NU Online

Gus Yahya Sebut Para Pendiri NU adalah Intelektual yang Studi di Pusat Islam

Kamis, 14 Agustus 2025 | 15:00 WIB

Gus Yahya Sebut Para Pendiri NU adalah Intelektual yang Studi di Pusat Islam

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (kanan) bersama Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta. (Foto: NU Online/Aji Dwi Prabowo)

Surabaya, NU Online Jatim

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf kembali menjadi narasumber dalam program Menjadi Indonesia NU Online untuk edisi Agustus 2025.


Dalam kesempatan itu, Pemimpin Redaksi NU Online, Ivan Aulia Ahsan yang menjadi pembawa acara menyampaikan bahwa di balik sejarah besar Nahdlatul Ulama (NU), para pendirinya menjalin dialog intens dengan beragam ideologi yang saling bertolak belakang.


Melihat hal tersebut, ia meminta konfirmasi kepada Gus Yahya terkait hal tersebut yang membuat para tokoh NU saat itu menjadi generasi yang kosmopolit.


"Saya punya hipotesis bahwa karena pertemuan itulah generasi ini menjadi salah satu generasi awal NU yang sangat kosmopolit, Gus. Anda membenarkan ini nggak di antaranya karena pertemuan-pertemuan dengan berbagai spektrum tadi?" katanya dalam program Menjadi Indonesia Episode ke-26, dikutip pada Kamis (14/8/2025).


Menjawab itu, Gus Yahya menegaskan bahwa kosmopolitanisme sudah menjadi ciri khas para muassis NU sejak awal. Sebab, para muassis NU adalah sarjana-sarjana yang sebagian besar belajar di Hijaz atau di pusat-pusat ilmu di dunia Islam.


"Di tempat-tempat itu, mereka bertemu dengan tokoh-tokoh sarjana dan intelektual dari segala bangsa. Itu saja sudah membangun mentalitas kosmopolit mereka sehingga mereka tidak hanya berpikir tentang Indonesia sebagai satu arena yang sempit, tapi berpikir tentang dunia,” ujarnya.


Gus Yahya menjelaskan bahwa generasi kedua NU mulai mengalami pengaruh gagasan-gagasan Barat secara lebih nyata. Ia juga menyebut pengaruh itu sudah ada sejak awal, seperti pada Sarekat Islam yang didirikan Haji Umar Said Tjokroaminoto dan Muhammadiyah karya Kiai Ahmad Dahlan.


Namun, pada masa itu, kata Gus Yahya, fokus para muassis masih lebih pada jati diri keulamaan, bukan pada dialog ideologi. 


“Mereka lebih mementingkan jati diri keulamaan itu sendiri dulu, belum sampai dialog dengan ideologi-ideologi baru,” kata Gus Yahya.


Gus Yahya menjelaskan bahwa pernah ada kritik tajam terhadap para muassis NU terkait legitimasi mereka sebagai ulama. Ia menyebut beberapa sumber bahwa tidak semua kiai setuju dengan pendirian NU dan mempertanyakan sejauh mana para pendiri tersebut bisa mengklaim diri sebagai ulama sejati.


"Dulu standar keulamaan sangat tinggi, mengacu pada tokoh seperti Kiai Nawawi Banten. Jadi, bukan perkara sepele,” katanya.


Lebih lanjut, Gus Yahya mengatakan, generasi pascamuassis kemudian mulai menyerap dan mengembangkan gagasan-gagasan baru. KH Mahfudz Siddiq, misalnya, yang mengembangkan gagasan Mabadi Khaira Ummah, yaitu perbaikan umat melalui gerakan ekonomi dan moralitas Islam dalam praktik ekonomi.


"Saya yakin hal itu muncul karena Kiai Mahfudz Siddiq misalnya juga berpikir tentang kenapa ada orang berpikir tentang komunisme. Kita tahu bahwa Marxisme itu juga mengasumsikan bahwa segala dinamika masyarakat itu pada dasarnya adalah masalah ekonomi," katanya.


Melalui gerakan perubahan ekonomi itu, katanya, momentum-momentum besar seperti krisis ekonomi dan Perang Dunia II semakin menguatkan wacana kebangsaan di kalangan tokoh NU.