Bagaimana Islam Memandang Modifikasi Genetik dan Augmentasi Tubuh?
Selasa, 12 November 2024 | 16:00 WIB
Oleh: Fadhel Fikri *)
Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi telah memungkinkan kita untuk mempertimbangkan konsep "transhumanisme," yaitu ide untuk memperbaiki dan bahkan melampaui keterbatasan manusia melalui teknologi. Melalui modifikasi genetik dan augmentasi tubuh, manusia memiliki potensi untuk meningkatkan atau mengubah berbagai aspek fisik dan mentalnya.
Perkembangan tersebut, meski membawa harapan baru dalam dunia medis dan kualitas hidup, juga menimbulkan dilema etis dan spiritual, terutama bagi agama-agama seperti Islam yang memiliki pandangan kuat tentang takdir, penciptaan, dan moralitas.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Islam, sebagai agama yang memandang manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna, mengajarkan prinsip penerimaan terhadap keterbatasan manusia dan ketundukan pada takdir Ilahi. Dalam konteks transhumanisme, ada pertanyaan besar yang muncul:
Apakah modifikasi genetik dan augmentasi tubuh melanggar prinsip dasar Islam? Apakah tindakan ini mengubah tatanan yang telah Allah tetapkan atau justru sejalan dengan usaha manusia untuk memperbaiki kualitas hidup mereka?
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Apa itu Transhumanisme dan Mengapa Isu Ini Penting dalam Islam?
Transhumanisme adalah ideologi dan gerakan yang mengusulkan bahwa manusia dapat meningkatkan kemampuan fisik, mental, dan emosional mereka melalui teknologi canggih, termasuk modifikasi genetik, prostetik canggih, dan implan elektronik.
Gerakan ini didorong oleh pandangan bahwa tubuh manusia bukanlah akhir dari evolusi, melainkan awal dari proses yang lebih besar untuk menciptakan manusia yang lebih maju dan unggul.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Dalam Islam, isu ini penting karena pandangan transhumanisme berpotensi berbenturan dengan konsep dasar tentang manusia, kodrat, dan takdir yang ditetapkan oleh Allah.
Manusia dianggap sebagai ciptaan yang sempurna: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS At-Tin: 4). Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sempurna dan ideal, sehingga setiap upaya untuk mengubah kodrat manusia bisa dianggap sebagai tindakan yang menantang kehendak-Nya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Lebih dari sekadar etika medis, transhumanisme memunculkan pertanyaan filosofis tentang sifat manusia dan bagaimana umat Islam seharusnya memahami konsep kesempurnaan yang telah Allah ciptakan.
Pandangan Islam tentang Konsep Dasar Manusia dan Takdir Ilahi
Islam memiliki pandangan yang kuat tentang penciptaan manusia dan takdir. Manusia dianggap sebagai khalifah di bumi (QS Al-Baqarah: 30), yang berarti bahwa manusia diberi kehormatan dan tanggung jawab untuk merawat dunia, namun juga memiliki keterbatasan yang tidak boleh dilanggar.
Allah menciptakan manusia dengan takdir dan ketetapan yang telah ditentukan, yang dikenal sebagai qada dan qadar. Memahami dan menerima takdir ini adalah bagian penting dari iman Islam.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Dari perspektif ini, segala bentuk intervensi yang mengubah kodrat asli manusia bisa dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap takdir yang telah Allah tetapkan.
Sebagai contoh, modifikasi genetik yang berfokus pada peningkatan kemampuan fisik atau mental secara ekstrim dapat dianggap melanggar prinsip kesempurnaan ciptaan Tuhan dan melampaui batas yang telah Allah tetapkan untuk manusia.
Beberapa ulama juga menyebut bahwa modifikasi genetik atau augmentasi tubuh bisa mengaburkan konsep manusia sebagai makhluk yang menerima ketetapan Allah, yang mana ketundukan terhadap takdir merupakan bagian dari keimanan seorang Muslim.
Modifikasi Genetik: Halal atau Haram?
Modifikasi genetik adalah proses mengubah DNA seseorang untuk memperbaiki atau meningkatkan sifat tertentu. Di bidang medis, teknologi ini dapat digunakan untuk mencegah atau menyembuhkan penyakit genetik yang serius, seperti cystic fibrosis atau hemofilia.
Namun, ketika teknologi ini digunakan untuk tujuan non-medis, seperti meningkatkan kecerdasan atau fisik, maka hal ini menjadi topik yang kontroversial dalam Islam.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa modifikasi genetik untuk tujuan pengobatan atau penyembuhan penyakit diperbolehkan selama tindakan ini membawa maslahat (manfaat) bagi umat. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar Islam tentang menjaga kehidupan dan kesehatan.
Dalam hal tersebut, prinsip maslahat menjadi panduan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW, "Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada tindakan yang menyebabkan bahaya." (HR. Ahmad dan Ibn Majah). Dengan kata lain, jika modifikasi genetik dilakukan untuk menghilangkan bahaya atau penyakit, maka ini bisa dibenarkan.
Namun, jika modifikasi genetik bertujuan untuk meningkatkan kemampuan non-medis atau mengubah fitur fisik untuk tujuan estetika, banyak ulama yang menentangnya. Alasan utama adalah bahwa tindakan ini dianggap melampaui batas atau isyraf, yang dilarang dalam Islam.
Modifikasi ini dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap ciptaan Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS An-Nisa: 119, di mana setan mengajak manusia untuk mengubah ciptaan Allah. Dalam hal ini, transhumanisme menimbulkan ketakutan akan hilangnya konsep kesadaran diri sebagai makhluk yang tunduk pada kehendak Allah.
Augmentasi Tubuh: Batasan Etis dalam Mengubah Tubuh Manusia
Augmentasi tubuh meliputi segala bentuk perubahan pada tubuh manusia melalui prostetik atau teknologi tambahan yang dirancang untuk meningkatkan fungsi fisik atau mental seseorang.
Augmentasi tubuh, ketika digunakan untuk tujuan medis, seperti penggunaan kaki atau tangan prostetik untuk orang yang cacat, umumnya diterima dalam Islam. Hal itu dianggap sebagai tindakan memperbaiki atau menyempurnakan apa yang rusak atau hilang, bukan mengubah kodrat asli manusia.
Namun, augmentasi tubuh yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan fisik atau kemampuan mental melebihi batas alami sering kali dianggap sebagai bentuk ghuluw atau berlebihan, yang bertentangan dengan ajaran Islam tentang wasathiyah (keseimbangan).
Islam mengajarkan bahwa manusia sebaiknya menjaga keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam memanfaatkan teknologi. Misalnya, dalam augmentasi tubuh yang membuat seseorang memiliki kekuatan super atau kemampuan sensorik tambahan, tindakan ini dianggap melampaui batas alami manusia dan bertentangan dengan prinsip keseimbangan yang Allah tetapkan.
Islam tidak hanya memperhatikan manfaat fisik tetapi juga dampak psikologis dan spiritual dari augmentasi tubuh. Penggunaan teknologi untuk tujuan selain kesehatan bisa menyebabkan orang kehilangan kesadaran akan identitas diri sebagai makhluk ciptaan Allah, yang memiliki keterbatasan.
Kontroversi Transhumanisme: Bentuk 'Menentang' Tuhan?
Beberapa pemikir Muslim menganggap transhumanisme sebagai bentuk “pemberontakan” atau penolakan terhadap ketetapan Allah. Di satu sisi, Islam mengakui kebebasan manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, Islam juga mengajarkan bahwa kebebasan ini harus dibatasi oleh nilai-nilai etika dan tanggung jawab moral kepada Allah.
Pandangan konservatif dalam Islam berpendapat bahwa transhumanisme dapat dianggap sebagai bentuk isyraf (melampaui batas), yang dilarang oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-An'am: 141: "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
Dalam hal tersebut, perubahan yang dilakukan terhadap kodrat manusia dapat dianggap sebagai tindakan yang melampaui batas dan berpotensi mengikis hubungan kita dengan Sang Pencipta.
Kasus-kasus Kontemporer: Contoh Nyata dan Pandangan Islam
Beberapa contoh nyata dalam bidang transhumanisme, seperti penggunaan CRISPR untuk mengedit gen manusia atau implan bionik yang memungkinkan penglihatan diperbaiki hingga melebihi batas normal, menimbulkan tantangan etis yang signifikan.
Dalam hal CRISPR, jika digunakan untuk menyembuhkan penyakit genetik yang serius, pandangan Islam umumnya mendukung tindakan ini sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasihan. Namun, dalam kasus augmentasi yang memberikan kemampuan luar biasa yang tidak alami, banyak ulama menolaknya karena dianggap melampaui peran manusia sebagai khalifah.
Augmentasi tubuh yang tidak diperlukan untuk kesehatan, seperti implan otak untuk meningkatkan daya ingat atau kemampuan sensorik tambahan, sering kali dianggap melanggar prinsip keseimbangan dalam Islam. Penggunaan teknologi ini tanpa dasar kebutuhan medis dipandang sebagai bentuk kesombongan yang dapat membawa dampak buruk pada hubungan spiritual manusia dengan Allah.
Dengan demikian, Era transhumanisme menuntut umat Islam untuk menghadapi perubahan teknologi yang luar biasa dengan bijaksana. Islam mengakui pentingnya ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi, tetapi juga menekankan perlunya mempertimbangkan prinsip etika dan tanggung jawab moral dalam penggunaannya.
Bagi umat Islam, penerapan teknologi ini harus dilakukan dengan kehati-hatian, menjaga keseimbangan antara maslahat dan bahaya.
Sebagai panduan, prinsip al-wasathiyah (moderasi) bisa diterapkan dalam menghadapi era transhumanisme, yaitu dengan memprioritaskan tindakan yang membawa manfaat nyata bagi kesehatan dan kesejahteraan tanpa melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
Pendekatan itu memungkinkan umat Islam untuk memanfaatkan teknologi sambil tetap menghormati kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan yang ditetapkan oleh Tuhan.
*) Fadhel Fikri, Co-Founder di Sophia Insitute dan pegiat filsafat dan Sains.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND