Sumenep, NU Online Jatim
Di Pulau Madura, Jawa Timur, ada sayur berbahan dasar daun kelor sebagai makanan berkuah yang disukai banyak orang. Sayur kelor itu jadi suguhan paling disukai warga di Madura ketika berbuka puasa Ramadlan.
Di Madura, sayur kelor disebut Ghengan Marongghih. Ghengan dalam bahasa Indonesia artinya sayur, adapun marongghih artinya kelor. Selain di Madura, Ghengan Marongghih juga bisa ditemui di sebagian besar kawasan Tapal Kuda yang ditinggali warga keturunan Madura. Maklum, Tapal Kuda adalah kawasan yang di masa kolonial jadi tujuan migrasi warga Madura.
Ghengan Marongghih adalah sayuran dengan bumbu bawang putih, kunci, beras rendam, sedikit terasi, dan garam secukupnya. Bumbu itu lalu diulek sampai halus kemudian dimasak dengan air dan daun kelor. "Kalau di Jawa namanya sayur kunci," kata Sumarni, warga Sumenep, Rabu (21/04/2021).
Ghengan Marongghih biasanya disajikan dengan nasi jagung. Di Madura, ada dua macam nasi seperti itu. Yakni nasi jagung dan nasi bu'uk. Nasi jagung adalah jagung yang digiling lalu dimasak dengan dicampur sedikit beras putih. Adapun nasi bu'uk lebih halus lagi daripada nasi jagung. Bila dimasak, nasi bu'uk mirip bubur.
Sumarni mengatakan, sayur kelor dan nasi jagung klop di lidah bila disajikan dengan ikan tongkol goreng, pindang goreng, atau ikan asing. Jangan lupa, sambal terasi atau sambal kacang plus petis berisi kecambah dan mentimun juga disajikan.
Dulu, warga di Madura kerap memasak menu seperti itu untuk dimakan sehari-hari, atau sebagai kuliner petani yang dikirim para ibu untuk disantap di sawah. Kala itu, jagung masih digiling sendiri secara manual, belum dihaluskan dengan mesin penggilingan. "Kalau dimakan di sawah, lebih nikmat lagi, apalagi saat istirahat kerja," kata Sumarni.
Ghengan Marongghih juga biasa disuguhkan saat buka puasa Ramadlan. Sebagian warga di Sumenep, terutama di desa-desa, merasa tak lengkap jika tidak berbuka puasa dengan sayur kelor, nasi jagung, dan sambal terasi. “Di rumah saya hampir setiap hari masak ghengan marongghih,” kata Abdul Malik, warga Gapura, Sumenep.
Editor: Nur Faishal