Tambang Nikel di Raja Ampat Berdampak Buruk pada Kelestarian Hutan Lindung
Sabtu, 21 Juni 2025 | 08:00 WIB
Jakarta, NU Online
Institut Usba, organisasi independen yang mengusung misi pelestarian tradisi dan ekosistem lingkungan di Sorong, Papua Barat Daya, turut menanggapi polemik tambang di Raja Ampat. Ia menilai aktivitas pertambangan PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha PT Antam (BUMN) di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, berdampak serius pada kelestarian hutan lindung.
Direktur Institut Usba Charles Adrian Michael Imbir menjelaskan, dampak dari perluasan lahan pertambangan dengan penebangan pohon secara massal adalah hewan-hewan di hutan lindung Pulau Gag, Kawei, Batang Pele, dan Manyaifun, terancam punah.
Charles menyebutkan beberapa hewan endemik yang terdampak, antara lain burung cenderawasih merah, burung cenderawasih botak, burung kehicap kofiau, burung raja ampat potohui, mengkarung emo, dan kuskus waigeo.
“Di Papua ini banyak burung-burung endemik. Saat ini ya, burung-burung itu tempat bermainnya (di hutan) sudah berkurang, hewan lainnya juga berkurang, beberapa mati, tidak bisa bertahan hidup,” ungkap Charles kepada NU Online, Rabu (18/6/2025).
Ia juga menyebutkan tumbuhan endemik yang terancam punah, antara lain palem raja ampat, kayu susu waigeo, anggrek biru, dan kantong semar.
“Papua ini banyak flora (hewan) dan fauna (tumbuhan) endemiknya. Jadi kalau ditebang pasti itu hewan berkurang, tumbuhan juga sama berkurang karena hewannya sudah tidak memiliki rumah,” ucap Ketua Dewan Adat Sub-Suku Usba itu.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) 2025, terdapat 874 spesies tumbuhan (9 endemik), 114 spesies herpetofauna (5 endemik), 47 spesies mamalia (1 endemik), dan 274 spesies burung (6 endemik) yang hidup di kawasan hutan lindung Raja Ampat
Selain hewan dan tumbuhan endemik, menurut Charles, tumbuhan yang menjadi bahan pokok makanan masyarakat juga ikut terancam, antara lain pohon kelapa, sagu, dan pala.
“Pohon sagu yang dihitung cukup untuk beberapa hari ke depan, itu juga jadi hilang, bukan hanya sagu tetapi bahan makanan lainnya seperti kelapa (dan) pala,” ungkapnya.
Sementara itu, masyarakat di Pulau Gag kesulitan dalam bercocok tanam karena lahan mereka menjadi terbatas.
“Ketika wilayah diambil oleh perusahaan tambang, jadi mau apa-apa jadi terbatas. Orang mencari padi terbatas, mau cari kayu untuk di masak terbatas, mau tanam-tanam makanan terbatas, mau cari pala juga terbatas,” ungkap Charles.
“Masyarakat jadi sulit untuk menanam, jadi sulit membuka peternakan, karena lahannya terbatas,” lanjutnya.
Terpopuler
1
Innalillahi, Farida Mawardi Mantan Ketum IPPNU dan Pelopor CBP-KPP Wafat
2
Khutbah Jumat: 4 Penghalang Manusia Dekat dengan Allah
3
Wakil Sekretaris LTNNU Jatim Raih Doktor Kajian Jurnalisme dan Media Islam
4
Menjaga Kemabruran Haji: Antara Kontemplasi Diri dan Keseimbangan Sosial
5
Menlu RI Segera Evakuasi WNI di Iran Akibat Konflik dengan Israel
6
Arina Rosada Nuriyah Terpilih Ketua Kopri PMII Probolinggo, Ini Profilnya
Terkini
Lihat Semua