yang menerima daging kurban bisa mempergunakan daging tersebut sesuka hatinya, seperti menjual atau lainnya; maka tidak cukup hanya dengan menghidangkannya dalam bentuk makanan dan mengundang orang fakir untuk makan, karena haknya adalah dalam bentuk kepemilikan, bukan semata-mata untuk makan". (Abu Bakar Syatha, Hasyiyah l'anah ath-Thalibin, [Mesir: Darus Salam, 2021 M], halaman 1478).
 

Jadi, daging kurban yang diberikan kepada fakir miskin, itu harus dalam bentuk daging mentah. Kenapa? Karena daging itu sepenuhnya jadi hak penerima. Kalau sudah dimasak, berarti si penerima hanya diberi hasil olahan, bukan bahan mentah yang bisa dia kelola sendiri.
 

Senada dengan pendapat di atas, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli juga menegaskan:



وَيَجِبُ دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نِيئًا لَا قَدِيدًا
 

Artinya: "Wajib memberikan kadar daging yang wajib disedekahkan dalam bentuk mentah, bukan berupa dendeng” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 8, hal. 142).
 

Akan tetapi, pandangan berbeda disampaikan kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah. Pandangan ini dijelaskan oleh Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Kanani dalam karyanya yang mengakomodasi beberapa pendapat ulama lintas mazhab.



  وَإِذَا أَوْجَبْنَا التَّصَدُّقَ بِشَيْءٍ فَلَا يَجُوْزُ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيَّةُ أَنْ تَدْعُوَ الْفُقَرَاءَ لِيَأْكُلُوْهُ مَطْبُوْخًا لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِيْ أَكْلِهِ، وَإِنْ دَفَعَهُ مَطْبُوْخًا لَمْ يَجُزْ بَلْ يُفَرِّقُهُ نِيْأً. وَأَطْلَقَ الْحَنَفِيَّةُ التَّصَدُّقَ بِهِ مَطْبُوْخًا. وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ يَجُوْزُ التَّصَدُّقُ بِهِ مَطْبُوْخًا
 

Artinya: "Bila kita mewajibkan bersedekah dengan sebagian kurban, maka sebagaimana dikatakan ulama Syafi’iyyah tidak boleh mengundang orang-orang fakir untuk memakannya dalam keadaan masak, sebab hak mereka adalah memilikinya, bukan memakannya. Maka tidak boleh, menyerahkan kurban dalam bentuk masak, bahkan harus dibagikan mentah. Sedangkan menurut, ulama Hanafiyyah memutlakan tentang menyedekahkan kurban dalam bentuk masak. Dan menurut mazhab Malikiyyah boleh menyedekahkan kurban dalam bentuk masak” (Syekh Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Kanani, Hidayah al-Salik Ila al-Madzahib al-Arba’ah fi al-Manasik, hal. 1279).
 

Dari beberapa referensi di atas bisa kita pahami bahwa distribusi daging kurban dalam bentuk masak merupakan masalah yang diperselisihkan di antara ulama. Maka dari itu, sebagai jalan tengahnya adalah hukum mendistribusikan daging kurban dalam bentuk masak atau sejenis kemasan kornet adalah diperbolehkan asalkan sebagian daging kurban sudah ada yang disedekahkan kepada orang fakir/miskin dalam bentuk mentah. Wallahu a'lam.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND