• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Khutbah

Khutbah Jumat Terbaru: Anjuran Bekerja dan Menjaga Sifat Jujur

Khutbah Jumat Terbaru: Anjuran Bekerja dan Menjaga Sifat Jujur
Umat Islam harus giat bekerja dan menjaga sifat jujur. (Foto: NOJ)
Umat Islam harus giat bekerja dan menjaga sifat jujur. (Foto: NOJ)

Naskah khutbah Jumat kali ini mengingatkan umat Islam untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan harian. Namun demikian, ada sejumlah hal yang hendaknya diperhatikan agar penghasilan yang didapat sesuai anjuran agama.

Dengan menjaga sifat jujur tersebut diharapkan rejeki yang diterima adalah halal. Juga yang tidak kalah penting yakni menjaga sifat jujur lantaran hal tersebut demikian diperintahkan.

Silakan kalau naskah khutbah Jumat ini digandakan dan dibagi kepada siapa saja yang membutuhkan. Semoga menjadi jariyah yang manfaatnya tidak hanya diterima kala di dunia, juga kelak di akhirat. (redaksi)

 

Khutbah I 


اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ مَنْ تَوَكَّلَ عَلَيْهِ بِصِدْقِ نِيَّةٍ كَفَاهُ وَمَنْ تَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِاتِّبَاعِ شَرِيْعَتِهِ قَرَّبَهُ وَأَدْنَاهُ وَمَنِ اسْتَنْصَرَهُ عَلَى أَعْدَائِهِ وَحَسَدَتِهِ نَصَرَهُ وَتَوَلاَّهُ


وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ حَافَظَ دِيْنَهُ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ


فَقَالَ تَعَالَى فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah

Marilah di hari ini kita mempertebal ketakwaan kepada Allah SWT dengan menghindarkan diri dari kecurangan, kebohongan dan berbagai sifat tercela lainnya. Dan memulai hai-hari dengan penuh kejujuran karena kejujuran akan membuahkan kehalalan dan kehalalan yang kita konsumsi menentukan nasib kita selanjutnya.

 

Hadirin yang Dirahmati Allah

Bekerja mencari rizki guna menopang ibadah hukumnya adalah wajib. Sebagaimana hukum ibadah itu sendiri. Hal ini telah disepakati oleh ulama. Karena bekerja merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan. Lebih-lebih bagi mereka yang telah berkeluarga, mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban memberi nafkah terhadap anak dan istri. Sedangkan nafkah bisa didapat oleh seseorang yang mau bekerja. Selain itu dengan bekerja seseorang dapat terhindar dari tamak, menggantungkan diri pada orang lain dan juga menghindar dari meminta-minta yang mana semua itu termasuk barang larangan agama.

 

Dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT berfiman: 


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. 

 

Begitu pentingnya bekerja dan berusaha bagi seorang muslim. Karena sesungguhnya al-barakatu ma’al harakah bahwa keberkahan itu akan hadir bersama dengan pergerakan. Di mana ada kemauan untuk berusaha di situ Allah telah menyediakan keberkahan. Dengan kata lain Islam sangat membenci orang yang berpangku tangan, mengharapkan dan meminta-minta.


Ibrahim al-Matbuly pernah berpendapat bahwa orang fakir yang tekun beribadah (kurang berusaha) sedang dia tidak memiliki pekerjaan karena waktunya habis digunakan beribadah ibarat burung hantu yang berdiam di rumah kosong. Bahkan dengan sedikit agak keras Al-Matbuli berkata: 


وَالمُؤْمِنُ المُخْتِرِفُ اَكْمَلُ عِنْدِى مِنَ المَجَاذِيْبْ مِنْ مَشَايِخِ الزَّوَاَيا الذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ بِدِيْنِهِمْ وَلَيْسَ بِيَدِهِمْ حِرْفَةٌ دُنْيَوِيَّةٌ تَعَفُّهُمْ عَنْ صَدَقَاتِ النَّاسِ وَاَوْسَاخِهِمْ

 

Artinya: Menurut saya seorang mukmin yang bekerja, adalah lebih sempurna dari pada orang jadzab (seorang yang dalam dunia sufi dipahamti sebagai orang yang selalu terlena dengan Allah) seperti guru thariqah yang memangku jabatan yang mereka makan menggunakan agama. Sebab mereka tidak memiliki pekerjaan duniawi yang bisa memelihara diri dari menerima sedekah umat Islam dan kotoran-kotoran mereka.


Meskipun pendapat Al-Matbuli ini memerlukan penjabaran lebih lanjut tentang koneks perkataannya, dan masih bisa didiskusikan panjang lebar. Tetapi, perkataan itu mengandung pesan bahwa bekerja dengan usaha sendiri adalah sebuah kemuliaan. Karena di situlah seseorang dapat menimbang dan memastikan posisi rizki mereka adakah itu hasil yang halal, haram ataukah syubhat. Berbeda jika hanya menerima dari orang lain. Sungguh pun pemberian itu didasari keikhlasan, akan tetapi penuh dengan kesyubhatan. Karena tidak diketahui dari manakah sumbernya.


Bahkan, tidak ada satu cerita pun dari hadits Rasulullah yang menerangkan larangan beliau kepada para sahabatnya untuk berhenti bekerja demi menjalankan dakwah agama, padahal waktu itu berdakwah sangat membutuhkan perhatian mengingat kondisi Islam masih sangat lemah baik secara sosial dan politik. Justru di kala itu Rasulullah SAW tetap memerintahkan Abu Bakar untuk terus berdagang dan kepada sahabat lainnya untuk tetap menekuni keahliannya. Malahan ada sebuah hadits yang seolah menyinggung para sahabat saat itu yakni: 


كَانَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامْ لاَ يَأْكُلُ الُّا مِنْ عَمَلِ يَدِيْهِ

 

Artinya: Nabi Daud AS tidak pernah makan kecuali dari hasil pekerjaan tangannya sendiri. (HR Bukhari)

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Meski demikian, bekerja tidaklah cukup asal bekerja. Hendaknya bekerja harus dilakukan dengan penuh kejujuran. Kejujuran dalam bekerja wajib pula hukumnya. Karena pekerjaan yang dilakukan dengan jujur akan sangat mempengaruhi pola beribadah dan perilaku keseharian seorang hamba. Mengapa demikian? Karena sesuatu yang halal merupakan buah dari kejujuran. Dan mengonsumsi yang halal akan mempermudah seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Maka yang menjadi pertimbangan di sini adalah proses bekerjanya bukan hasil dari pekerjaan itu sendiri.

 

Hasil yang tidak maksimal tetapi diproses secara sempurna akan menghasilkan keberkahan walaupun kecil kuantitasnya. Namun hasil yang maksimal dengan proses yang cacat (tidak jujur) akan berdampak pada kesakitan moral pelakunya meskipun secara kuantitas lebih unggul. Lihatlah mereka yang bekerja dengan cara menipu ataupun berbohong pasti akan meraih sukses dalam jangka waktu yang relatif lebih singkat. Tetapi tidak lama pasti akan menjadi bahan gunjingan. Bukankah begitu nasib koruptor, penipu dan juga pembohong. Sesungguhnya yang demikian itu sangat dibenci oleh Rasululah SAW.


Diceritakan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW pernah berjalan-jalan di pasar melewati setumpuk bahan makanan. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu. Ternyata pada bagian dalamnya basah. Kemudian beliau bertanya kepada si penjual: Apakah ini? Si penjual menjawab: Ya Rasul, makanan ini terkena hujan. Rasulullah pun bertanya kembali: Mengapa makanan yang basah ini tidak kamu taruh di atas sehingga para pembeli bisa melihatnya? Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya: 


“مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا”

 

Artinya: Barang siapa menipu umatku, niscaya dia bukan termasuk golonganku.


Hadits tersebut sangatlah jelas dan mudah dipahami. Tidak ada kata-kata samar di dalamnya. Bahwa siapapun yang berlaku curang dalam pekerjaannya maka dia telah tersesat dan tidak termasuk golongan (umat) Rasulullah SAW. Ini artinya kecurangan dan kebohongan sangatlah dicela dalam Islam.


Meskipun konteks dan pelaku dalam hadits tersebut adalah pedagang, tetapi tidak berarti pedagang saja yang dianjurkan berlaku jujur. Namun semua macam usaha dan pekerjaan hendaknya dilakukan dengan jujur, karena kecurangan dapat menyeret seseorang keluar dari golongan Rasulullah SAW. Tidak terkecuali para politisi, investor, pejabat dan ataupun kuli. Sayangnya kecurangan dan kebohongan itu kini seolah dibenarkan bahkan dipelajari lengkap dengan metode dan teorinya dengan kedok manajemen pencitraan. Apakah pencitraan itu sebuah kejujuran? Silakan dipertimbangkan sendiri.


Jamaah Jumat Rahimakumullah

Imam Abu Hasan as-Syadzili pernah berpendapat bahwa seseorang yang bekerja dengan jujur berarti dia telah berjuang melawan hawa nafsunya yang selalu condong pada kebohongan. Sehingga mereka yang jujur pantaslah mendapatkan apresiasi sebagaimana para mujahid yang berhasil membunuh musuh-musuhnya. Dalam sebuah tausiah dia berkata: 


مَنْ اكْتَسَبَ وَقَامَ بِفَرَائِضِ رَبِّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ فَقَدْ كَمُلَتْ مُجَاهَدَتُهُ

 

Artinya: Barang siapa bekerja dan teguh menjalankan perintah-perintah Allah, maka benar-benar sempurna perjuangannya dalam melawan hawa nafsu.  

 

Jamaah Jumat yang Dirahmati Allah

Setelah kejujuran dalam bekerja kita raih, hendaklah kita melangkah lagi satu tingkat agar kehidupan ini lebih bermakna. Yaitu mengisi pekerjaan yang jujur dengan nuansa ibadah. Abu Abbas al-Mursi berkata: 


عَلَيْكُمْ بِالسَّبَبِ وَلْيَجْعَلْ أَحَدُكُمْ مَكُوْكَهُ سَبْحَةً وَقَدُوْمَهُ سَبْحَةً وَاْلخِيَاطَةُ سَبْحَةً والسفَرُ سبحةً

 

Artinya: Bekerjalah kamu dan jadikanlah alat tenunmu (bila engkau penenun) sebagai tasbih. Menjadikan kampak (bila bekerja sebagai tukang kayu) sebagai tasbih dan menjadikan jarum (bila sebagai penjahit) sebagai tasbih, dan menjadikan kepergiannya (bila berdagang) sebagai tasbih.


Karena itu apapun bentuk keahlian dan dimanapun pekerjaan itu bukanlah sekedar sumber penghasilan semata tetapi juga sumber ibadah.

 

Artikel diambil dariBekerjalah, Jujurlah dan Bertasbihlah


Demikianlah khutbah singkat kali ini, semoga hal ini dapat menjadi bahan renungan yang mendalam bagi kita semua, amin. 


باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

 

Khutbah II 


اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ


وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ


اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا


اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ


اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.


عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ


Khutbah Terbaru