• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 19 Mei 2024

Opini

14 Tahun Membersamai LPTNU Jawa Timur

14 Tahun Membersamai LPTNU Jawa Timur
Ilustrasi daftar PTNU se Jawa Timur. (Foto: NOJ/ lptnu-jatim.or.id)
Ilustrasi daftar PTNU se Jawa Timur. (Foto: NOJ/ lptnu-jatim.or.id)

Oleh: Yusuf Amrozi *)

 

Sabtu, 4 Mei 2024 Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menggelar Halal Bihalal dan Sarasehan yang ditempatkan di Kampus Universitas KH Wahab Hasbullah (Pesantren Tambakberas) Jombang. Sedianya panitia akan mengundang sekitar 104 perguruan tinggi anggota LPTNU Jatim, para pengurus LPTNU Jatim, serta sejumlah narasumber. Entah mengapa saya tergelitik untuk menulis seputar LPTNU ini. Mungkin karena kebersamaan di kepengurusan LPTNU Jatim semenjak LPTNU berdiri.

 

Sejarah Perkembangan

LPTNU berdiri pada Muktamar NU di Makassar tahun 2010. Saat itu bernama Lajnah Perguruan Tinggi NU. Awalnya urusan pendidikan tinggi di lingkungan NU dikelola oleh LP Ma’arif NU. Di LP Ma’arif NU ada pembidangan, di antaranya Bidang Perguruan Tinggi. Sebelum event Muktamar NU di Makassar tersebut, tanggal 14 Oktober 2000 di Surabaya ada pertemuan pendirian Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (Aptinu), yang digawangi oleh para rektor PTNU dengan difasilitasi oleh LP Ma’arif NU. Asosiasi ini bertujuan untuk melaksanakan kerja sama dalam bidang pendidikan, penelitian, pengembangan sumber daya manusia, dan kegiatan lain untuk peningkatan kualitas PTNU.

 

Aptinu memang bukanlah suatu organisasi resmi dalam NU. Ini hanyalah forum perkumpulan para pimpinan dan aktifis perguruan tinggi NU yang mendambakan reputasi dan kualitas PTNU sejajar dengan perguruan tinggi yang lain. Dengan demikian ada keinginan agar ada badan khusus, di luar LP Ma’arif NU untuk mengurus PTNU tersebut, yang secara formal dan struktural dalam naungan NU. Walhasil, muktamirin pada Muktamar NU 2010 di Makassar tersebut telah memutuskan pendirian Lajnah baru yang diberi nama Lajnah Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama.

 

Sebagai tindak lanjut hasil Muktamar NU, PBNU membentuk kepengurusan pada sejumlah lembaga termasuk LPTNU. Di LPTNU PBNU diangkat sebagai ketua Prof Dr H Noor Ahmad (sekarang Ketua Baznas RI). Demikian juga di sejumlah Pengurus Wilayah NU. PWNU Jawa Timur juga membentuk kepengurusan LPTNU dengan ketua saat itu Rektor Unisda Lamongan (Prof Dr HM Afif Hasbullah SH MHum). Pelantikan dan Raker perdana dilaksanakan di Kantor PCNU Tuban tahun 2011 yang difasilitasi oleh STIKES (Sekarang IIK) NU Tuban. Ada pertanyaan: kira-kira siapa peserta raker yang di‘klaim’ sebagai anggota LPTNU Jatim saat itu?

 

Sebagai organisasi yang awal berdiri, tentu kita menyadari tradisi ‘moderat’ yang dimiliki oleh NU. Demikian juga dalam hal keanggotaan LPTNU. Dengan bermodal data awal, termasuk data dari Kopertais Wil. IV Jatim, bersama Prof Zumrotul Mukaffa (saat itu Sekretaris Kopertais Wil. IV, sekarang Stafsus Wapres) kita lakukan validasi dengan prinsip tidak terlalu kaku-kaku amat. Kira-kira mana yang Minna, dan mana yang Minhum. Ukurannya adalah kalau PT tersebut berada di naungan pondok pesantren yang kiainya tokoh NU, ya berarti bagian dari kita. Karena mayoritas PTNU kita adalah PTKIS.

 

Dengan berbekal data itu plus alamat yang ada, maka surat undangan kami layangkan. Karena saat itu belum ada whatsapp. Sangat sedikit nomor telpon rektor yang kami miliki. Email lembaga belum tentu dibuka dalam waktu segera. Untuk biaya pengiriman surat, diperlukan sekitar Rp3 juta. Itupun ada yang kembali, karena alamat tidak ditemukan. Ada yang sampai, tetapi baru di tangan rektor manakala kegiatan sudah selesai. Karena alamat biasanya di kantor yayasan atau rumah kiai, yang bisa jadi terpisah dengan gedung perguruan tinggi.

