• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Makna Pendidikan Karakter Masyarakat Jawa

Makna Pendidikan Karakter Masyarakat Jawa
Banyak karakter yang dikembangkan masyarakat Jawa. (Foto: NOJ/Sd)
Banyak karakter yang dikembangkan masyarakat Jawa. (Foto: NOJ/Sd)

Oleh : Firdausi

Banyak nilai karakter yang sepatutnya dikembangkan oleh masyarakat Jawa saat ini, karena generasi milenial belum mengetahui secara penuh nilai filosofi yang ada dalam pendidikan lokal. Pada dasarnya dasar filosofi karakter yang selama ini diberikan oleh para leluhur khususnya Wali Songo hingga masanya para ulama syarat akan makna. Orang Jawa mengenalnya dengan sebutan Tri Rahayu atau tiga kesejahteraan yang dijadikan pedoman oleh para nenek moyang terdahulu, antara lain: mamayu hayuning salira (bagaimana hidup untuk meninggalkan kualitas pribadi), mamayu hayuning bangsa (bagaimana berjuang untuk negara), dan mamayu hayuning bawana (bagaimana membangun kesejahteraan dunia).

 

Untuk mencapainya warga Jawa harus memahami, menghayati, dan melaksanakan tugas sucinya sebagai manusia yang tercantum dalam Tri Satya Brata atau tiga ikrar bertindak yaitu: Rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung pada manusia yang memiliki ketajaman rasa, dharmaning menunggangi mahanani rahayuning nagara (tugas utama manusia adalah menjaga keselamatan umat), dan rahayuning menungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusiawi ditentukan oleh pada tata perilakunya dan rasa kemunisiaannya).

 

Seluruh para wali dan ulama terdahulu menggunakan sastra sebagai media untuk mengenalkan Islam melalui kebudayaan, sehingga ketika menjalani hidup masyarakat Jawa tidak melakukan tiga hal, yakni ngangsa-angsa (ambisius atau nafsi-nafsi), ngaya-aya (terburu-buru atau tidak cermat), dan golek benere dhewe (mencari benarnya sendiri atau mau menang sendiri).

 

Ketiga sifat tersebut tidak sejalan dengan sifat satria masyarakat Jawa yang selalu berlandaskan berbudi bawa leksana (berbudi luhur, rendah hati, dan rawadhu) dan kaprawiran (keperwiraan) yang selalu temen (jujur), tanggap (bertindak antisipatif), tatag (mampu melihat dan mengalami kondisi apa saja), tangguh (tidak mudah menyerah), tangon (berani menghadapi siapa saja asal merasa dirinya benar), dan dadan melik pawehing liyan (tidak mengharapkan bantuan orang lain).

 

Di samping itu, sikap masyarakat Jawa dan Madura dikenal andhap asor artinya rendah hati, tidak sombong. Maksudnya tidak mau menonjolkan diri walaupun memiliki kemampuan. Orang yang andhap asor juga mampu menahan diri, jika dicela tidak mudah marah tetapi justru akan mawas diri tentang kekurangan dan kelemahannya. 

 

Sementara dalam kehidupan bermasyarakat atau sosial memiliki tiga tingkatan prinsip. Pertama, rigen (mengerjakan sesuatu sampai tuntas), mugen (berkomitmen atau mantap dalam hati), dan tegen (sungguh-sungguh dalam bekerja).

 

Kedua, gemi (mampu mengelola, hemat atau tidak boros), nastiti (memperhitungkan segala sesuatu dan memperhitungkan akibat dari tindakannya), dan ngati-ati (sikap batin yang selalu waspada).

 

Ketiga, gumati (sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubari jika merawat dan memelihara sesuatu), mengerti (memahami situasi dan kondisi sekelilingnya), miranti (mentaati aturan yang berlaku).

 

Di samping ajaran para wali, ulama, dan leluhur, ada pula karakter yang sering ditemui sebagai pasemon dalam tembang lagu Jawa. Misalnya tembang ghundul- ghundul- pacul dengan syair:

 

Ghundul-ghundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wakul, gembelengan.
Wakul glimpang segane dadi sak ratan.

 

Makna lagu tersebut merupakan peringatan agar menjadi pemimpin saat menerima amanah (nyunggi wakul) tidak sembrono (gembelengan), tidak seenaknya sendiri. Akibatnya seluruh tatanan dan aturan masyarakat dapat menjadi rusak, kondisi negara tidak terkendali. 

 

Dalam pergaulan sehari-hari pun warga Jawa dan Madura suka menggunakan simbol dengan menggunakan kata-kata yang terselebung. Contohnya yang pertama, ngono ya ngono, ning aja ngono, artinya begitu ya begitu, tetapi jangan begitu. Maksudnya, suatu peringatan agar dalam bersikap, berbicara, bertindak tidak berlebihan-lebihan, karena bukan kebaikan yang akan diperoleh tetapi justru keburukan. Contoh yang kedua, cekele iwake aja buthek banyune, artinya tangkaplah ikannya jangan sampai keruh airnya. Maksudnya, nasihat agar bijaksana dan hati-hati dalam melaksanakan sesuatu, juga dalam menegakkan hukum dan keadilan. 

 

Wakil Sekretaris MWCNU Pragaan, Sumenep
 


Editor:

Opini Terbaru