Oleh: Muhammad Nafis SH MH*)
Kebijakan pemerintah yang memberikan konsesi tambang kepada organisasi kemasyarakatan, termasuk PBNU, telah menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan. Tujuan kebijakan ini mungkin untuk memberdayakan organisasi keagamaan melalui pengelolaan sumber daya alam, namun risiko dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar perlu dipertimbangkan dengan serius. PBNU, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, harus bijak dalam menyikapi kebijakan ini dengan mempertimbangkan berbagai aspek sosial, lingkungan, dan etika.
Pada bulan Juni 2024, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa PBNU akan menerima jatah konsesi tambang batu bara yang cukup signifikan. Konsesi ini berasal dari wilayah bekas tambang PT Kaltim Prima Coal yang sebelumnya dimiliki oleh Grup Bakrie di Kalimantan Timur. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tersebut akan segera diterbitkan oleh Kementerian Investasi dalam waktu dekat.
Meskipun rincian spesifik mengenai luas dan cadangan tambang yang diberikan kepada PBNU belum dipublikasikan secara resmi, Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, mengakui bahwa jatah yang diberikan kepada PBNU adalah yang terbesar di antara organisasi kemasyarakatan lainnya. Keputusan ini didasarkan pada kebijakan afirmatif Presiden Joko Widodo yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan organisasi keagamaan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dengan adanya konsesi tambang ini, diharapkan PBNU dapat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan umat, dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Pengelolaan yang transparan dan bertanggung jawab akan menjadi kunci sukses dalam pelaksanaan kebijakan ini, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, telah menyatakan penolakannya terhadap konsesi tambang yang berpotensi merugikan warga sekitar lokasi tambang tersebut. Sikap tegas ini menunjukkan kepedulian PBNU terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas, di luar manfaat ekonomi semata yang mungkin diperoleh dari pengelolaan tambang.
PBNU perlu mendorong pemerintah untuk melakukan kajian mendalam terhadap dampak lingkungan dan sosial dari konsesi tambang ini, serta memastikan bahwa masyarakat di sekitar area tambang tidak dirugikan.
Jika PBNU tidak mendorong pemerintah untuk melakukan kajian mendalam terhadap dampak lingkungan dan sosial dari konsesi tambang yang diberikan, maka risiko kerusakan alam dan sosial akan meningkat secara signifikan. Tambang batubara diketahui dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang serius, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Tanpa kajian yang komprehensif, upaya untuk memitigasi dampak-dampak ini bisa jadi tidak memadai, yang akan memperburuk kualitas hidup masyarakat di sekitar area tambang. Organisasi lingkungan seperti Jatam dan Walhi telah menyuarakan kekhawatiran mereka terkait potensi kerusakan lingkungan yang dapat terjadi akibat aktivitas pertambangan yang tidak terkelola dengan baik.
Selain dampak lingkungan, dampak sosial juga harus menjadi perhatian utama. Jika masyarakat sekitar tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak ada upaya untuk memastikan bahwa mereka tidak dirugikan, maka konflik sosial dapat terjadi. Kehadiran tambang bisa menyebabkan pemindahan paksa penduduk, hilangnya mata pencaharian, dan peningkatan ketidakstabilan sosial.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, telah menyatakan pentingnya menggunakan konsesi tambang dengan bijaksana untuk memastikan tidak ada warga yang dirugikan. Tanpa perhatian yang serius terhadap dampak-dampak ini, kepercayaan masyarakat terhadap PBNU dan pemerintah bisa tergerus, serta tujuan kesejahteraan yang diharapkan dari konsesi tambang ini tidak akan tercapai.
Selain itu, PBNU juga harus mengajak dialog berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, dan aktivis lingkungan, untuk mencari solusi terbaik. Dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan umat, PBNU bisa menjadi teladan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Dukungan terhadap kebijakan pemerintah harus diimbangi dengan kritik konstruktif dan partisipasi aktif dalam pengawasan implementasinya. Hal ini agar tujuan utama dari kebijakan tersebut benar-benar tercapai tanpa mengorbankan kepentingan rakyat.
*) Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (Unisma).