 

Waktu berjalan, tiba di tahun 2015. Tahun itu ada pergantian nakhoda LPTNU Jawa Timur dari ketua sebelumnya ke Prof Dr Babun Suharto MM (Rektor IAIN/UIN Jember kala itu). Pada tahun 2015 juga dilaksanakan Muktamar ke-33 NU di Jombang. Karena dekat dengan Surabaya, tentu bagi kami hal ini menjadi berkah tersendiri. Artinya kesempatan untuk turut menyimak pada perhelatan akbar NU ini lebih memungkinkan. Menjelang atau di sela-sela Muktamar, ada side event di kampus Universitas Hasyim Asyari berupa seminar yang menghadirkan Menristekdikti dan para narasumber untuk membincang perguruan tinggi NU. Singkat kata hasil Muktamar ‘merevisi’ kepanjangan LPTNU dari Lajnah Perguruan Tinggi NU, menjadi Lembaga Pendidikan Tinggi NU. Alasannya, kalau lajnah kewenangannya lebih terbatas daripada lembaga.

 

Mengurai Tantangan dan Ikhtiar Pengembangan

Semenjak saya turut berkiprah di LPTNU, dalam perspektif saya ada sejumlah kondisi, potensi, problematika bahkan tantangan kelembagaan LPTNU dalam membina dan memajukan perguruan tinggi NU. Saya mencoba membaginya pada aspek internal dan eksternal. Pada aspek internal, saya melihat misalnya dari sisi struktur pelevelan kelembagaan. Sebagaimana lazimnya lembaga di NU, secara AD/ART semua lembaga dimungkinkan hingga level PCNU. Sementara kelaziman pada instansi pendidikan tinggi di pemerintah, paling bawah ada di level propinsi (LLDikti, dan Kopertais).

 

Dengan demikian sejak kemunculan hingga hari ini, hal ini masih ada perdebatan. Ada sejumlah pengurus yang berpandangan bahwa LPTNU hanya perlu cukup di level propinsi. Tetapi jika hal itu dituruti, akan bertabrakan dengan Anggaran Rumah Tangga NU, yang notabene hasil Muktamar NU.

 

Selain itu masalah status keanggotaan. Saat saya menulis artikel ini, kawan-kawan LPT PBNU secara serius sedang menggodok formulasi yang tepat mengenai draft peraturan perkumpulan tentang LPTNU dan PTNU. Sebenarnya siapa PTNU itu dan bagaimana menjadi anggota LPTNU, dan seterusnya. Memang secara umum, PTNU dibagi dua; PTNU dengan badan hukum yayasan, dan PTNU dengan badan hukum perkumpulan NU. Ada keinginan ke depan PTNU dikelola seperti pada Majelis Dikti Muhammadiyah, dimana asetnya adalah aset organisasi, dan komunikasi organisasi langsung ke PBNU melalui LPT PBNU.

 

Hal itu sudah jalan pada sejumlah Universitas NU. Tetapi tentu menyisakan perdebatan mendalam pada perguruan tinggi yang berbadan hukum yayasan yang sebelumnya dikelola oleh LP Ma’arif NU (sebelum ada LPTNU), atau PTNU yang didirikan oleh PWNU, yang didirikan oleh PCNU, bahkan yang didirikan oleh yayasan pondok pesantren atau individu yang memiliki kedekatan atau berafiliasi dengan NU. Tentu PTNU ketegori yang kedua ini perlu juga mendapatkan rambu-rambu yang fair, tetapi juga harus berkomitmen untuk serius dalam pengembangan kelembagaan perguruan tinggi, dalam wadah besar LPTNU ini.

 

Di sisi lain pada aspek internal LPTNU --paling tidak di LPTNU Jatim, yang saya ketahui-- faktor database dan sistem informasi PTNU masih perlu perhatian, tidak saja bagi LPTNU Jatim tetapi juga support data dari PTNU di Jawa Timur. Oleh sebab itu, LPTNU Jatim di era kepemimpinan Prof Achmad Jazidie saat ini memfokuskan pada pendataan PTNU Jatim yang terintegrasi pada alamat website https://lptnu-jatim.or.id/index.php/dashboard/.

