Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Keislaman

Berikut Ketentuan Pembacaan Qunut

Sejumlah imam madzhab memperselisihkan pembacaan doa qunut. (Foto: NOJ/JOm)

Sejumlah Nahdliyin bertanya-tanya, mengapa pada rakaat terakhir shalat witir yakni saat separuh Ramadlan harus membaca qunut? Dan bagaimana pula ketentuan pembacaan qunut di luar waktu tersebut? Berikut penjelasan lengkapnya.

 

Qunut ada tiga macam. Pertama, doa qunut nazilah, yaitu doa yang dibacakan setelah ruku’ (i’tidal) pada rakaat terakhir shalat. Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Qunut nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa (mushibah) yang menimpa, seperti bencana alam, flu burung, viris Corona dan lainnya.

 

Hal ini mencontoh Rasulullah SAW yang memanjatkan doa qunut nazilah selama satu bulan atas mushibah terbunuhnya qurra’ (para sahabat Nabi SAW yang hafal al-Qur’an) di sumur Ma’unah. Juga diriwayatkan dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku’ (HR Bukhari dan Ahmad).

 

Artikel diambil dariFasal tentang Doa Qunut

 

Kedua, qunut shalat witir. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah), qunut witir dilakukan di rakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunah.

 

Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’. Menurut pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik, qunut witir tidak disunnahkan.

 

Ketiga, doa qunut pada rakaat kedua shalat Shubuh. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, doa qunut shalat Shubuh hukumnya tidak disunnahkan karena hadits Nabi SAW bahwa ia pernah melakukan doa qunut pada saat shalat fajar selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaiman diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:

 

 رَوَى ابنُ مَسْعُوْدٍ: أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَنَتَ فِيْ صَلاَةِ الفَجْرِ شَهْراً ثُمَّ تَرَكَهُ

 

Artinya: Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi SAW meninggalkannya. (HR Muslim)

 

Menurut pengikut Imam Malik (Malikiyah), doa qunut shalat Shubuh hukumnya sunah tetapi disyaratkan pelan saja (sirr). Begitu juga menurut Syafi’iyah hukumnya sunah ab’adl (kalau lupa tertinggal disunatkan sujud sahwi) dilakukan pada rakaat yang kedua shalat Shubuh. Sebab Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal) pada rakaat kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian itu Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat). (HR Ahmad dan Abd Raziq).

 

Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu’nya:

 

 مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ القَُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ أَمْ لَمْ تَنْزِلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ

 

Artinya: Dalam madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik karena ada musibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf. (al-Majmu’, juz 1: halaman 504)

 

Penulis berpendapat tentang bagaimana dua hadits tentang doa qunut pada shalat Shubuh yang tampak tidak sejalan. Cara kompromi untuk mendapat kesimpulan hukum (thariqatu al-jam’i wa al-taufiiq) dapat diuraikan, bahwa hadits Abu Mas’ud (dalil pendapat Hanafiyah dan Hanabilah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat Shubuh setelah itu.

 

Hanya menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa qunut shalat Shubut dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah) menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat Shubuh dan terus melakukannya sampai beliau wafat.

 

Kesimpulannya, ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat ulama yang berdasarkan teks tersurat hadits shahih.

 

Jadi, hukum doa qunut pada shalat Shubuh adalah sunah ab’adl, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam.

 

Wallahu a’lam bi -shawab.

 

KH Cholil Nafis adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat Masa Khidmat 2021-2025.

KH Cholil Nafis
Editor: Syaifullah

Artikel Terkait