 

Selain program database, ada juga program dan kegiatan lain tentang penguatan SDM, Penjaminan Mutu, serta tatakelola kelembagaan PTNU yang telah kami laporkan ke PWNU Jawa Timur. Mengingat kami LPTNU dan PWNU Jawa Timur saat ini menjelang akhir periode kepengurusan.

 

Pada aspek eksternal, ada sejumlah tantangan yang perlu menjadi atensi bagi LPTNU ke depan. Misalnya regulasi yang relatif baru dari pemerintah yaitu Permendikbud Ristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang mana merupakan integrasi regulasi mengenai sistem penjaminan mutu, standar nasional, dan penyelenggaraan akreditasi perguruan tinggi yang harus dipedomani oleh perguruan tinggi di Tanah Air. Dengan demikian LPTNU perlu lebih giat dalam pembinaan kepada anggotanya merujuk pada kebijakan tersebut.

 

Di sisi yang lain kemunculan perguruan tinggi baru atau program studi baru juga memunculkan riak kompetisi antar perguruan tinggi, termasuk pada PTS yang berdekatan. Hal ini ditambah dengan sejumlah perguruan tinggi negeri yang menambah jumlah pagu mahasiswa baru. Dari diskusi dengan sejumlah sejawat mengatakan bahwa beberapa PTN yang telah beralih status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), mereka menambah pagu maba dengan angka yang cukup fantastis.

 

Namun demikian apapun masalah dan tantangannya, perguruan tinggi NU masih memiliki potensi dan distingsi. Potensi jumlah warga NU, materi keagamaan yang cukup mendalam yang diajarkan, atau inovasi lain serta jejaring perguruan tinggi NU melalui LPTNU saya kira bisa menjadi modal untuk maju. Asal tidak konflik antar perguruan tinggi maupun di internal PT. Dalam konteks ini, saya rasa mungkin hampir sama kondisinya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dikelola oleh LP Ma’arif NU.

 

Kenangan Lama bersama Ma'arif NU

Sebelum berkiprah di LPTNU, saya juga pernah aktif di ‘kakak’nya LPTNU, yaitu LP Ma’arif NU Jawa Timur sekitar tahun 2003 hingga 2010. Mungkin karena perubahan kondisi atau apa, saya merasakan ada yang ‘hilang’ selama saya aktif di LPTNU yang terkait dengan humor. Atau mungkin saat ini interaksi lebih banyak secara virtual, melalui grup WA, dan lainnya (Zoom, dan seterusnya).

 

Sebagai informasi sebelum tahun 2007, PWNU Jatim masih berkantor di Jalan Darmo no. 96 Surabaya. Di Kantor tersebut juga ditempati sejumlah lembaga dan badan otonom di lingkungan PWNU Jatim. Saat di LP Ma’arif NU kala itu, sejumlah senior seperti (alm) KH Suhaimi Syakur, (alm) KH Anwar Rimin, KH Faqih Arifin, dan sejumlah pengurus atau staf LP Ma’arif NU penuh dengan canda khas NU atau guyonan ala pesantren. Pendek kata, tiada hari tanpa kegembiraan baik saat banyak rezeki maupun dikala sepi.

 

Suatu hari staf LP Ma’arif NU (alm) Cak Ghofar bilang ke saya, ada Pak Dlowi di dalam (alm KH Baidlowi Mufti, Sepanjang). Wah pasti ada humor baru yang mau diceritakan ini, pikir saya. Benar saja, begitu lihat saya, beliau langsung melambaikan tangan dan saya segera beringsut untuk mendekatkan kuping saya serasa pasang muka senyum. Gerangan apa yang mau dicerita-humorkan ini, hehe.

 

Ia menceritakan kisah mengenai ‘pujian’ sebelum shalat Subuh yang biasanya dibaca di Langgar KH Imron Hamzah (Rais PWNU Jatim era 1990-an) di Ngelom-Sepanjang. Biasanya di langgar atau masjid orang NU sebelum Subuh pujian yang dibaca: "La Ilaha Illa Anta, Ya Hayyu Ya Qoyyum". Tapi di langgar-nya Kiai Imron pujiannya malah berbunyi, "La Ilaha Illa Ente". Mendengar cerita dari Pak Dlowi, orang se kantor langsung terbahak. "Orang Ngelom ternyata sudah akrab dengan Tuhan. Buktinya, Tuhan saja dipanggil Ente...”. Wallahu A’lam, namanya juga cerita humor.

 

*) Yusuf Amrozi, adalah Sekretaris LPTNU Jawa Timur masa khidmat 2011 s/d 2024.


Opini Terbaru